Malam Senyap Tanpa Kunang-kunang di Blitar Sepanjang 1965
Rabu, 30 September 2020 - 17:02 WIB
Bersama delapan pimpinan Ansor Blitar lain, Chudlori memutuskan membentuk Banser, yakni suatu kekuatan para militer untuk menjawab aksi sepihak PKI dan organisasi sayapnya. Peristiwa itu terjadi pada 14 April 1964 dan ditandai sebagai harlah Banser NU.
Kesembilan pimpinan Ansor Blitar itu adalah Zaenudin Kayubi atau Moch Zein Kayubi, KH Abdurrochim Sidik, M Romdhon, Zaenuri Acham, Atim Yanto, Chudlori, Moch Fadhil, H Supangat, dan H Ali Muhsin.
Rapat sembilan orang itu berlangsung di Markas Ansor di Jalan Semeru, Kota Blitar, yakni suatu bangunan yang awalnya rumah milik seorang keturunan Tionghoa.
Usulan nama Banser datang dari Kayubi. Ia menafsirkan dan mengejawantah dari multi fungsi, banyak guna, serba guna. Karenanya, Kayubi langsung didaulat sebagai Ketua.
Di luar Ansor Banser, Kayubi bekerja di Badan Pekerja Harian (BPH) NU yang ditugaskan di pemerintahan dan legislatif. Saat itu Ansor dan Banser Blitar sudah bertekad bulat memerangi PKI. Di satu sisi PKI gencar-gencarnya meneriakkan pengganyangan tujuh setan desa.
Para tuan tanah, lintah darat, tengkulak, tukang ijon, kapitalis birokrat, bandit desa, dan pengirim zakat dicap sebagai lawan yang harus diperangi. Deretan tujuh setan desa yang harus dilawan. Setelah perintah rahasia disebar, Ansor dan Banser mulai dari tingkat anak cabang dan ranting langsung bergerak.
Masing masing orang, kata Chudlori, memanggul karung goni. Isinya senjata tajam mulai belati, parang, sangkur hingga pedang. "Kita memang hendak perang melawan PKI, "jelasnya. Chudlori juga ingat sebelum bergerak Ansor dan Banser juga menggelar apel perlawanan. Lokasinya di alun alun Kota Blitar.
Apel untuk mengimbangi Pemuda Rakyat yang sebelumnya juga memobilisir massa. Apel perlawanan Ansor Banser dihadiri Ketua PBNU Idham Chalid dan Pangdam V Brawijaya. Idham bahkan menjadi komandan upacara.
Sekitar 10.000 anggota Ansor Banser berkumpul. Show of force itu, kata Khudlori, sontak menciutkan nyali orang orang PKI. Tidak sedikit aktivis Pemuda Rakyat, Lekra, BTI, dan SOBSI yang meninggalkan rumah. Mereka seperti merasakan bakal menjadi sasaran amuk massa.
Kekuatan PKI di Blitar saat itu, kenang Chudlori, sangat besar. PKI telah menyusup ke semua elemen sosial hingga birokrasi pemerintahan. Bahkan Bupati Blitar Sumarsono juga kader komunis.
Kesembilan pimpinan Ansor Blitar itu adalah Zaenudin Kayubi atau Moch Zein Kayubi, KH Abdurrochim Sidik, M Romdhon, Zaenuri Acham, Atim Yanto, Chudlori, Moch Fadhil, H Supangat, dan H Ali Muhsin.
Rapat sembilan orang itu berlangsung di Markas Ansor di Jalan Semeru, Kota Blitar, yakni suatu bangunan yang awalnya rumah milik seorang keturunan Tionghoa.
Usulan nama Banser datang dari Kayubi. Ia menafsirkan dan mengejawantah dari multi fungsi, banyak guna, serba guna. Karenanya, Kayubi langsung didaulat sebagai Ketua.
Di luar Ansor Banser, Kayubi bekerja di Badan Pekerja Harian (BPH) NU yang ditugaskan di pemerintahan dan legislatif. Saat itu Ansor dan Banser Blitar sudah bertekad bulat memerangi PKI. Di satu sisi PKI gencar-gencarnya meneriakkan pengganyangan tujuh setan desa.
Para tuan tanah, lintah darat, tengkulak, tukang ijon, kapitalis birokrat, bandit desa, dan pengirim zakat dicap sebagai lawan yang harus diperangi. Deretan tujuh setan desa yang harus dilawan. Setelah perintah rahasia disebar, Ansor dan Banser mulai dari tingkat anak cabang dan ranting langsung bergerak.
Masing masing orang, kata Chudlori, memanggul karung goni. Isinya senjata tajam mulai belati, parang, sangkur hingga pedang. "Kita memang hendak perang melawan PKI, "jelasnya. Chudlori juga ingat sebelum bergerak Ansor dan Banser juga menggelar apel perlawanan. Lokasinya di alun alun Kota Blitar.
Apel untuk mengimbangi Pemuda Rakyat yang sebelumnya juga memobilisir massa. Apel perlawanan Ansor Banser dihadiri Ketua PBNU Idham Chalid dan Pangdam V Brawijaya. Idham bahkan menjadi komandan upacara.
Sekitar 10.000 anggota Ansor Banser berkumpul. Show of force itu, kata Khudlori, sontak menciutkan nyali orang orang PKI. Tidak sedikit aktivis Pemuda Rakyat, Lekra, BTI, dan SOBSI yang meninggalkan rumah. Mereka seperti merasakan bakal menjadi sasaran amuk massa.
Kekuatan PKI di Blitar saat itu, kenang Chudlori, sangat besar. PKI telah menyusup ke semua elemen sosial hingga birokrasi pemerintahan. Bahkan Bupati Blitar Sumarsono juga kader komunis.
tulis komentar anda