Malam Senyap Tanpa Kunang-kunang di Blitar Sepanjang 1965
loading...
A
A
A
BLITAR - Malam yang senyap menyelimuti langit-langit di Blitar dan Madiun di sepanjang 1965. Dalam cahaya yang redup, kunang-kunang pun enggan untuk menemani. Suara gaduh menjadi candu yang tiap malam menambah sisi gelap dan sulit untuk dilupakan.
Perkampungan dengan jalanan makadam di Blitar mengalun banyak keganasan dari berbagai sudut rumah. Sebelum dan sesudah G30S/PKI kawasan itu terus saja memanas. Seluruh pasang mata tak pernah menutup dengan setia. (Baca juga: Cerita Menegangkan Kapten Sanjoto saat Memburu DN Aidit di Kota Semarang)
Melempar awas dan tanpa ada lelah menyisir berbagai jalanan. Memberikan siasat, menyeka kegetiran dalam hari-hari tanpa ada keteduhan. Massa Ansor dan pengikut PKI, terutama BTI dan Pemuda Rakyat saling curiga. Tanpa ada balas senyum dari peluh yang terus mengucur. (Baca juga: 3 Sumur 'Lubang Buaya' Banyuwangi, Saksi Bisu Kekejaman G30S PKI)
Sepoi angin masih saja terasa panas, tak cukup untuk mendinginkan kepala dan hati di tengah ketidakpastian kabar yang terus bergemuruh. Ketegangan masih menyelimuti erat di wilayah Kecamatan Gandusari, Ansor-PKI nyaris bentrok fisik. Pemicunya adalah aksi sepihak PKI.
Ketegangan itu terus berpacu dengan waktu dan kondisi yang tak ada kepastian. Apalagi pasca-dilarangnya Masyumi dan terbelahnya PNI, NU dan PKI terkerek menjadi dua besar pemenang Pemilu 1955. (Baca juga: Pengamat: Jika Pancasila Berhasil Diubah, Kebangkitan PKI Nyata)
"Banyak warga NU pemilik tanah yang merasa resah dengan aksi sepihak orang-orang PKI, " ujar Chudlori Hasyim (83), mantan Pimpinan Ansor Nahdlatul Ulama (NU) Blitar ketika ditemui SINDOnews beberapa waktu lalu.
Ingatannya yang menembus batas ruang dan waktu kembali melemparkannya pada situasi tepat hari ke-14 atau 14 Oktober 1965 pasca-pembunuhan para jenderal, instruksi rahasia itu datang memecah keheningan malam. Membuat burung-burung gagak berhamburan. (Baca juga: Ingatkan Kejamnya PKI, KAMI Serukan Kibarkan Bendera Merah Putih)
Perintah yang membonceng kabar penculikan Jenderal itu muncul dalam sebuah rembug (rapat) khusus pimpinan Ansor. Rapat yang merumuskan perlawanan terhadap aksi sepihak orang-orang PKI. Perlawanan itu bermunculan dalam setiap mimpi yang dibungkus di antara harapan.
Chudlori ada di sana bersama para teman seperjuangan. Menyimpan asa untuk menjadi lebih baik dari sebuah zaman yang begitu gelap. Karena dia memang termasuk salah satu pimpinan. Ia masih ingat perintah itu diutarakan secara lisan, panggung pidatonya menjadi pelecut dan semangat nasionalisme. (Baca juga: Mahfud MD Ngaku Selalu Nonton Film G30S PKI, Ini Alasannya)
Tanpa banyak berdebat, instruksi langsung disepakati dan disebar cepat ke anggota Ansor Banser anak cabang dan ranting. Bergerak cepat seperti angin dalam dekapan malam, mengumpulkan banyak dukungan. "Isinya (perintah) setiap kader Ansor dan Banser untuk menyiapkan senjata tajam dalam menghadapi PKI," katanya.
Gerakan senyap melawan PKI ini melaju setelah kabar huru-hara penculikan tujuh Jenderal terkait G 30S PKI diterima terlambat di daerah-daerah. Akses komunikasi yang terbatas menjadi salah satu alasannya. "Kita memang terlambat menerima kabar adanya Gerakan 30 September 1965. Memang saat itu tidak banyak saluran informasi seperti sekarang, " ungkapnya.
Di usianya yang sudah senja, Chudlori tak terlihat ringkih. Demikian juga dengan ingatannya. Pria jangkung dengan perawakan besar itu tetap bersemangat. Nada bicaranya lantang. Setiap kalimat yang terucap penuh dengan tekanan. Berbagai candaan kerap dilontarkan, memecah sedikit ketegangan ketika diajak berbicara tentang sejarah pajang perjuangan di negeri ini.
Ayah empat anak dan kakek enam cucu itu adalah salah satu penggagas sekaligus pendiri Barisan Ansor Serba Guna (Banser) NU. Buih pikirannya tetap mempesona dengan rangkaian sisa semangat dalam menaklukan kehidupan.
Sebuah tongkat penyangga menopang kaki kirinya kini. Namun tak membuatnya surut dalam keterpurukan. Tongkat alumunium dengan bagian atas sebagai penumpu ketiak itu yang menemani Chudlori kemana pun ia pergi.
Langkahnya tampak tertatih. Begitu juga saat keluar dari kamar menuju ruang tamu. Suatu ruang yang bersih dan tertata. Figura bergambar bumi bertuliskan tinta emas Nahdlatul Ulama (NU) menghias dinding ruangan. Di sebelahnya tampak jam tembok dan sejumlah foto keluarga.
Chudlori juga mengenakan alat bantu pendengaran. Piranti digital berwarna putih itu terpasang di daun telinga kanannya. Keterbatasan secara fisik tak pernah mengurangi keyakinnya dalam berjuang.
Bersama delapan pimpinan Ansor Blitar lain, Chudlori memutuskan membentuk Banser, yakni suatu kekuatan para militer untuk menjawab aksi sepihak PKI dan organisasi sayapnya. Peristiwa itu terjadi pada 14 April 1964 dan ditandai sebagai harlah Banser NU.
Kesembilan pimpinan Ansor Blitar itu adalah Zaenudin Kayubi atau Moch Zein Kayubi, KH Abdurrochim Sidik, M Romdhon, Zaenuri Acham, Atim Yanto, Chudlori, Moch Fadhil, H Supangat, dan H Ali Muhsin.
Rapat sembilan orang itu berlangsung di Markas Ansor di Jalan Semeru, Kota Blitar, yakni suatu bangunan yang awalnya rumah milik seorang keturunan Tionghoa.
Usulan nama Banser datang dari Kayubi. Ia menafsirkan dan mengejawantah dari multi fungsi, banyak guna, serba guna. Karenanya, Kayubi langsung didaulat sebagai Ketua.
Di luar Ansor Banser, Kayubi bekerja di Badan Pekerja Harian (BPH) NU yang ditugaskan di pemerintahan dan legislatif. Saat itu Ansor dan Banser Blitar sudah bertekad bulat memerangi PKI. Di satu sisi PKI gencar-gencarnya meneriakkan pengganyangan tujuh setan desa.
Para tuan tanah, lintah darat, tengkulak, tukang ijon, kapitalis birokrat, bandit desa, dan pengirim zakat dicap sebagai lawan yang harus diperangi. Deretan tujuh setan desa yang harus dilawan. Setelah perintah rahasia disebar, Ansor dan Banser mulai dari tingkat anak cabang dan ranting langsung bergerak.
Masing masing orang, kata Chudlori, memanggul karung goni. Isinya senjata tajam mulai belati, parang, sangkur hingga pedang. "Kita memang hendak perang melawan PKI, "jelasnya. Chudlori juga ingat sebelum bergerak Ansor dan Banser juga menggelar apel perlawanan. Lokasinya di alun alun Kota Blitar.
Apel untuk mengimbangi Pemuda Rakyat yang sebelumnya juga memobilisir massa. Apel perlawanan Ansor Banser dihadiri Ketua PBNU Idham Chalid dan Pangdam V Brawijaya. Idham bahkan menjadi komandan upacara.
Sekitar 10.000 anggota Ansor Banser berkumpul. Show of force itu, kata Khudlori, sontak menciutkan nyali orang orang PKI. Tidak sedikit aktivis Pemuda Rakyat, Lekra, BTI, dan SOBSI yang meninggalkan rumah. Mereka seperti merasakan bakal menjadi sasaran amuk massa.
Kekuatan PKI di Blitar saat itu, kenang Chudlori, sangat besar. PKI telah menyusup ke semua elemen sosial hingga birokrasi pemerintahan. Bahkan Bupati Blitar Sumarsono juga kader komunis.
Begitu juga di lembaga DPRGR Kota Blitar. Perwakilan Fraksi PKI, yakni Soebandi eks anggota TNI Batalyon 29 sekaligus Ketua Front Nasional Blitar, juga mampu merebut posisi ketua.
Istri Soebandi, yakni Putmainah, merupakan Ketua Gerwani sekaligus anggota Fraksi PKI DPRGR Kabupaten Blitar. Ajaran komunis yang dikenalkan dan disemaikan pertama kali oleh Karso dan Ngalim, warga Blitar itu tumbuh pesat.
Karso dan Ngalim adalah tokoh komunis angkatan 1926. Keduanya tewas dalam agresi militer Belanda tahun 1949. "Tapi sebenarnya yang paling memantik kemarahan masyarakat adalah aksi sepihak, "jelas Chudlori.
Kayubi dalam setiap orasi di depan kader Ansor Banser menegaskan, PKI sudah terang-terangan merebut harta warga NU. Masak kita diamkan saja. Mari kita lawan! Demikian Orasi saat itu.
Menurut dia, pembersihan orang PKI pertama kali disepakati berjamaah pada malam Jumat 14 Oktober 1965. Korbannya Jiang, seorang Tionghoa tokoh Baperki yang menjadi tukang pukul andalan PKI.
Rumah Jiang di sebelah barat terminal Kota Blitar diserbu Ansor dan Banser. Jiang tewas di halaman rumahnya. Orang-orang Ansor dan Banser juga menyerbu dan menduduki markas PKI di Kota Blitar. Pengikut PKI yang terlambat menyelamatkan diri langsung dihabisi.
KH Abdurrochim Sidik dalam buku "Banser Berjihad Menumpas PKI" mengatakan, sebelum operasi berjamaah malam hari, sudah terjadi gerakan pada siang harinya. Sebelum gerakan serentak malam hari, sejumlah Ansor Banser lebih dulu menghabisi pengurus PKI di wilayah Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar.
"Tidak sedikit orang-orang PKI yang meninggalkan rumahnya. Begitu mendengar suara takbir mereka langsung kabur pontang panting, "kenang Chudlori.
Setelah malam Jumat itu, kata Chudlori, pembersihan terhadap orang PKI berlanjut tanpa kenal waktu pagi, siang maupun malam. Dalam periode senyap itu, malam-malam yang dilaluinya begitu menegangkan.
Sejarawan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya RN Bayu Aji menuturkan, peristiwa yang melibatkan aksi kekerasan yang dilakukan oleh PKI menjadi bagian dari sejarah panjang di Indonesia. Semua itu tentu bisa dijadikan sebagai spion untuk melihat kebelakang. “Namun melihat spion ke belakang untuk menguatkan persatuan di hari ini dan masa depan,” katanya.
Rojil, panggilan akrabnya menambahkan, jangan sampai spion yang digunakan menjadi terkotak-kotak kepada politik identitas atau ideologi yang bisa membuat integrasi bangsa selama ini terpecah-pecah. “Masa lalu harus tetap kita jadikan bagian dari sejarah bangsa, tentu untuk pembelajaran bersama,” jelasnya.
Sejarah masa lalu, tambahnya, jangan malah dijadikan warisan dendam. Karena semua itu tidak akan ada habisnya dan justru menjadi beban masa lalu yang tak akan pernah surut.
Perkampungan dengan jalanan makadam di Blitar mengalun banyak keganasan dari berbagai sudut rumah. Sebelum dan sesudah G30S/PKI kawasan itu terus saja memanas. Seluruh pasang mata tak pernah menutup dengan setia. (Baca juga: Cerita Menegangkan Kapten Sanjoto saat Memburu DN Aidit di Kota Semarang)
Melempar awas dan tanpa ada lelah menyisir berbagai jalanan. Memberikan siasat, menyeka kegetiran dalam hari-hari tanpa ada keteduhan. Massa Ansor dan pengikut PKI, terutama BTI dan Pemuda Rakyat saling curiga. Tanpa ada balas senyum dari peluh yang terus mengucur. (Baca juga: 3 Sumur 'Lubang Buaya' Banyuwangi, Saksi Bisu Kekejaman G30S PKI)
Sepoi angin masih saja terasa panas, tak cukup untuk mendinginkan kepala dan hati di tengah ketidakpastian kabar yang terus bergemuruh. Ketegangan masih menyelimuti erat di wilayah Kecamatan Gandusari, Ansor-PKI nyaris bentrok fisik. Pemicunya adalah aksi sepihak PKI.
Ketegangan itu terus berpacu dengan waktu dan kondisi yang tak ada kepastian. Apalagi pasca-dilarangnya Masyumi dan terbelahnya PNI, NU dan PKI terkerek menjadi dua besar pemenang Pemilu 1955. (Baca juga: Pengamat: Jika Pancasila Berhasil Diubah, Kebangkitan PKI Nyata)
"Banyak warga NU pemilik tanah yang merasa resah dengan aksi sepihak orang-orang PKI, " ujar Chudlori Hasyim (83), mantan Pimpinan Ansor Nahdlatul Ulama (NU) Blitar ketika ditemui SINDOnews beberapa waktu lalu.
Ingatannya yang menembus batas ruang dan waktu kembali melemparkannya pada situasi tepat hari ke-14 atau 14 Oktober 1965 pasca-pembunuhan para jenderal, instruksi rahasia itu datang memecah keheningan malam. Membuat burung-burung gagak berhamburan. (Baca juga: Ingatkan Kejamnya PKI, KAMI Serukan Kibarkan Bendera Merah Putih)
Perintah yang membonceng kabar penculikan Jenderal itu muncul dalam sebuah rembug (rapat) khusus pimpinan Ansor. Rapat yang merumuskan perlawanan terhadap aksi sepihak orang-orang PKI. Perlawanan itu bermunculan dalam setiap mimpi yang dibungkus di antara harapan.
Chudlori ada di sana bersama para teman seperjuangan. Menyimpan asa untuk menjadi lebih baik dari sebuah zaman yang begitu gelap. Karena dia memang termasuk salah satu pimpinan. Ia masih ingat perintah itu diutarakan secara lisan, panggung pidatonya menjadi pelecut dan semangat nasionalisme. (Baca juga: Mahfud MD Ngaku Selalu Nonton Film G30S PKI, Ini Alasannya)
Tanpa banyak berdebat, instruksi langsung disepakati dan disebar cepat ke anggota Ansor Banser anak cabang dan ranting. Bergerak cepat seperti angin dalam dekapan malam, mengumpulkan banyak dukungan. "Isinya (perintah) setiap kader Ansor dan Banser untuk menyiapkan senjata tajam dalam menghadapi PKI," katanya.
Gerakan senyap melawan PKI ini melaju setelah kabar huru-hara penculikan tujuh Jenderal terkait G 30S PKI diterima terlambat di daerah-daerah. Akses komunikasi yang terbatas menjadi salah satu alasannya. "Kita memang terlambat menerima kabar adanya Gerakan 30 September 1965. Memang saat itu tidak banyak saluran informasi seperti sekarang, " ungkapnya.
Di usianya yang sudah senja, Chudlori tak terlihat ringkih. Demikian juga dengan ingatannya. Pria jangkung dengan perawakan besar itu tetap bersemangat. Nada bicaranya lantang. Setiap kalimat yang terucap penuh dengan tekanan. Berbagai candaan kerap dilontarkan, memecah sedikit ketegangan ketika diajak berbicara tentang sejarah pajang perjuangan di negeri ini.
Ayah empat anak dan kakek enam cucu itu adalah salah satu penggagas sekaligus pendiri Barisan Ansor Serba Guna (Banser) NU. Buih pikirannya tetap mempesona dengan rangkaian sisa semangat dalam menaklukan kehidupan.
Sebuah tongkat penyangga menopang kaki kirinya kini. Namun tak membuatnya surut dalam keterpurukan. Tongkat alumunium dengan bagian atas sebagai penumpu ketiak itu yang menemani Chudlori kemana pun ia pergi.
Langkahnya tampak tertatih. Begitu juga saat keluar dari kamar menuju ruang tamu. Suatu ruang yang bersih dan tertata. Figura bergambar bumi bertuliskan tinta emas Nahdlatul Ulama (NU) menghias dinding ruangan. Di sebelahnya tampak jam tembok dan sejumlah foto keluarga.
Chudlori juga mengenakan alat bantu pendengaran. Piranti digital berwarna putih itu terpasang di daun telinga kanannya. Keterbatasan secara fisik tak pernah mengurangi keyakinnya dalam berjuang.
Bersama delapan pimpinan Ansor Blitar lain, Chudlori memutuskan membentuk Banser, yakni suatu kekuatan para militer untuk menjawab aksi sepihak PKI dan organisasi sayapnya. Peristiwa itu terjadi pada 14 April 1964 dan ditandai sebagai harlah Banser NU.
Kesembilan pimpinan Ansor Blitar itu adalah Zaenudin Kayubi atau Moch Zein Kayubi, KH Abdurrochim Sidik, M Romdhon, Zaenuri Acham, Atim Yanto, Chudlori, Moch Fadhil, H Supangat, dan H Ali Muhsin.
Rapat sembilan orang itu berlangsung di Markas Ansor di Jalan Semeru, Kota Blitar, yakni suatu bangunan yang awalnya rumah milik seorang keturunan Tionghoa.
Usulan nama Banser datang dari Kayubi. Ia menafsirkan dan mengejawantah dari multi fungsi, banyak guna, serba guna. Karenanya, Kayubi langsung didaulat sebagai Ketua.
Di luar Ansor Banser, Kayubi bekerja di Badan Pekerja Harian (BPH) NU yang ditugaskan di pemerintahan dan legislatif. Saat itu Ansor dan Banser Blitar sudah bertekad bulat memerangi PKI. Di satu sisi PKI gencar-gencarnya meneriakkan pengganyangan tujuh setan desa.
Para tuan tanah, lintah darat, tengkulak, tukang ijon, kapitalis birokrat, bandit desa, dan pengirim zakat dicap sebagai lawan yang harus diperangi. Deretan tujuh setan desa yang harus dilawan. Setelah perintah rahasia disebar, Ansor dan Banser mulai dari tingkat anak cabang dan ranting langsung bergerak.
Masing masing orang, kata Chudlori, memanggul karung goni. Isinya senjata tajam mulai belati, parang, sangkur hingga pedang. "Kita memang hendak perang melawan PKI, "jelasnya. Chudlori juga ingat sebelum bergerak Ansor dan Banser juga menggelar apel perlawanan. Lokasinya di alun alun Kota Blitar.
Apel untuk mengimbangi Pemuda Rakyat yang sebelumnya juga memobilisir massa. Apel perlawanan Ansor Banser dihadiri Ketua PBNU Idham Chalid dan Pangdam V Brawijaya. Idham bahkan menjadi komandan upacara.
Sekitar 10.000 anggota Ansor Banser berkumpul. Show of force itu, kata Khudlori, sontak menciutkan nyali orang orang PKI. Tidak sedikit aktivis Pemuda Rakyat, Lekra, BTI, dan SOBSI yang meninggalkan rumah. Mereka seperti merasakan bakal menjadi sasaran amuk massa.
Kekuatan PKI di Blitar saat itu, kenang Chudlori, sangat besar. PKI telah menyusup ke semua elemen sosial hingga birokrasi pemerintahan. Bahkan Bupati Blitar Sumarsono juga kader komunis.
Begitu juga di lembaga DPRGR Kota Blitar. Perwakilan Fraksi PKI, yakni Soebandi eks anggota TNI Batalyon 29 sekaligus Ketua Front Nasional Blitar, juga mampu merebut posisi ketua.
Istri Soebandi, yakni Putmainah, merupakan Ketua Gerwani sekaligus anggota Fraksi PKI DPRGR Kabupaten Blitar. Ajaran komunis yang dikenalkan dan disemaikan pertama kali oleh Karso dan Ngalim, warga Blitar itu tumbuh pesat.
Karso dan Ngalim adalah tokoh komunis angkatan 1926. Keduanya tewas dalam agresi militer Belanda tahun 1949. "Tapi sebenarnya yang paling memantik kemarahan masyarakat adalah aksi sepihak, "jelas Chudlori.
Kayubi dalam setiap orasi di depan kader Ansor Banser menegaskan, PKI sudah terang-terangan merebut harta warga NU. Masak kita diamkan saja. Mari kita lawan! Demikian Orasi saat itu.
Menurut dia, pembersihan orang PKI pertama kali disepakati berjamaah pada malam Jumat 14 Oktober 1965. Korbannya Jiang, seorang Tionghoa tokoh Baperki yang menjadi tukang pukul andalan PKI.
Rumah Jiang di sebelah barat terminal Kota Blitar diserbu Ansor dan Banser. Jiang tewas di halaman rumahnya. Orang-orang Ansor dan Banser juga menyerbu dan menduduki markas PKI di Kota Blitar. Pengikut PKI yang terlambat menyelamatkan diri langsung dihabisi.
KH Abdurrochim Sidik dalam buku "Banser Berjihad Menumpas PKI" mengatakan, sebelum operasi berjamaah malam hari, sudah terjadi gerakan pada siang harinya. Sebelum gerakan serentak malam hari, sejumlah Ansor Banser lebih dulu menghabisi pengurus PKI di wilayah Kecamatan Srengat, Kabupaten Blitar.
"Tidak sedikit orang-orang PKI yang meninggalkan rumahnya. Begitu mendengar suara takbir mereka langsung kabur pontang panting, "kenang Chudlori.
Setelah malam Jumat itu, kata Chudlori, pembersihan terhadap orang PKI berlanjut tanpa kenal waktu pagi, siang maupun malam. Dalam periode senyap itu, malam-malam yang dilaluinya begitu menegangkan.
Sejarawan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya RN Bayu Aji menuturkan, peristiwa yang melibatkan aksi kekerasan yang dilakukan oleh PKI menjadi bagian dari sejarah panjang di Indonesia. Semua itu tentu bisa dijadikan sebagai spion untuk melihat kebelakang. “Namun melihat spion ke belakang untuk menguatkan persatuan di hari ini dan masa depan,” katanya.
Rojil, panggilan akrabnya menambahkan, jangan sampai spion yang digunakan menjadi terkotak-kotak kepada politik identitas atau ideologi yang bisa membuat integrasi bangsa selama ini terpecah-pecah. “Masa lalu harus tetap kita jadikan bagian dari sejarah bangsa, tentu untuk pembelajaran bersama,” jelasnya.
Sejarah masa lalu, tambahnya, jangan malah dijadikan warisan dendam. Karena semua itu tidak akan ada habisnya dan justru menjadi beban masa lalu yang tak akan pernah surut.
(shf)