Lampu Suar dan Jangkar Kapal, Jejak Dahsyatnya Letusan Krakatau di Bandar Lampung

Minggu, 20 September 2020 - 05:00 WIB
Dalam presentasi berjudul, “Dinasti Krakatau: Era Kegelapan, Hindia Belanda, dan Indonesia”, Dr Mirzam mengemukakan, para masa Hindia Belanda mulai dilakukan penyusunan peta topografi dan vulkanologi yang dibuat oleh Junghuhn selama dua periode hingga 1855.



Gambarhitam putih yang dilukis pada zaman kolonial Belanda menggambarkan dahsyatnya Gunung Krakatau. Foto/Juanesi.info

Dr Mirzam mengatakan, letusan Gunung Krakatau pada 26 Agustus 1883 menjadikan gugusan Gunung Krakatau yang semula mencakup wilayah cukup luas, terpecah-pecah menjadi beberapa pulau saat ini.

Dampak yang ditimbulkan dari letusan tersebut adalah terjadinya gelombang besar atau tsunami di wilayah Selat Sunda yang ditaksirkan menelan korban 200.000 jiwa. Pascaletusan 1883 juga dilakukan penelitian terkait dampak-dampaknya.

“Gelombang pasang yang tercatat terjadi di seluruh dunia dengan ketinggian gelombang relatif beragam,” kata Dosen dari Kelompok Keahlian Petrologi Vulkanologi dan Geokimia FITB-ITB ini.

Seusai letusan dahsyat pada 1883, Gunung Krakatau terbelah menjadi dua. Dua bagian itu pun tumbuh menjadi gunung api. Orang-orangnya menyebutnya sebagai Gunung Anak Krakatau.

Dr Mirzam mengatakan, Gunung Anak Krakatau terus mengalami pertumbuhan dikarenakan posisinya yang terletak pada persilangan antara Pulau Jawa dan Sumatera. Ada aktivitas vulkanis yang tidak hanya berasal dari satu sumber, menyebabkan Gunung Anak Krakatau tumbuh signifikan dan arah letusannya pun cenderung menuju barat daya.

“Sejalan dengan arah sobekan Jawa-Sumatera, pulau-pulau di sekitar Gunung Anak Krakatau juga menunjukkan jejak letusan ke arah barat daya,” ungkap Dosen Teknik Geologi ITB ini.

Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More