Lampu Suar dan Jangkar Kapal, Jejak Dahsyatnya Letusan Krakatau di Bandar Lampung

Minggu, 20 September 2020 - 05:00 WIB
loading...
Lampu Suar dan Jangkar Kapal, Jejak Dahsyatnya Letusan Krakatau di Bandar Lampung
Monumen Krakatau di Taman Dipangga, Jalan WR Supratman, Telukbetung Selatan, Kota Bandar Lampung. Foto/http:/ulunlampung.blogspot.com
A A A
DIKISAHKAN, letusan Gunung Krakatau di Selata Sunda pada 26 Agustus 1883 sangat dahsyat. Abu vulkanik yang membumbung tinggi ke angkasa, konon mencapai London, ibukota Inggris.

Bahkan, letusan Krakatau menimbulkan tsunami setinggi 2 meter. Sejumlah literatur menyebutkan, akibat letusan Gunung Krakatau yang disusul bencana tsunami itu menyebabkan puluhan ribu, bahkan ada yang memperkirakan ratusan ribu warga Banten dan Lampung , kehilangan nyawa. (BACA JUGA: Protes Buka Tutup Jalan, Pedagang Pasar Baru Botram di Tengah Jalan Ottista )

Permukiman penduduk di dua provinsi tersebut pun, terutama yang berada di tepi pantai, habis tersapu oleh tsunami. Bencana alam dahsyat ini membuat Hindia Belanda (Indonesia kala itu) dan dunia berkabung. (BACA JUGA: Tiga Peserta Tes SKB CPNS KBB Reaktif COVID-19, Terpaksa Ujian Terpisah )

Letusan Gunung Krakatu pada 1883 bukanlah yang pertama. Gunung berapi ini pernah meletus pada 1680, namun hanya menghasilkan lava andesitik asam. Lalu pada 1880, Gunung Perbuwatan, gunung api di sebelah Krakatau aktif mengeluarkan lava meskipun tidak meletus.

Setelah itu, tidak ada lagi aktivitas vulkanis di Krakatau hingga 20 Mei 1883. Pada hari itu, setelah 200 tahun tertidur, terjadi ledakan kecil pada Gunung Krakatau. Puncaknya terjadi pada 26 Agustus 1883, Krakatau meletus, mengempaskan semua energi dan material yang dikandungnya.

Jejak dahsyatanya letusan Gunung Krakatau dibuktikan dengan benda-benda laut yang terlempar sangat jauh hingga ke tengah-tengah kawasan permukiman penduduk di Telukbetung, Kota Bandar Lampung, Provinsi Lampung. (BACA JUGA: Merasa Dikhianati, Istri Sah Bakal Calon Bupati Teluk Bintuni Lapor ke KPU )

Benda-benda berupa rambu laut dan lampu mercusuar yang semula berada di tepi pantai tersebut terlempar jauh ke tengah kota. Salah satu lampu suar yang diempaskan oleh dahsyatnya letusan Krakatau ditemukan di Kampung Upas, Teluk Betung.

Rambu laut itu semula berada di Pelabuhan Gudang Agen yang berjarak sekitar 1,2 kilometer dari Kampung Upas. Untuk mengingat peristiwa dahsyat itu, pemerintah kolonial Belanda mendirikan Monumen Krakatau dengan ornamen utama rambut laut tersebut pada sekitar 1884-1885.

Monumen ini berada di tengah-tengah Taman Dipangga, Jalan WR Supratman, Telukbetung Selatan, Kota Bandar Lampung, tepat di depan Mapolda Lampung. Di bagian sisi monumen berhiaskan relief yang menceritakan peristiwa dahsyat lebih dari satu setengah abad lampau tersebut.

Lampu Suar dan Jangkar Kapal, Jejak Dahsyatnya Letusan Krakatau di Bandar Lampung

Lampu suar dan jangkar kapal. Dua benda jejak dahsyatnya letusan Kratakau pada 1883 ini tersimpan di Museum Nagari Lampung. Foto/Disbudpar Lampung

Terlihat gambar masyarakat kala itu berbondong-bondong mengungsi dengan membawa barang-barang yang diletakkan di atas kepala. Kemudian, ada juga gambar relief Krakatau meletus dan kehidupan masyarakat di pesisir pantai.

Jarak laut dengan lokasi ini cukup jauh, sekitar 45 kilometer lebih dari Gunung Krakatau di Selat Sunda. Taman Dipangga tempat monumen mercusuar itu pun berada di dataran tinggi. Ini membuktikan dahsyatnya letusan dan tsunami Krakatau pada 1883.

Selain di Kampung Upas, terdapat pula rambu laut yang terlempar hingga Kampung Talang, Kecamatan Telukbetung Selatan. Kemudian jangkar dan lampu suar yang kini disimpan di Museum Negeri Lampung, Jalan ZA Pagar Alam.

Dulu juga ada kapal dagang Belanda, berukuran panjang 20-an meter yang terdampar sampai Sumur Putri, 2 kilometer dari bibir pantai di Gudang Agen. Namun kapal tersebut kini sudah tidak ada karena material kapal, seperti besi dan kayu dimanfaatkan masyarakat untuk dijual.

Letusannya Membelah Jawa dan Sumatera
Volkanolog ITB Dr Eng Mirzam Abdurrachman ST MT mengatakan, Gunung Krakatau yang berada di tengah-tengah Selat Sunda merupakan salah satu gunung api aktif di Indonesia. Leluhur Gunung tersebut sering disebut sebagai Proto Krakatau atau Krakatau Purba.

Dr Mirzam mengatakan, pada era kegelapan berkisar 600.000 tahun lampau, menurut hipotesis beberapa ilmuwan, terjadi letusan gunung api pada daerah ekuator bumi sekitar 100.000 tahun silam dengan 27 titik di antaranya berada di Indonesia.

"Letusan yang terjadi pada Proto Krakatau diprediksi menghasilkan kaldera dan membelah Pulau Jawa dan Sumatera," kata Mirzam dalam Geoseminar 2020 yang digelar Pusat Survei Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) secara daring bertema “Gunung Api (Past, Present & Future)", beberapa waktu lalu.

Dalam presentasi berjudul, “Dinasti Krakatau: Era Kegelapan, Hindia Belanda, dan Indonesia”, Dr Mirzam mengemukakan, para masa Hindia Belanda mulai dilakukan penyusunan peta topografi dan vulkanologi yang dibuat oleh Junghuhn selama dua periode hingga 1855.

Lampu Suar dan Jangkar Kapal, Jejak Dahsyatnya Letusan Krakatau di Bandar Lampung

Gambarhitam putih yang dilukis pada zaman kolonial Belanda menggambarkan dahsyatnya Gunung Krakatau. Foto/Juanesi.info

Dr Mirzam mengatakan, letusan Gunung Krakatau pada 26 Agustus 1883 menjadikan gugusan Gunung Krakatau yang semula mencakup wilayah cukup luas, terpecah-pecah menjadi beberapa pulau saat ini.

Dampak yang ditimbulkan dari letusan tersebut adalah terjadinya gelombang besar atau tsunami di wilayah Selat Sunda yang ditaksirkan menelan korban 200.000 jiwa. Pascaletusan 1883 juga dilakukan penelitian terkait dampak-dampaknya.

“Gelombang pasang yang tercatat terjadi di seluruh dunia dengan ketinggian gelombang relatif beragam,” kata Dosen dari Kelompok Keahlian Petrologi Vulkanologi dan Geokimia FITB-ITB ini.

Seusai letusan dahsyat pada 1883, Gunung Krakatau terbelah menjadi dua. Dua bagian itu pun tumbuh menjadi gunung api. Orang-orangnya menyebutnya sebagai Gunung Anak Krakatau.

Dr Mirzam mengatakan, Gunung Anak Krakatau terus mengalami pertumbuhan dikarenakan posisinya yang terletak pada persilangan antara Pulau Jawa dan Sumatera. Ada aktivitas vulkanis yang tidak hanya berasal dari satu sumber, menyebabkan Gunung Anak Krakatau tumbuh signifikan dan arah letusannya pun cenderung menuju barat daya.

“Sejalan dengan arah sobekan Jawa-Sumatera, pulau-pulau di sekitar Gunung Anak Krakatau juga menunjukkan jejak letusan ke arah barat daya,” ungkap Dosen Teknik Geologi ITB ini.

Lampu Suar dan Jangkar Kapal, Jejak Dahsyatnya Letusan Krakatau di Bandar Lampung

Volkanolog ITB Dr Eng Mirzam Abdurrachman ST MT. Foto/ITB.ac.id

Dr Mirzam menuturkan, sejauh ini tsunami pada 2018 akibat letusan Gunung Anak Krakatau diperkirakan dapat terjadi oleh empat mekanisme, yaitu letusan gunung api di bawah air (volcanogenic tsunami), longsoran (air masuk ke daratan), gunung api meletus membentuk kaldera (gunung api muncul di permukaan), dan aliran piroklastik (tsunami pada bagian depan gunung dengan kecepatan gelombang 150-250 km/jam).

Aktivitas Vulkanik Gunung Anak Krakatau
Gunung Anak Krakatau memiliki tinggi 338 meter di atas permukaan laut. Badan Geologi, Kementerian ESDM mendirikan dua pos pengamatan, yakni, Pos Pengamatan Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan, Provinsi Lampung dan Pasauran, Merak, Provinsi Banten. Kedua pos itu digunakan untuk memantau aktivitas Gunung Anak Krakatau.

Lampu Suar dan Jangkar Kapal, Jejak Dahsyatnya Letusan Krakatau di Bandar Lampung

Letusan Gunung Anak Krakatau. Foto/Youtube/Mister Angka

Pada Desember 2018, sempat terjadi penurunan aktivitas di gunung api tersebut. Kemudian sejak Minggu 30 Desember 2018 hingga Kamis 3 Januari 2019, kembali mengalami peningkatan aktivitas terus menerus. Pada Kamis 3 Januari 2019, dari pagi sampai sore tadi, terjadi gempa akibat letusan Gunung Anak Krakatau.

Sedangkan semburan abu vulkanik yang mencapai tinggi 2.000 meter itu sebenarnya kolom asap. Tingginya bervariasi dari 200 meter sampai 2.000 meter.

Kepala Subbidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Barat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kristianto mengatakan, mengemukakan, semburan kolom asap Gunung Anak Krakatau tidak berbahaya bagi warga sekitar. Karena itu, PVMBG merekomendasikan jarak aman 5 kilometer. Nelayan dilarang beraktivitas di dekat gunung api tersebut.

Lampu Suar dan Jangkar Kapal, Jejak Dahsyatnya Letusan Krakatau di Bandar Lampung

Kepala Subbidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Barat PVMBG, Badan Geologi, Kemen ESDM Kristianto. Foto/Istimewa

Semburan kolom asap, tutur Kristianto, juga tidak membahayakan aktivitas penerbangan pesawat. Laporan perkembangan dan aktivitas gunung api sebagai bentuk kewaspadaan dan keselamatan penerbangan, Sub Bidang Gunung Api Wilayah Barat PVMBG selalu mengirim laporan ke Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Kementerian Perhubungan (Kemenhub), maskapai penerbangan, dan pengelola bandara.

"Kalau pelayaran, aman. Sebab pelayaran penyebarangan Merak-Bakauheni atau sebaliknya tidak melewati kawasan Gunung Anak Krakatu. Lintasan penyeberangan kapal jauh, berjarak 5 kilometer lebih dari gunung api ini," tutur Kristianto.

Sejarah Panjang Krakatau
Sementara itu, dalam laman geologi.esdm.go.ide, dijelaskan, dulunya, Gunung Krakatau memiliki tiga tubuh gunung, yakni Gunung Rakata, Danan, dan Perbuatan. Ketiga tubuh gunung ini saling bertumpuk.

Pada erupsi dahsyat pada 26 Agustus 1883, tubuh Gunung Danan dan Perbuatan, hancur dan hilang. Sedangkan tubuh Gunung Rakata, tersisa setengahnya. Setelah megaletusan itu, terbentuk kaldera di bawah permukaan laut dengan diameter sekitar 7 km. Muncul pula tiga gugusan pulau, yakni sisa Gunung Rakata, Pulau Sertung, dan Panjang.

Ketiga gugusan pulau ini membentuk segitiga. Pada 1927, peneliti gunung api asal Belanda menemukan di bekas tubuh Gunung Danan yang telah hilang dari permukaan, keluar erupsi dari dasar laut. Pada 29 Desember 1929, muncul kerucut di atas permukaan laut.

Ini menandai Gunung Anak Krakatau muncul ke permukaan. Jika dihitung dari 1927 sampai sekarang, sekitar 91 tahun, tinggi Gunung Anak Krakatau saat ini mencapai 300 meter. Artinya, gunung ini tumbuh, ketinggannya rata-rata bertambah tinggi tiga meter tiap tahun.

Karena tumbuh, Gunung Anak Krakatau ini sering meletus atau erupsi. Jadi sebetulnya, erupsi yang terjadi sejak Senin 18 Juni sampai Januari 2019 itu, sudah biasa dan sering terjadi, bukan peristiwa luar biasa.

Erupsi yang terjadi pada 2018 dan 2019, masih sama dengan tahun-tahun ke belakang. Jadi belum mengganggu pelayaran kapal penyeberangan dan penerbangan pesawat udara.

Gempa vulkanik yang terjadi pun sangat kecil sehingga tak dirasakan oleh warga. Sedangkan pulau terdekat adalah Pulau Panjang dan Sertung yang tak berpenghuni.

Sejak saat itu hingga saat ini Gunung Anak Krakatau berada dalam fase konstruksi, membangun tubuhnya hingga besar, melalui perselingan fase-fase aktivitas tenang dan erupsi.

Gunungapi muda ini sangat aktif. Letusannya terjadi antara 2 sampai 4 tahun sekali. Fase erupsi biasanya berlangsung berbulan-bulan bahkan bisa berlangsung beberapa tahun.

Pada pengukuran pada September 2018, Gunung Anak Krakatau mempunyai elevasi tertinggi 338 meter di atas permukaan laut. Secara morfologi bentuk Gunung Anak Krakatau tidak pernah mempunyai bentuk kerucut ideal. Separuh di sisi baratlaut-utara-timur-tenggara relatif stabil sejak pembentukan pertama dan bentukan kerucut dengan kelerengan relatif landai.

Sebaliknya, di sisi barat-baratdaya-selatan, berubah-ubah sebagai hasil dari aktivitas erupsinya. Hal ini terjadi karena Gunung Anak Krakatau muncul di posisi tepian kaldera, yang sering disebut sebagai ‘ring-dyke’, yaitu terobosan yang muncul karena di tepian kaldera meupakan zona yang relatif lemah sesudah pembentukan kaldera.

Karakter letusannya adalah erupsi magmatik yang berupa erupsi ekplosif lemah (strombolian) dan erupsi efusif berupa aliran lava. Di fase-fase awal pembentukan, yaitu menjelang muncul di permukaan sampai sekitar 1935, letusan berupa letusan Surtseyan karena posisi kawah masih sangat rendah, yaitu level permukaan air laut.

Letusan Strombolin terjadi pada 20 Juni 2016 dan 19 Februari 2017. Sedangkan pada 2018, Gunung Anak Krakatau kembali meletus sejak 29 Juni 2018 sampai saat ini. Sebagaimana biasa, letusan itu berupa letusan-letusan strombolian.

Aktivitas Gunung Anak Krakatau di pantai dengan pemasangan beberapa stasiun seismik di lereng Gunung Anak Krakata dan juga di lokasi di Pulau Sertung, di barat daya Gunung Anak Krakatau.

Stasiun seismik di Gunung Anak Krakatau penting untuk mendeteksi perubahan fase tenang dan erupsi. Sebab, di awal akan tercatat gempa-gempa vulkanik berukuran kecil yang sulit tercatat di stasiun seismik lebih jauh.

Namun demikian, pada saat aktivitas pada level tinggi, stasiun di Pulau Sertung akan mengambil alih karena pada saat aktivitas tinggi, amplitudo kegempaan cukup besar sehingga tercatat di Pulau Sertung dengan jelas.

Hasil Pengamatan Seismik dan Visual Gunung Anak Krakatau periode aktivitas 2018:

Juni 2018: Kegempaan dicirikan dengan munculnya gempa-gempa vulkanik dalam dan dangkal

Juli 2018: Diawali dengan embusan-embusan asap dari kawah, kemudian diikuti dengan seri letusan-letusan.

Agustus 2018: Aktivitas letusan terus berlangsung dengan jumlah letusan bervariasi dari seratus sampai 400 per hari.

September 2018: Puncak letusan dengan amplitudo sinyal gempa maksimal dan dengan letusan terus menerus.

Oktober-November 2018: Fase aktivitas menurun yang ditunjukkan dengan jumlah letusan berkurang.

22 Desember pukul 20.56 WIB: Rekaman menunjukkan gempa pukul 20.55 WIB. Gempa ini juga tercatat di stasiun seismik Gunung Gede Cianjur. Karena tercatat sampai Gunung Gede, dapat disimpulkan bahwa gempa ini bukan gempa permukaan.

22 Desember pukul 20.58 WIB: Tercatat sinyal-sinyal guguran mulai pukul 20.58 WIB. Ada kemungkinan longsor terjadi karena dipicu gempabumi.

22 Desember pukul 21.03 WIB: Stasiun seismik Gunung Anak Krakatau mati. Diperkirakan tertimpa letusan.

24-27 Desember 2018: Terjadi letusan yang menerus disertai dentuman atau gelegar suara letusan yang terdengar sampai di Pos Pasauran. Di level tertinggi, jumlah dentuman mencapai 14 kali per menit atau sekitar 5 detik sekali.

26 Desember 2018, pukul 12.15 WIB: Mulai letusan-letusan besar dengan diikuti hujan abu.

27 Desember 06.00 WIB: Status Gunung Anak Krakatau dinaikkan dari level Siaga menjadi Waspada, dengan rekomendasi yang semula larangan dalam radius 2 km dari Gunung Anak Krakatau menjadi radius 5 km dari Gunung Anak Krakatau.

Radius 5 km di lapangan adalah berada di dalam kompleks Gunung Anak Krakatau yang dibatasi Pulau Rakata, Sertung, dan Panjang.

27 Desember 2018 sekitar pukul 23.00 WIB: Perubahan sinyal kegempaan yang tiba-tiba mengecil, frekuensi menjadi lebih tinggi. Demikian juga sinyal letusan berkurang. Dan sejak saat ini tidak terdengar lagi dentuman gelegar letusan sampai sekarang.

Dentuman dan tidak ada dentuman karena perubahan posisi pusat letusan dari di atas permukaan laut (udara) ke bawah permukaan laut.

28 Desember 2018 pukul 14.18 WIB: Dengan sedikit membaiknya cuaca, teramati bahwa tinggi Gunung Anak Krakatau tinggal 110M dpl dari sebelumnya 338 M dpl. Tubuh puncak Gunung Anak Krakatau hilang. (sebagian diletuskan dan menimbulkan hujan abu dan tentunya longsor pada 26 Desember 2018.

29-30 Desember: Letusan-letusan terjadi dengan jumlah yang minim (2 jam sekali). Secara visual, letusan berupa letusan jenis Surtseyan, yaitu magma yang keluar langsung menyentuh air.
(awd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2286 seconds (0.1#10.140)