Kisah Sintong Panjaitan Mau Menangis saat Ribuan Prajurit Tinggalkan Kopassus
Jum'at, 19 Juli 2024 - 06:39 WIB
Pada era 1980-an, TNI mengalami masa perombakan besar-besaran di bawah kepemimpinan Jenderal LB Moerdani yang saat itu menjabat sebagai Panglima ABRI. Dalam upaya meningkatkan efisiensi dan profesionalisme, dilakukan perampingan berbagai satuan, termasuk di tubuh Kopassus.
Jenderal (Purn) Benny Moerdani dengan tegas mengubah sistem komando dari Kodam, Kodaeral, hingga Kodau, mengurangi jumlahnya demi mencapai efisiensi. Namun, langkah ini membawa dampak emosional yang mendalam, terutama bagi prajurit-prajurit yang telah mengabdikan diri dalam satuan elit ini.
Letjen TNI (Purn) Sintong Panjaitan, komandan pertama Grup 3 Para Komando, menentang keras kebijakan ini. Dengan penuh keyakinan, ia berargumen bahwa perampingan justru akan menambah biaya dan mengurangi efisiensi. Namun, pendapatnya tidak diindahkan oleh Jenderal Benny Moerdani.
Meskipun dengan berat hati, perampingan tetap dilakukan. Sebelum pengurangan dilakukan, diadakan seleksi ketat di Sukabumi pada 1986. Prajurit yang lulus seleksi tetap mengenakan baret merah dan tinggal di Jakarta, sementara yang tidak lulus harus bergabung dengan Kostrad dan memakai baret hijau.
Sintong Panjaitan mengenang betapa sulitnya momen itu. "Saya rasanya mau menangis karena banyak orang yang baru masuk Kopassus harus keluar," ungkapnya saat itu, dikutip dari buku Kopassus untuk Indonesia, Profesionalisme Prajurit Kopassus. Upacara pergantian baret pun berlangsung dengan penuh haru, semua prajurit berdiri mengenakan baret merah sebelum akhirnya menukarnya dengan baret hijau.
Kolonel Inf Tarub, salah satu prajurit yang harus mengganti baret merahnya, mengungkapkan kesedihan yang mendalam saat itu. Dia kemudian diangkat menjadi komandan pertama Brigif Linud 3/Kostrad di Kariango. Seperti Sintong, Tarub juga merasakan betapa beratnya momen perampingan ini. Dia berusaha keras untuk menyemangati prajurit-prajuritnya yang harus meninggalkan Kopassus.
Tarub meminta izin kepada Try Sutrisno untuk berlutut saat baret merahnya diganti menjadi baret hijau. "Saya minta ke Pak Try bahwa dulu saya terima baret merah dengan berlutut di Pantai Selatan. Jadi ini kalau dilepas, saya maunya sambil berlutut juga," kenangnya.
Meskipun banyak prajurit yang menangis, Tarub terus membangun semangat dan kebanggaan di antara anak buahnya. Dia mengajak mereka untuk melihat bahwa semangat dan jiwa Kopassus tetap ada dalam diri mereka, terlepas dari warna baret yang mereka kenakan. Melalui olahraga seperti sepak bola dan voli, Tarub berusaha membuat prajuritnya tetap gembira dan bersemangat.
Kisah perampingan ini menjadi saksi haru dari pengorbanan dan kesetiaan para prajurit Kopassus. Meskipun harus meninggalkan baret merah kebanggaan mereka, semangat dan dedikasi mereka terhadap negara tetap berkobar, menunjukkan bahwa sejati prajurit tidak ditentukan oleh warna baret, tetapi oleh semangat yang ada di dalam hati mereka.
Jenderal (Purn) Benny Moerdani dengan tegas mengubah sistem komando dari Kodam, Kodaeral, hingga Kodau, mengurangi jumlahnya demi mencapai efisiensi. Namun, langkah ini membawa dampak emosional yang mendalam, terutama bagi prajurit-prajurit yang telah mengabdikan diri dalam satuan elit ini.
Letjen TNI (Purn) Sintong Panjaitan, komandan pertama Grup 3 Para Komando, menentang keras kebijakan ini. Dengan penuh keyakinan, ia berargumen bahwa perampingan justru akan menambah biaya dan mengurangi efisiensi. Namun, pendapatnya tidak diindahkan oleh Jenderal Benny Moerdani.
Meskipun dengan berat hati, perampingan tetap dilakukan. Sebelum pengurangan dilakukan, diadakan seleksi ketat di Sukabumi pada 1986. Prajurit yang lulus seleksi tetap mengenakan baret merah dan tinggal di Jakarta, sementara yang tidak lulus harus bergabung dengan Kostrad dan memakai baret hijau.
Sintong Panjaitan mengenang betapa sulitnya momen itu. "Saya rasanya mau menangis karena banyak orang yang baru masuk Kopassus harus keluar," ungkapnya saat itu, dikutip dari buku Kopassus untuk Indonesia, Profesionalisme Prajurit Kopassus. Upacara pergantian baret pun berlangsung dengan penuh haru, semua prajurit berdiri mengenakan baret merah sebelum akhirnya menukarnya dengan baret hijau.
Kolonel Inf Tarub, salah satu prajurit yang harus mengganti baret merahnya, mengungkapkan kesedihan yang mendalam saat itu. Dia kemudian diangkat menjadi komandan pertama Brigif Linud 3/Kostrad di Kariango. Seperti Sintong, Tarub juga merasakan betapa beratnya momen perampingan ini. Dia berusaha keras untuk menyemangati prajurit-prajuritnya yang harus meninggalkan Kopassus.
Tarub meminta izin kepada Try Sutrisno untuk berlutut saat baret merahnya diganti menjadi baret hijau. "Saya minta ke Pak Try bahwa dulu saya terima baret merah dengan berlutut di Pantai Selatan. Jadi ini kalau dilepas, saya maunya sambil berlutut juga," kenangnya.
Meskipun banyak prajurit yang menangis, Tarub terus membangun semangat dan kebanggaan di antara anak buahnya. Dia mengajak mereka untuk melihat bahwa semangat dan jiwa Kopassus tetap ada dalam diri mereka, terlepas dari warna baret yang mereka kenakan. Melalui olahraga seperti sepak bola dan voli, Tarub berusaha membuat prajuritnya tetap gembira dan bersemangat.
Kisah perampingan ini menjadi saksi haru dari pengorbanan dan kesetiaan para prajurit Kopassus. Meskipun harus meninggalkan baret merah kebanggaan mereka, semangat dan dedikasi mereka terhadap negara tetap berkobar, menunjukkan bahwa sejati prajurit tidak ditentukan oleh warna baret, tetapi oleh semangat yang ada di dalam hati mereka.
(hri)
tulis komentar anda