Soal Izin WIUPK, Mayoritas PHDI di Bali Menolak Masuk ke Bisnis Tambang
Sabtu, 29 Juni 2024 - 18:32 WIB
DENPASAR - Mayoritas elemen organisasi kemasyarakatan Hindu di Bali berpendapat, Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) sebaiknya tidak mengambil bisnis di Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
Hal itu mengemuka saat serap aspirasi yang berlangsung di Kantor PHDI Provinsi Bali, Denpasar, Jumat 28 Juni 2024. Untuk diketahui, ormas keagamaan memiliki peluang untuk masuk dalam bisnis tambang tersebut.
Hal itu berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2024 Tentang Perubahan PP Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Batu Bara.
PHDI Bali menolak masuk ke bisnis tambang dengan alasan bisnis sektor tambang tersebut dalam beberapa bulan belakangan ini tengah mendapat sorotan masyarakat terkait tata kelolanya yang merusak lingkungan.
Selain itu, adanya korupsi dengan kerugian sampai Rp300 triliun sebagaimana diusut oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) yang telah menetapkan puluhan orang sebagai tersangka.
Kemudian berbagai kemungkinan risiko negatif yang menimpa PHDI bilamana sektor tambang yang misalnya diambil terlibat sengketa hukum. Apalagi tidak memiliki kompetensi, kapabilitas, dan kemampuan yang mumpuni mengatasi permainan mafia di sektor yang mendapat sorotan tersebut.
Kalaupun berpartner dengan investor, berkaca dari realitas di mana begitu banyak investor yang tidak melakukan reklamasi di lahan bekas tambang sehingga kerusakan lingkungan menimbulkan ekses maka eksesnya bisa menjadi beban PHDI.
Hal itu mengemuka saat serap aspirasi yang berlangsung di Kantor PHDI Provinsi Bali, Denpasar, Jumat 28 Juni 2024. Untuk diketahui, ormas keagamaan memiliki peluang untuk masuk dalam bisnis tambang tersebut.
Hal itu berdasarkan PP Nomor 25 Tahun 2024 Tentang Perubahan PP Nomor 96 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Batu Bara.
PHDI Bali menolak masuk ke bisnis tambang dengan alasan bisnis sektor tambang tersebut dalam beberapa bulan belakangan ini tengah mendapat sorotan masyarakat terkait tata kelolanya yang merusak lingkungan.
Selain itu, adanya korupsi dengan kerugian sampai Rp300 triliun sebagaimana diusut oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) yang telah menetapkan puluhan orang sebagai tersangka.
Kemudian berbagai kemungkinan risiko negatif yang menimpa PHDI bilamana sektor tambang yang misalnya diambil terlibat sengketa hukum. Apalagi tidak memiliki kompetensi, kapabilitas, dan kemampuan yang mumpuni mengatasi permainan mafia di sektor yang mendapat sorotan tersebut.
Kalaupun berpartner dengan investor, berkaca dari realitas di mana begitu banyak investor yang tidak melakukan reklamasi di lahan bekas tambang sehingga kerusakan lingkungan menimbulkan ekses maka eksesnya bisa menjadi beban PHDI.
Lihat Juga :
tulis komentar anda