Dugaan Penyimpangan Anggaran di Mojokerto, Apa Penyebabnya?

Minggu, 02 Juni 2024 - 07:37 WIB
Keganjilan menyeruak karena pengadaannya sempat ditolak ketika dibahas Tim Anggaran Pemerintah Kota (Pemkot) bersama Badan Anggaran (Banggar) DPRD Kota Mojokerto.

Berdasarkan data yang dihimpun, pengajuan bantuan pengadaan kain seragam ini ditandatangani Ning Ita, sapaan Ika Puspitasari, selaku Ketua Muslimat NU Kota Mojokerto melalui surat Nomor 003/C/PCMNU/VII/2022.

Dokumen itu ditujukan kepada Wali Kota Mojokerto, Ika Puspitasari, pada 21 Juni 2022. Surat memuat 4 poin permohonan, yakni kain untuk 10.024 anggota Muslimat NU Kota Mojokerto, 10.024 kerudung hijau.

Kemudian ongkos jahit pakaian 10.024 anggota sebesar Rp1.503.600.000, dan 3 sepeda motor senilai Rp93 juta. DPRD menolak karena bantuan diajukan dan disetujui Wali Kota sekaligus Ketua Muslimat NU Kota Mojokerto, Ika Puspitasari.

Namun, bantuan tetap terlaksana dan akhirnya menggunakan anggaran Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kota Mojokerto 2023, sekalipun tidak ada mata anggarannya.

Dikuatkan dokumen pengadaan surat pesanan nomor: 027/1927/417.604/2023 tertanggal 19 Oktober 2023, di mana Badan Kesbangpol Kota Mojokerto pengadaan 10.000 lembar kain batik dengan anggaran Rp1,44 miliar dan CV Intan Jaya Sekti menjadi penyedia bahan.

“Sebetulnya Bakesbangpol menolak, tapi karena ditekan oleh yang berkepentingan sekaligus pemangku kekuasaan, akhirnya tidak punya pilihan. Selain itu, juga tidak ada rencana anggaran sebelumnya,” ungkap pejabat Pemkot Mojokerto yang enggan disebutkan namanya.

Apa yang terjadi di Mojokerto tidak lepas dari tumbuhnya dinasti politik.

Sebab, kedua daerah tersebut dipimpin anggota keluarga bekas Bupati Mojokerto sekaligus terpidana kasus suap pengurusan IPPR dan IMB menara telekomunikasi di Mojokerto 2015, Mustofa Kamal Pasha.

Ikfina merupakan istri, sedangkan Ning Ita adik Mustofa.

Dinasti Politik dan Korupsi

Pengamat politik Universitas Airlangga (Unair) Ali Sahab menyampaikan, tumbuhnya dinasti politik di kabupaten/kota kecil seperti Mojokerto karena beberapa faktor.

“Pertama, tidak adanya kompetitor yang bagus. Kedua, ⁠rata-rata mereka menguasai sumber sumber kekuasaan, seperti uang, jejaring politik. Ketiga, ⁠pragmatisme pemilih yang lebih mendasarkan pilihannya atas dasar keuntunganmaterial,” kata Ali Sahab.

Ali melanjutkan, dinasti politik membuka peluang terjadinya korupsi kian masif. “Betul, kecenderungan untuk korupsi semakin besar karena penyalahgunaankewenangan,” jelasnya.

Menurutnya, sangat sulit untuk memotong mata rantai dinasti politik dan menyetop perilaku korup yang ditimbulkan. Pangkalnya, variabel ekonomi memiliki pengaruh signifikan tumbuhnya dinasti politik di daerah.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More