Sekar Telkom Khawatir Masuknya OTT Global Ancam Keamanan Nasional
Kamis, 13 Agustus 2020 - 07:11 WIB
BANDUNG - Serikat Karyawan (Sekar) PT Telekomunikasi Indonesia menyayangkan rencana masuknya perusahaan raksasa asing dalam pembangunan infrastruktur jaringan telekomunikasi di Indonesia. Masuknya asing dikhawatirkan bakal mengganggu stabilitas keamanan Indonesia.
"Saat ini Google telah menggelar Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL) Indigo Cable System yang menghubungkan Singapura dengan Australia, di mana Jakarta menjadi salah satu cabang rute cable system tersebut," kata Ketua Umum Serikat Karyawan PT Telekomunikasi Indonesia (Sekar) Edward Simanjuntak di Bandung, Rabu (12/8/2020). (BACA JUGA: Jika Uji Klinis Vaksin Sinovac Gagal, Ini Langkah Bio Farma )
Selain rencana penggelaran SKKL yang melewati wilayah NKRI, ujar dia, pemain OTT global juga berupaya untuk menggelar jaringan langsung menuju area-area potensial di Indonesia. (BACA JUGA: Diduga Dampak Proyek Kereta Cepat, Tol Padaleunyi Kebanjiran )
Selain itu, pada Maret 2020, Facebook juga telah bermitra dengan salah satu perusahaan swasta pemegang lisensi jaringan tertutup (jartup) untuk menggelar infrastruktur fiber optik. Targetnya akan menjangkau 56 kota dan delapan provinsi di Indonesia pada 2021. (BACA JUGA: Pandemi, Minat Warga Bandung Beli Property di Australia Tinggi )
"Kalau ini terjadi, apa akibatnya buat kita? Sementara, selama ini mereka tidak kena pajak. Kalau begitu, kompetisi nanti tidak jalan. Kami maunya diperlakukan sama. Kalau dibiarkan, berapa perusahaan jaringan lokal yang akan mati?" ujar dia.
Menurut Edward, perusahaan asing hanya mempertimbangkan bisnis. Tak ada tanggung jawab bagi mereka menyentuh daerah terpencil. Sementara perusahaan nasional, ada tanggung jawab edukasi hingga pelosok.
Edward menuturkan, risiko over the top (OTT) atau pemain yang identik sebagai pengisi pipa data milik operator global adalah, akan muncul potensi fraud dan kegiatan abuse melalui konten digital, kanibalisasi produk eksisting (disruptive layanan/jasa), penyebaran konten-konten yang tidak bertanggung jawab.
Juga benturan dan ketimpangan dengan peraturan atau regulasi lain, seperti, permasalahan lisensi, HKI, dan persaingan usaha.
"Selain itu, kita akan kehilangan potensi pertumbuhan ekonomi digital, antara lain berkurangnya pajak, PNBP dari lisensi, dan lainnya," tutur Edward.
Edward mengungkapkan, aspek utama yang harus dicermati dalam merespons rencana para pemain OTT global tersebut adalah kedaulatan negara. Saat ini, perlindungan terhadap data dan informasi adalah sebuah keniscayaan yang harus selalu dijaga sebagai salah satu pilar keamanan negara.
Namun, ungkap dia, dengan penggelaran jaringan secara langsung yang dilakukan pemain OTT global, mereka akan mendapatkan kuasa penuh terhadap data dan informasi yang didapat dari pelanggan-pelanggan yang berlokasi di Indonesia.
"Ini, rawan menimbulkan potensi penyalahgunaan data dan informasi yang sensitif, serta berpotensi mengganggu stabilitas negara," tandas dia.
"Saat ini Google telah menggelar Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL) Indigo Cable System yang menghubungkan Singapura dengan Australia, di mana Jakarta menjadi salah satu cabang rute cable system tersebut," kata Ketua Umum Serikat Karyawan PT Telekomunikasi Indonesia (Sekar) Edward Simanjuntak di Bandung, Rabu (12/8/2020). (BACA JUGA: Jika Uji Klinis Vaksin Sinovac Gagal, Ini Langkah Bio Farma )
Selain rencana penggelaran SKKL yang melewati wilayah NKRI, ujar dia, pemain OTT global juga berupaya untuk menggelar jaringan langsung menuju area-area potensial di Indonesia. (BACA JUGA: Diduga Dampak Proyek Kereta Cepat, Tol Padaleunyi Kebanjiran )
Selain itu, pada Maret 2020, Facebook juga telah bermitra dengan salah satu perusahaan swasta pemegang lisensi jaringan tertutup (jartup) untuk menggelar infrastruktur fiber optik. Targetnya akan menjangkau 56 kota dan delapan provinsi di Indonesia pada 2021. (BACA JUGA: Pandemi, Minat Warga Bandung Beli Property di Australia Tinggi )
"Kalau ini terjadi, apa akibatnya buat kita? Sementara, selama ini mereka tidak kena pajak. Kalau begitu, kompetisi nanti tidak jalan. Kami maunya diperlakukan sama. Kalau dibiarkan, berapa perusahaan jaringan lokal yang akan mati?" ujar dia.
Menurut Edward, perusahaan asing hanya mempertimbangkan bisnis. Tak ada tanggung jawab bagi mereka menyentuh daerah terpencil. Sementara perusahaan nasional, ada tanggung jawab edukasi hingga pelosok.
Edward menuturkan, risiko over the top (OTT) atau pemain yang identik sebagai pengisi pipa data milik operator global adalah, akan muncul potensi fraud dan kegiatan abuse melalui konten digital, kanibalisasi produk eksisting (disruptive layanan/jasa), penyebaran konten-konten yang tidak bertanggung jawab.
Juga benturan dan ketimpangan dengan peraturan atau regulasi lain, seperti, permasalahan lisensi, HKI, dan persaingan usaha.
"Selain itu, kita akan kehilangan potensi pertumbuhan ekonomi digital, antara lain berkurangnya pajak, PNBP dari lisensi, dan lainnya," tutur Edward.
Edward mengungkapkan, aspek utama yang harus dicermati dalam merespons rencana para pemain OTT global tersebut adalah kedaulatan negara. Saat ini, perlindungan terhadap data dan informasi adalah sebuah keniscayaan yang harus selalu dijaga sebagai salah satu pilar keamanan negara.
Namun, ungkap dia, dengan penggelaran jaringan secara langsung yang dilakukan pemain OTT global, mereka akan mendapatkan kuasa penuh terhadap data dan informasi yang didapat dari pelanggan-pelanggan yang berlokasi di Indonesia.
"Ini, rawan menimbulkan potensi penyalahgunaan data dan informasi yang sensitif, serta berpotensi mengganggu stabilitas negara," tandas dia.
(awd)
tulis komentar anda