Misteri Raja Airlangga yang Suka Berpindah-pindah Ibu Kota
Minggu, 07 Januari 2024 - 08:08 WIB
Misteri Raja Airlangga yang suka berpindah-pindah ibu kota saat memimpin Kerajaan Kahuripan menarik untuk diulas. Pasalnya, selain karena faktor keamanan, alam juga jadi pertimbangan sang raja memutuskan memindahkan ibu kota kerajaan.
Sebagaimana diketahui, Airlangga sendiri membangun kerajaan pasca Kerajaan Mataram Kuno era Medang di masa Mpu Sindok dikuasai musuh. Saat itu raja Mpu Sindok meletakkan ibu kota kerajaan pada kuartal pertama abad 10 ialah di Watu Galuh, kira-kira letaknya di sekitar Jombang.
Prof. Slamet Muljana pada "Tafsir Sejarah Nagarakretagama", dikisahkan pada zaman pemerintahan Raja Dharmawangsa, sejak akhir abad 10, ibu kota itu telah dipindahkan ke arah timur ke Watan di kaki Gunung Pananggungan di sebelah selatan Sidoarjo, tempat dimakamkan Raja Dharmawangsa.
Raja Dharmawangsa sendiri jatuh sebagai korban serangan mendadak Raja Wurawari pada tahun 1006, seperti dinyatakan dalam prasasti Pucangan, 1041. Sementara sang Airlangga yang kala itu tengah melaksanakan pesta pernikahan berhasil kabur.
Balas dendam pun dilakukan oleh Airlangga, usai menghimpun kembali kekuatan pasukanmya. Raja Wurawuri yang menghabisi nyawa ayahnya berhasil dibalas oleh Airlangga.
Tak hanya itu, ia juga berhasil merebut kembali kerajaan yang didudukinya. Tetapi ibu kota Watan ditinggalkan karena Raja Airlangga, menurut prasasti Cane tahun 1021 dan membangun ibu kota baru di kaki Gunung Pananggungan, bernama Watan Mas.
Prasasti Terep bertarikh tahun 1032, menguraikan bahwa Raja Airlangga dalam kejaran musuh lari dari Watan Mas menuju Desa Patakan.
Rupanya, ibu kota Watan Mas yang telah diduduki musuh itu tetap ditinggalkan, karena menurut prasasti Kamalagyan tahun 1037, ibu kota kerajaannya ialah Kahuripan di sebelah timur Gunung Pananggungan.
Raja Airlangga tidak lama tinggal di situ karena pada tahun 1042 ibu kotanya ialah Daha seperti terbukti dari stempel prasasti Pamwatan dengan tulisan Dahana.
Prasasti Panwatan adalah prasasti terakhir yang dikeluarkan oleh Raja Airlangga. Tidak diketahui dengan pasti apa sebabnya ibu kota itu pindah dari Kahuripan ke Daha, karena sampai sekarang belum ditemukan prasasti yang memberitakan peristiwa tersebut bahwa Daha adalah ibu kota kerajaan Airlangga, sampai akhir pemerintahannya. Hal ini pula yang disebutkan berulang kali dalam Serat Calon Arang.
Sebagaimana diketahui, Airlangga sendiri membangun kerajaan pasca Kerajaan Mataram Kuno era Medang di masa Mpu Sindok dikuasai musuh. Saat itu raja Mpu Sindok meletakkan ibu kota kerajaan pada kuartal pertama abad 10 ialah di Watu Galuh, kira-kira letaknya di sekitar Jombang.
Prof. Slamet Muljana pada "Tafsir Sejarah Nagarakretagama", dikisahkan pada zaman pemerintahan Raja Dharmawangsa, sejak akhir abad 10, ibu kota itu telah dipindahkan ke arah timur ke Watan di kaki Gunung Pananggungan di sebelah selatan Sidoarjo, tempat dimakamkan Raja Dharmawangsa.
Raja Dharmawangsa sendiri jatuh sebagai korban serangan mendadak Raja Wurawari pada tahun 1006, seperti dinyatakan dalam prasasti Pucangan, 1041. Sementara sang Airlangga yang kala itu tengah melaksanakan pesta pernikahan berhasil kabur.
Balas dendam pun dilakukan oleh Airlangga, usai menghimpun kembali kekuatan pasukanmya. Raja Wurawuri yang menghabisi nyawa ayahnya berhasil dibalas oleh Airlangga.
Tak hanya itu, ia juga berhasil merebut kembali kerajaan yang didudukinya. Tetapi ibu kota Watan ditinggalkan karena Raja Airlangga, menurut prasasti Cane tahun 1021 dan membangun ibu kota baru di kaki Gunung Pananggungan, bernama Watan Mas.
Prasasti Terep bertarikh tahun 1032, menguraikan bahwa Raja Airlangga dalam kejaran musuh lari dari Watan Mas menuju Desa Patakan.
Rupanya, ibu kota Watan Mas yang telah diduduki musuh itu tetap ditinggalkan, karena menurut prasasti Kamalagyan tahun 1037, ibu kota kerajaannya ialah Kahuripan di sebelah timur Gunung Pananggungan.
Raja Airlangga tidak lama tinggal di situ karena pada tahun 1042 ibu kotanya ialah Daha seperti terbukti dari stempel prasasti Pamwatan dengan tulisan Dahana.
Prasasti Panwatan adalah prasasti terakhir yang dikeluarkan oleh Raja Airlangga. Tidak diketahui dengan pasti apa sebabnya ibu kota itu pindah dari Kahuripan ke Daha, karena sampai sekarang belum ditemukan prasasti yang memberitakan peristiwa tersebut bahwa Daha adalah ibu kota kerajaan Airlangga, sampai akhir pemerintahannya. Hal ini pula yang disebutkan berulang kali dalam Serat Calon Arang.
(hri)
tulis komentar anda