Misteri Tanah Kutukan Candi Penampihan, Dipercaya Bisa Binasakan Penginjaknya
Sabtu, 02 Desember 2023 - 16:53 WIB
Penampihan mengandung arti penerimaan yang bersyarat. Namun dalam versi lain diterjemahkan sebagai penolakan. Sejumlah arca dan prasasti ditemukan di komplek Candi Penampihan, yakni arca Siwa dan Dwarapala.
Sedangkan prasasti yang ditemukan ditulis dengan huruf Pallawa. Prasasti Tinulat begitu disebut, berisi narasi tentang nama-nama Raja Balitung dan seseorang yang bernama Mahesa Lalatan.
Prasasti juga menceritakan sistem sosial masyarakat kala itu, yakni Catur Asrama. Di kawasan Candi Panampihan juga terdapat dua kolam kecil yang bernama Samudera Mantana.
Konon dua kolam di Candi Penampihan menjadi indikator atau alat ukur kondisi air di Pulau Jawa, yakni sisi Utara dan Selatan. Kalau kolam dalam keadaan kering diterjemahkan air di pulau Jawa sedang kering.
Begitu juga sebaliknya bila air kolam di Candi Penampihan dalam kondisi penuh, maka di mana-mana telah terjadi banjir.
Pada masa awal berdirinya Candi Penampihan, wilayah Tulungagung masih dikenal dengan nama Rawa Campur, yakni kawasan rawa di mana terdapat pemukiman penduduk.
Pusat kota Rawa Campur adalah di Ngrowo dan Kalangbret. Pada masa Kerajaan Mataram Islam, wilayah Rawa Campur diperintah dua tumenggung atau dua bupati yang bertahta di Ngrowo dan Kalangbret.
Secara administrasi wilayah Ngrowo dan Kalangbret berada di bawah kekuasaan Bupati Wedana Madiun Raden Ronggo Prawirodiningrat (1822-1859).
Pasca perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830), wilayah Ngrowo dan Kalangbret yang berada di bawah kekuasaan gubernemen kolonial Belanda disatukan menjadi Tulungagung.
Sementara itu, misteri tanah gatel yang berada di komplek Candi Penampihan hingga kini tidak pernah terungkap. Seiring perkembangan zaman cerita tentang tanah gatel secara perlahan terlupakan.
Sedangkan prasasti yang ditemukan ditulis dengan huruf Pallawa. Prasasti Tinulat begitu disebut, berisi narasi tentang nama-nama Raja Balitung dan seseorang yang bernama Mahesa Lalatan.
Prasasti juga menceritakan sistem sosial masyarakat kala itu, yakni Catur Asrama. Di kawasan Candi Panampihan juga terdapat dua kolam kecil yang bernama Samudera Mantana.
Konon dua kolam di Candi Penampihan menjadi indikator atau alat ukur kondisi air di Pulau Jawa, yakni sisi Utara dan Selatan. Kalau kolam dalam keadaan kering diterjemahkan air di pulau Jawa sedang kering.
Begitu juga sebaliknya bila air kolam di Candi Penampihan dalam kondisi penuh, maka di mana-mana telah terjadi banjir.
Pada masa awal berdirinya Candi Penampihan, wilayah Tulungagung masih dikenal dengan nama Rawa Campur, yakni kawasan rawa di mana terdapat pemukiman penduduk.
Pusat kota Rawa Campur adalah di Ngrowo dan Kalangbret. Pada masa Kerajaan Mataram Islam, wilayah Rawa Campur diperintah dua tumenggung atau dua bupati yang bertahta di Ngrowo dan Kalangbret.
Secara administrasi wilayah Ngrowo dan Kalangbret berada di bawah kekuasaan Bupati Wedana Madiun Raden Ronggo Prawirodiningrat (1822-1859).
Pasca perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830), wilayah Ngrowo dan Kalangbret yang berada di bawah kekuasaan gubernemen kolonial Belanda disatukan menjadi Tulungagung.
Sementara itu, misteri tanah gatel yang berada di komplek Candi Penampihan hingga kini tidak pernah terungkap. Seiring perkembangan zaman cerita tentang tanah gatel secara perlahan terlupakan.
tulis komentar anda