Kisah Kiai Abbas Buntet, Sang Panutan yang Jadi Panglima Pertempuran 10 Nopember
Sabtu, 13 Mei 2023 - 05:17 WIB
Disebut mondok jika beliau belajar ke pesantren yang bukan milik orangtuanya. Begitupun dengan Abbas kecil, punya keinginan yang besar untuk mondok ke pesantren-pesantren di Jawa, khususnya Jawa Barat.
Karena desakan yang besar dari anaknya, akhirnya KH. Abdul Jamil mengabulkan: “Yawis lamon arep mondok, pamita Sira marang dulur ira ning Masjid Agung Cirebon,” (Ya sudah kalau kamu ingin mondok, mintalah restu kepada kerabatmu yang ada di Masjid Agung Keraton Cirebon.)
Dengan langkah tegap, tatapan tajam ke depan, Abbas kecil berjalan kaki menyusuri rel kereta api berangkat pagi dari rumahnya menuju Masjid Agung Cirebon. Hari itu adalah hari Jum’at. Tepat pukul 12 siang kurang 10 menit, bedug masjid pun berbunyi bersamaan dengan datangnya Abbas kecil.
Salah seorang habib, imam dan khatib Masjid Agung Cirebon, pun berteriak: “Heh... sapa kunuh sing wani-wanine nabuh bedug, kurang 10 menit!” (Siapa yang berani-beraninya menabuh bedug, padahal waktu masuk shalat kurang 10 menit lagi!)
Karena satu pun jamaah yang hadir tidak ada yang menjawab, karena memang tidak ada yang merasa menabuh bedug, habib itu pun bertanya di hadapan jamaah: “Siapa saja orangnya yang masuk masjid bersamaan dengan bunyi bedug tadi, suruh dia menghadap saya.”
Para jamaah pun saling toleh, tidak ada yang merasa. Tapi salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk menjawab: “Maaf, Habib. Ada satu orang yang dimaksud, tapi dia cuma anak kecil, kulitnya hitam, nampak lusuh dan pakaiannya tidak rapi.”
“Bagen bocah cilik,” Biarin, meskipun anak kecil! Jawab sang habib.
Akhirnya Abbas kecil pun diminta menghadap sang habib, dan ia ditanya: “Sira kuh sapa, saking endi?” Kamu itu siapa dan berasal dari mana?
Dijawab dengan tegas ala anak kecil: “Ingsun Abbas, putrane Dul Jamil Buntet.” (Saya Abbas, putranya Abdul Jamil Buntet.)
Langsung saja sang habib merangkulnya sembari menangis, dan berkata: “Masya Allah, sira kuh arane Abbas, putrane Kyai Abdul Jamil Buntet? Sedulur ingsun?!” (Masya Allah, kamu Abbas putranya Kyai Abdul Jamil Buntet? Masih kerabatku?!)
Karena desakan yang besar dari anaknya, akhirnya KH. Abdul Jamil mengabulkan: “Yawis lamon arep mondok, pamita Sira marang dulur ira ning Masjid Agung Cirebon,” (Ya sudah kalau kamu ingin mondok, mintalah restu kepada kerabatmu yang ada di Masjid Agung Keraton Cirebon.)
Dengan langkah tegap, tatapan tajam ke depan, Abbas kecil berjalan kaki menyusuri rel kereta api berangkat pagi dari rumahnya menuju Masjid Agung Cirebon. Hari itu adalah hari Jum’at. Tepat pukul 12 siang kurang 10 menit, bedug masjid pun berbunyi bersamaan dengan datangnya Abbas kecil.
Salah seorang habib, imam dan khatib Masjid Agung Cirebon, pun berteriak: “Heh... sapa kunuh sing wani-wanine nabuh bedug, kurang 10 menit!” (Siapa yang berani-beraninya menabuh bedug, padahal waktu masuk shalat kurang 10 menit lagi!)
Karena satu pun jamaah yang hadir tidak ada yang menjawab, karena memang tidak ada yang merasa menabuh bedug, habib itu pun bertanya di hadapan jamaah: “Siapa saja orangnya yang masuk masjid bersamaan dengan bunyi bedug tadi, suruh dia menghadap saya.”
Para jamaah pun saling toleh, tidak ada yang merasa. Tapi salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk menjawab: “Maaf, Habib. Ada satu orang yang dimaksud, tapi dia cuma anak kecil, kulitnya hitam, nampak lusuh dan pakaiannya tidak rapi.”
“Bagen bocah cilik,” Biarin, meskipun anak kecil! Jawab sang habib.
Akhirnya Abbas kecil pun diminta menghadap sang habib, dan ia ditanya: “Sira kuh sapa, saking endi?” Kamu itu siapa dan berasal dari mana?
Dijawab dengan tegas ala anak kecil: “Ingsun Abbas, putrane Dul Jamil Buntet.” (Saya Abbas, putranya Abdul Jamil Buntet.)
Langsung saja sang habib merangkulnya sembari menangis, dan berkata: “Masya Allah, sira kuh arane Abbas, putrane Kyai Abdul Jamil Buntet? Sedulur ingsun?!” (Masya Allah, kamu Abbas putranya Kyai Abdul Jamil Buntet? Masih kerabatku?!)
tulis komentar anda