Kisah Kiai Abbas Buntet, Sang Panutan yang Jadi Panglima Pertempuran 10 Nopember

Sabtu, 13 Mei 2023 - 05:17 WIB
loading...
Kisah Kiai Abbas Buntet, Sang Panutan yang Jadi Panglima Pertempuran 10 Nopember
KH Abdullah Abbas atau lebih dikenal dengan Abbas Buntet.Foto/ist
A A A
KH Abdullah Abbas adalah seorang ulama besar di Jawa Barat. Dia juga pengasuh Pesantren Buntet di Desa Mertapada Kulon, Astanajapura, Cirebon, Jawa Barat. Kiai ini adalah panglima perang dalam peristiwa pertempuran 10 November 1945 di Surabaya

Ulama kelahiran Buntet Cirebon, Jawa Barat, 7 Maret 1922 ini juga pernah menjabat Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Dikenal sebagai satu di antara lima ulama kharismatik Jawa Barat.

Adapun empat ulama kharismatik Jawa Barat yakni KH. Ilyas Ruhiyat (sesepuh Pondok Pesantren Cipasung Tasikmalaya), KH. Anwar Musaddad (sesepuh Pondok Pesantren Al-Musaddadiyah Garut), KH. Drs.Totoh Abdul Fatah Ghazali, S.H., (sesepuh Pondok Pesantren Al-Jawami Cileunyi Bandung), serta K.H. Irfan Hielmy (sesepuh Pondok Pesantren Darussalam, Ciamis). K.H. Abdullah.

KH. Abdullah Abbas rahimahullah sesepuh Pondok Buntet Pesantren Cirebon termasuk Kiai Khos (langka) yang menjadi rujukan umat Islam Indonesia. Bahkan banyak orang yang menyebutnya sebagai “Sang Panutan” dan “Penyangga Masyarakat”.

Baca juga: Kisah Pilu 2 Istri Ronggolawe, Pilih Mati dengan Keris di Depan Jasad Suami yang Dicap sebagai Pemberontak Majapahit

Sejak usia muda sampai jelang wafat, dia banyak memberikan sumbangan pikiran dan tenaga dalam membangun bangsa ini. Prinsip tersebut memang sudah terpatri dalam diri Kiai Dullah, karena dia termasuk yang ikut meletakkan pundi-pundi kemerdekaan. Abdullah Abbas adalah satu-satunya putera Kiai Abbas yang ikut memimpin berbagai pertempuran melawan Penjajah Belanda.

Saat itu, Kiai Abbas bertempur di Surabaya pada 10 November 1945. Kiai Abdullah Abbas pun turut berangkat bertempur melawan penjajah. Kiai Dullah melawan Belanda di daerah Sidoarjo bersama Mayjen Sungkono.

Bukan itu saja, Kiai Abdullah Abbas dengan pasukannya sering diminta membantu pasukan lain seperti di Tanjung Priok, Cikampek, Menengteng (Kuningan), dan pernah juga berhasil menyerang pabrik gula Sindang Laut.

Kiai Dullah aktif menjadi pasukan Hisbullah, bahkan menjadi Kepala Staf Batalyon Hisbullah, juga menjadi anggota Batalyon 315/Resimen I/Teritorial Siliwangi dengan pangkat Letnan Muda.

Pada 1984, ketika situasi politik telah membelokan arah NU, Kiai Dullah bersama Kiai Syafi’i dari Plumbon dan Abdurrahman Wahid melakukan gerakan perlunya NU kembali ke Khittah 1926. Gerakan ini tentunya mendapat tantangan yang sangat hebat dari berbagai kalangan.

Walau mendapat tantangan yang cukup berat, namun karena cintanya kepada warga NU, Kiai Abdullah Abbas terus berjuang dengan bersafari dari satu daerah ke daerah yang lain untuk melakukan kampanye perlunya NU kambali ke Khittah tahun 1926. Kiai Abdullah Abbas memang sejak muda aktif di NU. Bermula dari GP Anshor. Beliaupun pernah menjadi Ketua Rois Syuriah NU Jawa Barat.

Baca juga: Karomah Sunan Gunung Jati, Hidupkan Pohon Cempaka Putih hingga Dapatkan Istri

Bertemunya Kiai Abdullah Abbas dengan Gus Dur, seakan menemukan kembali persaudaraan yang sempat renggang. KH. Abbas ayah Kiai Abdullah Abaas sangat akrab dengan Hadratus Syekh K.H. Hasjim Asy'ari, kakek Gus Dur. Maka pertemanan antara keduanya membuat Kiai Abdullah Abbas mampu mengembangkan berbagai ide dan gagasan. Dinobatkannya Kiai Dullah sebagi Kiai Khos pada masa Gus Dur, telah membuat Kiai Dullah menjadi rujukan berbagai kalangan.

Dalam usianya yang sudah relatif sepuh, Kiai Abdullah beberapa kali masuk Rumah Sakit Ciremai. Ada beberapa gagasan Kiai Dullah yang sampai sekarang masih dalam proses realisasi yaitu ingin didirikannya Sebuah Sekolah Tinggi Kesehatan, Akademi Kebidanan, Sekolah Tinggi Agama Islam dan Rumah Sakit.

Beberapa sarana pendidikan yang sudah berdiri Saat ini sudah berdiri Madrasah Ibtidaiyah Putra dan Putri, Madrasah Tsanawiyah (MTs) NU Putra 1 dan MTs NU Putra 2 dan MTs Putri, Madrasah Aliyah (MA) NU Putra, MA NU Putri, Akademi Keperawatan, serta Lembaga Bahasa dan Ketrampilan.

Karomah Kiai Abbas
Mengutip Laduni.id, sewaktu masih kecil, seumuran anak-anak yang suka telanjang dan bermain layang-layang, Kia Abbas setiap meminta uang jajan kepada ayahandanya harus memenuhi syarat yang diberikan.

Waktu itu Abbas kecil harus membacakan nadzam Maqshud (riwayat lain Alfiyah) dengan hafalan di hadapan ayahnya. Dengan segera Abbas kecil pun membacakannya dengan hafalan di luar kepala, semuanya tanpa tersisa dan terlewat satu bait pun. Bercampur heran dan takjub, akhirnya uang jajan pun selalu diberikan jika beliau meminta.

Beberapa saat kemudian, Abbas kecil mengutarakan keinginannya kepada sang ayah untuk mondok. Meski ayahnya sendiri adalah seorang kyai yang alim dan mengajar ke para santri, orang Jawa menyebut itu belum dikatakan mondok karena belajar kepada orangtuanya sendiri.

Disebut mondok jika beliau belajar ke pesantren yang bukan milik orangtuanya. Begitupun dengan Abbas kecil, punya keinginan yang besar untuk mondok ke pesantren-pesantren di Jawa, khususnya Jawa Barat.

Karena desakan yang besar dari anaknya, akhirnya KH. Abdul Jamil mengabulkan: “Yawis lamon arep mondok, pamita Sira marang dulur ira ning Masjid Agung Cirebon,” (Ya sudah kalau kamu ingin mondok, mintalah restu kepada kerabatmu yang ada di Masjid Agung Keraton Cirebon.)

Dengan langkah tegap, tatapan tajam ke depan, Abbas kecil berjalan kaki menyusuri rel kereta api berangkat pagi dari rumahnya menuju Masjid Agung Cirebon. Hari itu adalah hari Jum’at. Tepat pukul 12 siang kurang 10 menit, bedug masjid pun berbunyi bersamaan dengan datangnya Abbas kecil.

Salah seorang habib, imam dan khatib Masjid Agung Cirebon, pun berteriak: “Heh... sapa kunuh sing wani-wanine nabuh bedug, kurang 10 menit!” (Siapa yang berani-beraninya menabuh bedug, padahal waktu masuk shalat kurang 10 menit lagi!)

Karena satu pun jamaah yang hadir tidak ada yang menjawab, karena memang tidak ada yang merasa menabuh bedug, habib itu pun bertanya di hadapan jamaah: “Siapa saja orangnya yang masuk masjid bersamaan dengan bunyi bedug tadi, suruh dia menghadap saya.”

Para jamaah pun saling toleh, tidak ada yang merasa. Tapi salah seorang dari mereka memberanikan diri untuk menjawab: “Maaf, Habib. Ada satu orang yang dimaksud, tapi dia cuma anak kecil, kulitnya hitam, nampak lusuh dan pakaiannya tidak rapi.”

Bagen bocah cilik,” Biarin, meskipun anak kecil! Jawab sang habib.

Akhirnya Abbas kecil pun diminta menghadap sang habib, dan ia ditanya: “Sira kuh sapa, saking endi?” Kamu itu siapa dan berasal dari mana?

Dijawab dengan tegas ala anak kecil: “Ingsun Abbas, putrane Dul Jamil Buntet.” (Saya Abbas, putranya Abdul Jamil Buntet.)

Langsung saja sang habib merangkulnya sembari menangis, dan berkata: “Masya Allah, sira kuh arane Abbas, putrane Kyai Abdul Jamil Buntet? Sedulur ingsun?!” (Masya Allah, kamu Abbas putranya Kyai Abdul Jamil Buntet? Masih kerabatku?!)

Akhirnya Abbas kecil pun disuruh sang habib untuk naik mimbar, dan berkhutbah. Meski kecil, ia sudah sangat fasih berbicara di hadapan orang banyak. Berkhutbah dengan lancarnya bak khathib yang sudah sangat berpengalaman.

Ternyata bedug masjid yang berbunyi sendiri itu, sebagai pertanda dan penyambutan ada tamu orang yang besar, KH. Abbas bin KH. Abdul Jamil Buntet. “Mungkin yang menabuh bedug dan menyambut itu adalah para malaikat,” tutup pamandaku, Bapak Ridhwan salah satu santri Buntet Pesantren, mengakhiri kisahnya.(diolah dari berbagai sumber)
(msd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1169 seconds (0.1#10.140)