Kemendagri: Putri Sultan Tak Bisa Jadi Gubernur

Jum'at, 08 Mei 2015 - 10:43 WIB
Kemendagri: Putri Sultan Tak Bisa Jadi Gubernur
Kemendagri: Putri Sultan Tak Bisa Jadi Gubernur
A A A
JAKARTA - Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan HB X telah mengganti nama Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun menjadi GKR Mangkubumi, sekaligus mengukuhkan sebagai putri mahkota. Namun, langkah putri mahkota ini menuju kursi gubernur DIY bakal terganjal.

Putri sulung Sultan ini bakal tersandung Undang-Undang Keistimewaan (UUK) No 13 Tahun 2012 dan Peraturan Daerah Keistimewaan atau Perdais Suksesi. “Dalam UU Keistimewaaan Yogyakarta, dijelaskan bahwa untuk menjadi gubernur DIY haruslah raja yang merupakan laki-laki. Selama ini, raja (Keraton Yogyakarta) yang menjadi gubernur berjenis kelamin lakilaki, dan berdasarkan UU, seperti itu,” ungkap Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) Kemendagri, Doddy Riyadmadji, kemarin.

Dalam sejarah Keraton Yogyakarta dan apa yang terjadi saat ini jelas berbeda. Dia menuturkan, sejak zaman Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) I sampai ke X, yang diangkat menjadi raja umumnya laki-laki. Tetapi sekarang sejarah telah berubah dengan penyebutan GKR Pembayun menjadi GKR Mangkubumi. Dimana putri Sultan menjadi gusti ratu atau putri mahkota yang dimungkinkan sebagai pengganti Sultan.

“Yang sekarang, gusti ratu sudah diumumkan dan tidak seperti ketika Sri Sultan Hamengkubuwono I sampai ke X diumumkan. Dimana, raja adalah laki-laki. Dengan begitu, putri Sultan untuk menjadi gubernur DIY akan tersandung UU tersebut (UUK),” katanya. Untuk menangani kisruh di Keraton Yogyakarta, menurut Doddy, perlu ada pertemuan internal Keraton Yogyakarta dan Sultan menyangkut hak adat dalam Keraton terkait Sabdaraja Sultan.

“Soal kepemimpinan Keraton Yogyakarta, harus dirundingkan dengan baikbaik agar tidak menimbulkan efek negatif, dan kami (Kemendagri) berada di tengah-tengah,” ujarnya. Sementara Menteri Dalam Negeri (Nendagri), Tjahjo Kumolo, menegaskan, urusan Sabdaraja adalah urusan internal Keraton. “Kami belum menerima laporan resmi terkait hal tersebut. Urusan Sabdaraja, urusan internal,” katanya saat berada di Palembang, Sumsel, kemarin.

Diakuinya, Kemendagri hanya melihat posisi Sri Sultan HB X dalam konteks sebagai gubernur DIY yang diatur UU. Dia mengaku sempat didatangi sebagian keluarga Keraton yang memintanya terlibat dalam rapat keluarga. “Namun, saya bilang ini urusan keluarga yang harus dibahas sendiri. Kami tak bisa menyarankan atau merekomendasikan untuk masalah ini. Sejauh ini belum ada pengaruh dalam pemerintahan di Yogyakarta,” ucapnya.

Kubu Sultan-Para Pangeran Saling Serang

Polemik Sabdaraja terus menggelinding. Kini, dua kubu, yakni Sri Sultan HB X dan adikadiknya, saling serang. Kepada wartawan, Sultan menegaskan beberapa poin yang sempat keluar di sejumlah media massa mengenai lima poin isi Sabdaraja adalah keliru. Ini lantaran informasi yang digali tidak berdasarkan sumber yang menghadiri Sabdaraja.

”Itu kan lima poin keliru semua,” ucapnya saat kunjungan ke lokasi tanaman Nyamplung di hutan Resor Pemangkuan Hutan (RPH) Gubukrubuh, Playen, Gunungkidul, kemarin. Menurut dia, pro-kontra dalam Sabdatama serta Sabdaraja merupakan hal biasa. Hanya adik-adiknya seharusnya tidak mengeluarkan pernyataan yang tidak diketahuinya. ”Mereka kantidak hadir, jadi bagaimana bisa mengetahui isinya?” ujarnya.

Tokoh reformasi 1998 ini mengutarakan, sudah dua kali mengundang para pangeran untuk mengikuti agenda Sabdatam dan Sabdaraja. Namun, semuanya tidak hadir. Untuk itu, apabila nanti semua sudah selesai pembahasannya, mereka akan diundang kembali. ”Yananti kami undang lagi kalau pembahasan sudah selesai,” ujarnya.

Sultan juga menampik memiliki dukun seperti yang disampaikan para adiknya. Menurut dia, sejak zaman Sri Sultan HB IX, sering kali diminta ziarah kepada para leluhur saat ayahnya ada di Jakarta dengan berbagai urusan. Jadi, perilaku spiritualnya sudah lama dilakukan jauh lebih lama daripada adik-adiknya yang kini sering berbicara mengenai perlawanan atas Sabdaraja.

”Jadi, memang membicarakan Keraton, tidak hanya menggunakanakalsaja, tapijuga menggunakan kedalaman hati. Saya tidak mempunyai dukun, berbeda dengan adik-adik saya yang memiliki dukun santet,” ucap Sultan menggunakan simbolisasi kepala dan juga dada.

Dia berharap semua kerabat menggunakan hati yang disimbolkannya dengan dada untuk meletakkan persoalan keraton. “Membaca situasi harus menggunakan olah rasa bukan hanya olah pikir,” cetusnya. Menjawab tudingan sang kakak, Gusti Bendara Pangeran Haryo (GBPH) Yudhaningrat meminta Sultan HB X tidak membuat bingung masyarakat.

Dia meyakini apa yang disampaikan di media massa seputar isi Sabdraja benar adanya. Gusti Yudha, sapaan akrab GBPH Yudhaningrat, mengakui saat acara Sabdaraja pertama, Kamis (30/5), tidak hadir karena ada kepentingan. Namun ada, sejumlah adik Sultan HB X yang hadir, salah satunya Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hadiwinoto.

Gusti Yudha mengungkapkan apa yang didengar dari kakaknya, KGPH Hadiwinoto, bahwa isi Sabdaraja memang seperti yang dimuat di media massa. “Menghilangkan Khalifatullah, mengganti Buwono menjadi Bawano, itu antara lain isi dari Sabdaraja,” sebut asisten Sekretaris Daerah Bidang Administrasi Umum Setda DIY itu.

Menurut Gusti Yudha, memang ada sejumlah perubahan yang tidak dimasukkan dari lima isi Sabdaraja. Perubahan tersebut adalah Sultan HB X menginginkan tidak ada kata Assalamualaikum dalam acaraacara protokoler Keraton Yogyakarta. “Beliau menghilangkan itu, meski tidak dimasukkan dalam Sabdaraja,” ujar mantan kepala Dinas Kebudayaan DIY ini.

Penghageng Keraton yang berdomisili di Jalan Ruswo Kecamatan Gondomanan, Yogyakarta, tersebut menegaskan, Sultan ingin melemparkan kesalahannya kepada pihak lain. “Katanya tidak mau menggunakan Joko Piturun (keris Kyai Ageng Joko Piturun), nyatanya GKR Mangkubumi (penobatan GKR Pembayun sebagai putri mahkota) menggunakan Joko Piturun. Itu kanmenelan ludahnya sendiri tho,” ujarnya.

Setelah dua Sabdaraja dikeluarkan, Gusti Yudha tidak lagi diundang datang ke kediaman Sultan HB X di Keraton Kilen. Adik-adik yang diundang adalah yang berdomisili di luar kota, khususnya Jakarta. “Bertiga (KGPH Hadiwinoto, GBPH Prabukusumo, dan GBPH Yudhaningrat) tidak diundang. Yang diundang adik-adik (Sultan) dari Jakarta,” ucapnya.

Dia pun menuding Sabdaraja yang dikeluarkan sang raja sudah membuat rakyat Yogyakarta resah. Para pangeran pun menggelar acara menampung keresahan rakyat di Ndalem Yudhanegaran. Keluarga besar putra dalem (Sultan HB IX)sengaja berkumpul untuk mendengar apa yang menjadi keresahan rakyat. “Ini jalur aspirasi bagi keresahan rakyat merespons ulah raja,” ujar Gusti Yudha.

Pada kesempatan itu, adikadik Sultan HB X yang berada di Jakarta menyempatkan diri datang ke Yogyakarta untuk merespons keresahan rakyat Yogyakarta, termasuk menyikapi dua Sabdaraja yang diucapkan sang raja pada Kamis (30/4) dan Selasa (5/5) lalu. Mereka adalah Pakuningrat, Cokroningrat, Suryodiningrat, Suryometaram, Hadinegara, dan Suryonegoro. Keenam putra mendiang Sri Sultan HB IX ini memiliki gelar Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH).

Sultan Yakin Tak Pengaruhi Danais

Terkait Dana Keistimewaan (Danais), Sultan menganggap keputusannya mengubah nama Hamengkubuwono menjadi Hamengkubawono tidak akan berpengaruh apa pun dengan dana tersebut. Sebab, ini bukan bersifat pemerintahan tapi lebih ke internal keluarga Keraton Yogyakarta. “Tidak akan ada pengaruh apa pun,” ucapnya yakin.

Menurut dia, Undang-Undang Keistimewaan (UUK) lebih pada urusan pemerintahan, yakni Pemerintah Republik Indonesia melalui Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Jadi, jika ada kekhawatiran dari beberapa pihak, termasuk adik-adiknya, bahwa perubahan nama menjadi Hamengkubawono akan berpengaruh, itu tidak berdasar. “Yo Danais masih seperti dulu, tidak perlu khawatir,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Bidang Sejarah, Purbakala dan Museum Dinas Kebudayaan DIY, Erlina Hidayati, meyakini sepanjang untuk melestarikan kebudayaan yang ada di Yogyakarta, Danais tetap bisa digunakan. Penggunaannya pun sudah diatur dalam UUK.

Suharjono/ Ridwan anshori/ Erfanto linangkung/ Retno palupi/ Okezone
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6035 seconds (0.1#10.140)