Mara, Sompa Pocong Pak Hakim!
A
A
A
SITUBONDO - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Situbondo menjatuhkan vonis satu tahun penjara dengan masa percobaan 15 bulan terhadap nenek Asyani, 70, terdakwa pencurian tujuh batang kayu jati milik Perhutani di Petak 43-F Blok Curah Cottok, Desa/Kecamatan Jatibanteng, Kabupaten Situbondo.
Nenek Asyani tidak terima atas vonis tersebut. ”Tak adil, Pak Hakim tak adil, gule tak salah, Pak. Tak tarema gule (tidak adil, Bapak Hakim tidak adil, saya tidak bersalah pak. Saya tidak terima),” teriak Asyani seusai majelis hakim mengetuk palu putusan di PN Situbondo, kemarin.
Asyani spontan menantang majelis hakim untuk sumpah pocong. Tantangan Asyani terucap usai hakim mengetok palu yang menyatakan dirinya bersalah. ”Kaule tak salah, Pak. Sompa pocong mara (saya tidak bersalah Pak, sumpah pocong ayo),” kata Asyani secara tiba-tiba seusai hakim mengetok palu. ”Mara sompa pocong , pak. Jek duli ngalle bekna, (ayo sumpah pocong, Pak. jangan pergi dulu kamu),” lanjut Asyani meneriaki majelis hakim yang beranjak dari kursinya dan berlalu dari ruang sidang tanpa menggubris tantangan Asyani.
Tak berhenti di situ, saat Nenek Asyani dibawa meninggalkan ruang sidang oleh polisi, ia terus berteriak histeris seakan tidak percaya dengan vonis yang dijatuhkan hakim tersebut. Bahkan, Nenek Asyani spontan mengumpat Sawin, Kepala KRPH Perhutani Jatibanteng, dan jaksa yang menuntut dirinya. ”Jahat Pak Sawin, jaksana jahat kiyah . Tak bisa, pasti narema pesse deri Sawin (jahat Pak Sawin, jaksanya jahat juga, pasti terima uang dari Sawin),” teriak Asyani histeris.
Meski divonis satu tahun, Asyani tidak harus kembali ke penjara. Namun nenek ini tetap histeris karena divonis bersalah mencuri tujuh batang kayu jati. Pada sidang kemarin, majelis hakim yang diketuai Kadek Dedy Arcana juga menjatuhkan denda Rp500 juta dengan subsider 1 hari masa kurungan kepada nenek yang bermata pencaharian sebagai tukang pijat itu.
Hakim juga memerintahkan agar barang bukti mobil pikap L- 300 dikembalikan kepada saksi Abdus Salam serta 38 sirap kayu jati dirampas untuk negara. Berdasarkan fakta persidangan, terdakwa Asyani terbukti sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf (d) juncto Pasal 83 Ayat (1) UU Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Vonis hakim tersebut lebih ringan dibanding dengan tuntutan jaksa, yang menuntut Nenek Asyani dihukum penjara selama 1 tahun dengan masa percobaan 18 bulan serta denda Rp500 juta subsider 1 hari kurungan.
Terdakwa lain yang juga mendapat tuntutan sama atas kasus yang nilai kerugian Perhutani sekitar Rp4 juta itu, yakni Ruslan (menantu Asyani yang dinilai membantu mengangkut kayu), Cipto (tukang mebel tempat menyimpan kayu milik Asyani), dan Abdus Salam (sopir pikap yang mengangkut kayu milik Asyani).
Penasihat hukum Asyani, Supriyono, mengaku tidak terima dengan putusan hakim. Karena itu, dia menyatakan akan menempuh banding atas putusan bersalah terhadap Asyani. ”Saya menduga majelis hakim lebih mementingkan solidaritas korps daripada keadilan dan kemanusiaan atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu, kami menyatakan banding atas putusan tersebut,” kata Supriyono.
Tidak Mencerminkan Keadilan Hukum
Vonis yang dijatuhkan majelis hakim kepada Asyani ini dinilai oleh sejumlah pengamat mencederai rasa keadilan. Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember, Dr. Bayu Dwi Anggono SH, menyesalkan atas vonis bersalah kepada Nenek Asyani yang dituduh mencuri kayu di lahan Perhutani itu.
”Putusan hukum majelis hakim pengadilan secara materiil tampaknya masih kurang memenuhi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan bagi masyarakat, mestinya majelis hakim berani melakukan terobosan-terobosan dalam pengambilan keputusan kasus hukum pidana yang memperhatikan keadilan,” kata Bayu Dwi Anggono, tadi malam.
Bayu menambahkan, menjadi hal harus diperjuangkan bagi penasihat hukum Asyani untuk berupaya banding ke pengadilan tinggi atas putusan majelis hakim tersebut. Pihaknya berharap agar kasus-kasus serupa yang pernah dialami Asyani tidak terjadi lagi di daerah lain. Sebab jika ketidakadilan keputusan hukum masih terjadi, akan berpengaruh terhadap kinerja penegakan hukum yang dilakukan pemerintahan saat ini.
Dosen muda Fakultas Hukum Universitas Jember ini juga mengingatkan dalam kasus Asyani pernah mendapatkan perhatian serius dari Menteri Kehutanan maupun Komnas HAM. Pihak Komnas HAM menilai bangsa Indonesia kini mulai kehilangan nurani kemanusiaannya.
Apalagi kasus Asyani juga dianggap sebagai disorientasi hukum karena sebetulnya aparat tidak perlu menggunakan restorasi justice . ”Yang seharusnya dihukum bukan orang yang bersalah, melainkan orang yang melakukan kejahatan,” katanya.
Pakar hukum pidana Universitas Airlangga (Unair), I Wayan Titib Sulaksana mengatakan, putusan majelis hakim tidak mencerminkan rasa keadilan hukum. ”Putusan sangat tidak mencerminkan rasa keadilan hukum. Bagaimana pencurian kayu ribuan metrik kubik di Kalimantan. Apakah polisi tidak tahu? Polisi hutan tidak tahu,” kata Wayan, tadi malam.
Menurut dia, mengikuti proses persidangan Nenek Asyani melalui pemberitaan televisi dan media cetak. ”Antara bukti dan saksi masih perlu dipertanyakan. Apa benar kayu yang dijadikan bukti itu dicuri dari lahan Perhutani,” katanya.
Wayan setuju jika kuasa hukum Nenek Asyani mengajukan banding. Bahkan, dia menyarankan advokat Nenek Asyani tidak lagi konsentrasi membawa saksi atau bukti yang sebelumnya diajukan pada persidangan di pengadilan negeri. Dia minta kuasa hukum mencermati keterangan saksi yang menjadi dasar putusan majelis hakim.
”Misalnya ada 10 saksi diajukan. Tapi majelis hakim hanya menjadikan keterangan satu saksi sebagai dasar putusan, keterangan sembilan saksi lainnya diabaikan. Ini bisa menjadi bahan, menjadi celah dalam penyusunan memori banding,” katanya.
Wayan juga menyarankan supaya advokat menggarisbawahi ketidakcermatan majelis hakim dalam menyimak keterangan saksi dan bukti. ”Karena sudah ada advokatnya, saya akan pantau kasus ini melalui pemberitaan,” kata Wayan.
Diwarnai Unjuk Rasa PMII
Putusan tidak adil tersebut langsung disambut demo puluhan mahasiswa dari PMII Cabang Situbondo dan Mahasiswa Hukum Peduli Keadilan Fakultas Hukum Unibraw Malang, yang mewarnai sidang putusan nenek Asyani. Mereka melakukan orasi di depan gerbang pengadilan sejak sidang belum digelar.
Dalam orasinya, mereka mendesak majelis hakim membebaskan dari segala tuntutan. ”Bebaskan Nenek Asyani sekarang juga. Aparat penegak hukum harus punya hati nurani. Jangan hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas,” teriak Fathor, koordinator aksi.
Bahkan, setelah majelis hakim menyatakan vonis bersalah kepada Asyani, puluhan mahasiswa kembali berorasi di halaman PN Situbondo. Mereka mengaku kecewa atas putusan hakim hingga demonstrasi berakhir bentrok. Seorang pengunjuk rasa terluka hingga berdarah akibat pukulan dari aparat.
P juliatmoko/ Soeprayitno/ant
Nenek Asyani tidak terima atas vonis tersebut. ”Tak adil, Pak Hakim tak adil, gule tak salah, Pak. Tak tarema gule (tidak adil, Bapak Hakim tidak adil, saya tidak bersalah pak. Saya tidak terima),” teriak Asyani seusai majelis hakim mengetuk palu putusan di PN Situbondo, kemarin.
Asyani spontan menantang majelis hakim untuk sumpah pocong. Tantangan Asyani terucap usai hakim mengetok palu yang menyatakan dirinya bersalah. ”Kaule tak salah, Pak. Sompa pocong mara (saya tidak bersalah Pak, sumpah pocong ayo),” kata Asyani secara tiba-tiba seusai hakim mengetok palu. ”Mara sompa pocong , pak. Jek duli ngalle bekna, (ayo sumpah pocong, Pak. jangan pergi dulu kamu),” lanjut Asyani meneriaki majelis hakim yang beranjak dari kursinya dan berlalu dari ruang sidang tanpa menggubris tantangan Asyani.
Tak berhenti di situ, saat Nenek Asyani dibawa meninggalkan ruang sidang oleh polisi, ia terus berteriak histeris seakan tidak percaya dengan vonis yang dijatuhkan hakim tersebut. Bahkan, Nenek Asyani spontan mengumpat Sawin, Kepala KRPH Perhutani Jatibanteng, dan jaksa yang menuntut dirinya. ”Jahat Pak Sawin, jaksana jahat kiyah . Tak bisa, pasti narema pesse deri Sawin (jahat Pak Sawin, jaksanya jahat juga, pasti terima uang dari Sawin),” teriak Asyani histeris.
Meski divonis satu tahun, Asyani tidak harus kembali ke penjara. Namun nenek ini tetap histeris karena divonis bersalah mencuri tujuh batang kayu jati. Pada sidang kemarin, majelis hakim yang diketuai Kadek Dedy Arcana juga menjatuhkan denda Rp500 juta dengan subsider 1 hari masa kurungan kepada nenek yang bermata pencaharian sebagai tukang pijat itu.
Hakim juga memerintahkan agar barang bukti mobil pikap L- 300 dikembalikan kepada saksi Abdus Salam serta 38 sirap kayu jati dirampas untuk negara. Berdasarkan fakta persidangan, terdakwa Asyani terbukti sah dan meyakinkan telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf (d) juncto Pasal 83 Ayat (1) UU Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Vonis hakim tersebut lebih ringan dibanding dengan tuntutan jaksa, yang menuntut Nenek Asyani dihukum penjara selama 1 tahun dengan masa percobaan 18 bulan serta denda Rp500 juta subsider 1 hari kurungan.
Terdakwa lain yang juga mendapat tuntutan sama atas kasus yang nilai kerugian Perhutani sekitar Rp4 juta itu, yakni Ruslan (menantu Asyani yang dinilai membantu mengangkut kayu), Cipto (tukang mebel tempat menyimpan kayu milik Asyani), dan Abdus Salam (sopir pikap yang mengangkut kayu milik Asyani).
Penasihat hukum Asyani, Supriyono, mengaku tidak terima dengan putusan hakim. Karena itu, dia menyatakan akan menempuh banding atas putusan bersalah terhadap Asyani. ”Saya menduga majelis hakim lebih mementingkan solidaritas korps daripada keadilan dan kemanusiaan atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu, kami menyatakan banding atas putusan tersebut,” kata Supriyono.
Tidak Mencerminkan Keadilan Hukum
Vonis yang dijatuhkan majelis hakim kepada Asyani ini dinilai oleh sejumlah pengamat mencederai rasa keadilan. Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember, Dr. Bayu Dwi Anggono SH, menyesalkan atas vonis bersalah kepada Nenek Asyani yang dituduh mencuri kayu di lahan Perhutani itu.
”Putusan hukum majelis hakim pengadilan secara materiil tampaknya masih kurang memenuhi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan bagi masyarakat, mestinya majelis hakim berani melakukan terobosan-terobosan dalam pengambilan keputusan kasus hukum pidana yang memperhatikan keadilan,” kata Bayu Dwi Anggono, tadi malam.
Bayu menambahkan, menjadi hal harus diperjuangkan bagi penasihat hukum Asyani untuk berupaya banding ke pengadilan tinggi atas putusan majelis hakim tersebut. Pihaknya berharap agar kasus-kasus serupa yang pernah dialami Asyani tidak terjadi lagi di daerah lain. Sebab jika ketidakadilan keputusan hukum masih terjadi, akan berpengaruh terhadap kinerja penegakan hukum yang dilakukan pemerintahan saat ini.
Dosen muda Fakultas Hukum Universitas Jember ini juga mengingatkan dalam kasus Asyani pernah mendapatkan perhatian serius dari Menteri Kehutanan maupun Komnas HAM. Pihak Komnas HAM menilai bangsa Indonesia kini mulai kehilangan nurani kemanusiaannya.
Apalagi kasus Asyani juga dianggap sebagai disorientasi hukum karena sebetulnya aparat tidak perlu menggunakan restorasi justice . ”Yang seharusnya dihukum bukan orang yang bersalah, melainkan orang yang melakukan kejahatan,” katanya.
Pakar hukum pidana Universitas Airlangga (Unair), I Wayan Titib Sulaksana mengatakan, putusan majelis hakim tidak mencerminkan rasa keadilan hukum. ”Putusan sangat tidak mencerminkan rasa keadilan hukum. Bagaimana pencurian kayu ribuan metrik kubik di Kalimantan. Apakah polisi tidak tahu? Polisi hutan tidak tahu,” kata Wayan, tadi malam.
Menurut dia, mengikuti proses persidangan Nenek Asyani melalui pemberitaan televisi dan media cetak. ”Antara bukti dan saksi masih perlu dipertanyakan. Apa benar kayu yang dijadikan bukti itu dicuri dari lahan Perhutani,” katanya.
Wayan setuju jika kuasa hukum Nenek Asyani mengajukan banding. Bahkan, dia menyarankan advokat Nenek Asyani tidak lagi konsentrasi membawa saksi atau bukti yang sebelumnya diajukan pada persidangan di pengadilan negeri. Dia minta kuasa hukum mencermati keterangan saksi yang menjadi dasar putusan majelis hakim.
”Misalnya ada 10 saksi diajukan. Tapi majelis hakim hanya menjadikan keterangan satu saksi sebagai dasar putusan, keterangan sembilan saksi lainnya diabaikan. Ini bisa menjadi bahan, menjadi celah dalam penyusunan memori banding,” katanya.
Wayan juga menyarankan supaya advokat menggarisbawahi ketidakcermatan majelis hakim dalam menyimak keterangan saksi dan bukti. ”Karena sudah ada advokatnya, saya akan pantau kasus ini melalui pemberitaan,” kata Wayan.
Diwarnai Unjuk Rasa PMII
Putusan tidak adil tersebut langsung disambut demo puluhan mahasiswa dari PMII Cabang Situbondo dan Mahasiswa Hukum Peduli Keadilan Fakultas Hukum Unibraw Malang, yang mewarnai sidang putusan nenek Asyani. Mereka melakukan orasi di depan gerbang pengadilan sejak sidang belum digelar.
Dalam orasinya, mereka mendesak majelis hakim membebaskan dari segala tuntutan. ”Bebaskan Nenek Asyani sekarang juga. Aparat penegak hukum harus punya hati nurani. Jangan hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas,” teriak Fathor, koordinator aksi.
Bahkan, setelah majelis hakim menyatakan vonis bersalah kepada Asyani, puluhan mahasiswa kembali berorasi di halaman PN Situbondo. Mereka mengaku kecewa atas putusan hakim hingga demonstrasi berakhir bentrok. Seorang pengunjuk rasa terluka hingga berdarah akibat pukulan dari aparat.
P juliatmoko/ Soeprayitno/ant
(ftr)