Dari Naskah Kuno Asli hingga Buku Sejarah
A
A
A
SURABAYA - Hari libur, ada banyak hal yang bisa dilakukan selain bersantai di rumah atau kumpul bersama temanteman. Salah satunya mengunjungi Museum House of Sampoerna (HoS).
Di museum tersebut terdapat naskah kuno milik kolektor Erwin Dian Rosyidi yang ditulis pada tahun 1887. Salah satu guidemuseum, Widy Asti, mengungkapkan, naskah kuno yang dipamerkan di HoS dalam rangka Hari Buku, sehingga ada beberapa naskah kuno lainnya yang turut dipamerkan untuk menambah pengetahuan mengenai sejarah pernaskahan.
”Naskah ini merupakan naskah paling kuno di antara naskah lain yang kami pamerkan. Tulisannya masih menggunakan huruf Jawa kuno, dan jumlah halamannya sekitar 1.000 halaman. Makanya buku ini terlihat tebal sekali kira-kira 8 cm,” kata Widy, kemarin.
Keistimewaan buku Babad Padjajaran ini terletak pada tulisan dan bahasa yang digunakannya masih menggunakan tulisan tangan asli dan bahasa Jawa kuno. Ini juga yang menyulitkan pembaca memahami isinya. Namun secara umum, Babad Padjajaran merupakan naskah zaman kuno menggunakan kertas watermark Belanda, dan sudah berumur ratusan tahun, sehingga pengunjung pun tidak diperkenankan menyentuh naskah tersebut karena rapuh.
Selain naskah kuno Babad Padjajaran, beberapa naskah lain yang turut dipamerkan di antaranya naskah Serat Darmo Gandul- Gatholotjo yang ditulis Ngabdoel Manap dan diterbitkan pada tahun1847. Naskah ini sekarang dimiliki Liem Tjee Hong. Ada pula naskah tua tulisan tangan Serat Pranacitra, naskah ini ditulis pada tahun 1792.
”Menariknya, naskah kuno seperti Serat Darmo Gandul Gatholotjo ini ditulis dengan gaya penulisan huruf latin bahasa Jawa yang pada zaman itu masih jarang digunakan. Sebab, pada waktu itu kebanyakan naskah justru ditulis dengan huruf Jawa atau Arab pegon,” ungkap Widy.
Beberapa naskah lain yang tidak kalah seru dan menariknya adalah naskah kuno Babad Sigaloeh yang ditulis Niryapanitra. Naskah ini menceritakan tentang sejarah Kerajaan Sigaloeh sampai Kerajaan Kartasura dan juga raja-raja di tanah Jawa. Naskah ini masih berupa tulisan tangan sebelum dicetak menjadi sebuah buku dan bisa dibaca masyarakat yang paham dengan isinya.
Naskah untuk Babad Tanah Jawi pun dipamerkan untuk membantu pengunjung belajar tentang sejarah tanah Jawa. Naskah ini ditulis oleh W Fruin Mess yang kemudian dialihbahasakan oleh Prof Purbatjaraka pada tahun 1921-1923.
Selain memamerkan beberapa naskah kuno, museum HoS juga memamerkan beberapa buku yang berkaitan dengan sejarah, di antaranya buku satu set Sun Yat Sen, satu set buku Soekarno, satu set buku Tjokroaminoto, Sam Kok, Oendang- Oendang Balatentara dai Nippon, serta masih banyak lagi. ”Tujuan kami memamerkan buku dan naskah kuno ini supaya pengunjung tahu tentang berbagai sejarah, termasuk sejarah dari orangorang ternama seperti Soekarno,” ucap Widy.
Salah satu pengunjung museum HoS Octa, Karieska, mengaku senang berkunjung ke galeri dan museum HoS karena ada banyak hal yang bisa menambah pengetahuan termasuk naskah-naskah kuno yang kemarin juga dipamerkan.
”Ini kebetulan sedang ada tugas dari kantor untuk pelatihan di Surabaya. Karena sedang libur, akhirnya saya menyempatkan diri mampir ke HoS, dan ternyata sedang ada pameran naskah kuno di lantai dua museum. Sangat seru sekali karena bisa melihat sendiri naskah kuno dengan tulisannya meski tidak paham isinya,” ujar perempuan asal Jakarta yang datang ke HoS bersama temannya, Krisna Ayu.
Kedua perempuan yang selama ini berkutat pada dunia pekerjaan kantor merasa senang bisa menyempatkan diri mampir ke museum HoS. Pasalnya, tidak banyak yang beruntung seperti mereka, karena ada banyak pameran buku dan naskah kuno serta di galeri HoS juga ada pameran dari Komunitas Jago Tarung Yogya.
”HoS ini kansangat terkenal, jadi ketika ada tugas, kami sempatkan mampir dan ternyata memang tidak mengecewakan. Ada banyak pengetahuan yang bisa kita dapatkan, khususnya mereka yang suka dengan dunia sejarah,” tandasnya.
Mamik wijayanti
Di museum tersebut terdapat naskah kuno milik kolektor Erwin Dian Rosyidi yang ditulis pada tahun 1887. Salah satu guidemuseum, Widy Asti, mengungkapkan, naskah kuno yang dipamerkan di HoS dalam rangka Hari Buku, sehingga ada beberapa naskah kuno lainnya yang turut dipamerkan untuk menambah pengetahuan mengenai sejarah pernaskahan.
”Naskah ini merupakan naskah paling kuno di antara naskah lain yang kami pamerkan. Tulisannya masih menggunakan huruf Jawa kuno, dan jumlah halamannya sekitar 1.000 halaman. Makanya buku ini terlihat tebal sekali kira-kira 8 cm,” kata Widy, kemarin.
Keistimewaan buku Babad Padjajaran ini terletak pada tulisan dan bahasa yang digunakannya masih menggunakan tulisan tangan asli dan bahasa Jawa kuno. Ini juga yang menyulitkan pembaca memahami isinya. Namun secara umum, Babad Padjajaran merupakan naskah zaman kuno menggunakan kertas watermark Belanda, dan sudah berumur ratusan tahun, sehingga pengunjung pun tidak diperkenankan menyentuh naskah tersebut karena rapuh.
Selain naskah kuno Babad Padjajaran, beberapa naskah lain yang turut dipamerkan di antaranya naskah Serat Darmo Gandul- Gatholotjo yang ditulis Ngabdoel Manap dan diterbitkan pada tahun1847. Naskah ini sekarang dimiliki Liem Tjee Hong. Ada pula naskah tua tulisan tangan Serat Pranacitra, naskah ini ditulis pada tahun 1792.
”Menariknya, naskah kuno seperti Serat Darmo Gandul Gatholotjo ini ditulis dengan gaya penulisan huruf latin bahasa Jawa yang pada zaman itu masih jarang digunakan. Sebab, pada waktu itu kebanyakan naskah justru ditulis dengan huruf Jawa atau Arab pegon,” ungkap Widy.
Beberapa naskah lain yang tidak kalah seru dan menariknya adalah naskah kuno Babad Sigaloeh yang ditulis Niryapanitra. Naskah ini menceritakan tentang sejarah Kerajaan Sigaloeh sampai Kerajaan Kartasura dan juga raja-raja di tanah Jawa. Naskah ini masih berupa tulisan tangan sebelum dicetak menjadi sebuah buku dan bisa dibaca masyarakat yang paham dengan isinya.
Naskah untuk Babad Tanah Jawi pun dipamerkan untuk membantu pengunjung belajar tentang sejarah tanah Jawa. Naskah ini ditulis oleh W Fruin Mess yang kemudian dialihbahasakan oleh Prof Purbatjaraka pada tahun 1921-1923.
Selain memamerkan beberapa naskah kuno, museum HoS juga memamerkan beberapa buku yang berkaitan dengan sejarah, di antaranya buku satu set Sun Yat Sen, satu set buku Soekarno, satu set buku Tjokroaminoto, Sam Kok, Oendang- Oendang Balatentara dai Nippon, serta masih banyak lagi. ”Tujuan kami memamerkan buku dan naskah kuno ini supaya pengunjung tahu tentang berbagai sejarah, termasuk sejarah dari orangorang ternama seperti Soekarno,” ucap Widy.
Salah satu pengunjung museum HoS Octa, Karieska, mengaku senang berkunjung ke galeri dan museum HoS karena ada banyak hal yang bisa menambah pengetahuan termasuk naskah-naskah kuno yang kemarin juga dipamerkan.
”Ini kebetulan sedang ada tugas dari kantor untuk pelatihan di Surabaya. Karena sedang libur, akhirnya saya menyempatkan diri mampir ke HoS, dan ternyata sedang ada pameran naskah kuno di lantai dua museum. Sangat seru sekali karena bisa melihat sendiri naskah kuno dengan tulisannya meski tidak paham isinya,” ujar perempuan asal Jakarta yang datang ke HoS bersama temannya, Krisna Ayu.
Kedua perempuan yang selama ini berkutat pada dunia pekerjaan kantor merasa senang bisa menyempatkan diri mampir ke museum HoS. Pasalnya, tidak banyak yang beruntung seperti mereka, karena ada banyak pameran buku dan naskah kuno serta di galeri HoS juga ada pameran dari Komunitas Jago Tarung Yogya.
”HoS ini kansangat terkenal, jadi ketika ada tugas, kami sempatkan mampir dan ternyata memang tidak mengecewakan. Ada banyak pengetahuan yang bisa kita dapatkan, khususnya mereka yang suka dengan dunia sejarah,” tandasnya.
Mamik wijayanti
(ftr)