Tjokroaminoto, Raja Jawa Tanpa Mahkota

Minggu, 22 Maret 2015 - 05:00 WIB
Tjokroaminoto, Raja Jawa Tanpa Mahkota
Tjokroaminoto, Raja Jawa Tanpa Mahkota
A A A
OLEH Pemerintah Hindia Belanda, Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto disebut "De Ongekroonde van Java" (Raja Jawa Tanpa Mahkota). Berikut kisah guru sejumlah tokoh bangsa Indonesia ini.

Sebutan Raja Jawa Tanpa Mahkota yang diberikan kepada HOS Tjokroaminoto, ada yang juga menulisnya HOS Cokroaminoto, menggambarkan betapa besar pengaruh Tjokroaminoto di kalangan masyarakat dan juga menggambarkan rasa khawatir Pemerintah Belanda terhadap tokoh ini.

Tjokroaminoto lahir di Desa Bakur, Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur, pada 1883. Namun, Wikipedia mencatat Tjokroaminoto lahir di Sumoroto, Ponorogo, Jawa Timur, 16 Agustus 1882.

Ayahnya adalah Raden Mas Tjokroamiseno, bangsawan yang sangat disegani oleh masyarakat karena bekerja sebagai wedana di Kleco, Madiun. Sedangkan kakeknya, Raden Mas Tjokronegoro adalah mantan Bupati Ponorogo.

Tjokroaminoto menempuh pendidikan pada Sekolah Dasar. Setelah tamat, sesuai dengan keinginan ayahnya, ia memasuki OSVIA (Opleiding School voor Inlandse Ambtenaren) di Magelang. Tamat dari OSVIA tahun 1902, Tjokroaminoto bekerja sebagai juru tulis pangrehpraja di Ngawi, Jawa Timur.

Tiga tahun kemudian, Tjokroaminoto pindah ke perusahaan swasta Firma De Kooy di Surabaya. Sambil bekerja, dia bersekolah sore hari di Burgerlijke Avond School (sekolah teknik) dengan mengambil jurusan teknik mesin. Sesudah lulus, dia bekerja sebagai ahli kimia pada sebuah pabrik gula di daerah Surabaya.

Pada tahun 1912, dia berhenti dan selanjutnya tidak pernah bekerja lagi sebagai pegawai. Pada tahun itu juga, karier politik Tjokroaminoto dimulai. Dia bertemu Haji Samanhudi, pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI) di Surabaya. Tjokroaminoto mengusulkan agar nama SDI diubah menjadi Sarekat Islam, tanpa meninggalkan misi dagang. Tujuannya adalah agar cakupannya lebih luas.

Mendengar usul Tjokroaminoto, Haji Samanhudi setuju. Dia lalu meminta Tjokroaminoto menyusun Anggaran Dasar SI. Tjokroaminoto bergerak cepat. Tugas yang diberikan Haji Samanhudi pun diselesaikannya.

Dalam anggaran dasar itu disebutkan bahwa tujuan SI ialah memajukan perdagangan, menolong anggotanya yang mengalami kesulitan, memajukan kepentingan rohani dan jasmani kaum bumiputera, dan memajukan kehidupan agama Islam.

Pada 10 September 1912, SI resmi berdiri. Haji Samanhudi menjadi Ketua SI, sementara Tjokroaminoto menjadi komisaris untuk Jawa Timur.

SI berkembang dengan pesat dan dalam waktu singkat jumlah anggotanya bertambah. Pada 1913, SI mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda supaya diakui sebagai badan hukum untuk seluruh Indonesia. Permohonan itu ditolak, pemerintah hanya mengakui SI-SI setempat. Karena itu, dibentuklah SI-SI lokal yang kemudian digabungkan di bawah Central Committe SI.

Pada tahun 1915, istilah Central Comitte diganti dengan Central SI. Bersamaan dengan itu, Tjokroaminoto diangkat sebagai Ketua Central SI, sedangkan Samanhudi sebagai Ketua Kehormatan. Pada Maret 1916, Anggaran Dasar SI diakui oleh pemerintah.

Sejak aktif dalam SI, Tjokroaminoto tidak mempunyai penghasilan tetap. Untuk membantu keperluan rumah tangganya, ia menerima beberapa orang pemuda mondok di rumahnya yang kecil yang terletak di sebuah gang sempit di Surabaya.

Di antara pemuda yang mondok itu terdapat Soekarno, Alimin, dan Muso. Hampir tiap malam Tjokroaminoto berdiskusi dengan para pemuda yang juga bisa disebut sebagai murid-muridnya.

Pesannya kepada para murid-muridnya ialah, "Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator."

Perkataan ini membius murid-muridnya sehingga membuat Soekarno setiap malam berteriak belajar pidato, hingga membuat kawannya yaitu Muso, Alimin, Kartosuwiryo, dan yang lainnya terbangun dan tertawa menyaksikannya.

Selain sibuk memimpin SI, Tjokroaminoto juga banyak menulis di berbagai majalah dan surat kabar. Ia menjadi pembantu tetap majalah Bintang Surabaya. Untuk kepentingan SI, ia mendirikan NV Setia yang menerbitkan harian Utusan Hindia yang dipimpinnya sendiri.

Tulisan-tulisan dalam harian itu sangat tajam mengecam pemerintah kolonial. Karena itulah, tahun 1923 harian tersebut dilarang terbit. Namun, dua tahun kemudian, bersama Agus Salim, Tjokroaminoto menerbitkan harian Fajar Asia di Yogyakarta.

Kegiatan lain yang dijalankan Tjokroaminoto adalah sebagai pengacara. Dia seringkali membela anggota-anggota SI yang dituduh melanggar hukum. Tjokroaminoto terkenal cerdas dan terampil.

Seorang hakim Belanda di depan suatu persidangan pernah menyindir Tjokroaminoto. "Sayang, dia bukan keluaran sekolah tinggi."

Tak mau kalah, Tjokroaminoto menyindir balik,"Bagaimanapun juga, lebih baik daripada sarjana hukum yang suka lupa hukum seperti tuan."

Tjokroaminoto bercita-cita agar bangsa Indonesia kelak memiliki pemerintahan sendiri dan terbebas dari belenggu penjajah. Demi mewujudkan cita-citanya itu, ia memiliki gagasan membentuk parlemen yang diharapkan bisa melahirkan perundang-undangan. Gagasan Tjokroaminoto ini dilontarkan di tengah-tengah Kongres Nasional Pertama Central Sarekat Islam pada 1916.

Tak lama setelah Tjokroaminoto mengusulkan pembentukan parlemen, tepatnya pada 1918, pemerintah kolonial Belanda bersedia membentuk Dewan Rakyat (Volksraad). Tjokroaminoto dan tokoh SI lainnya, yakni Abdul Muis dan Agus Salim terpilih sebagai anggota Dewan itu.

Mereka pun bertekad membentuk parlemen sejati. Ketiganya sempat mengeluarkan mosi agar anggota parlemen dipilih dari dan oleh rakyat, serta membentuk pemerintahan yang bertanggung jawab kepada parlemen. Namun, mosi itu ditolak oleh pemerintah kolonial Belanda. Hal inilah yang menjadi penyebab ketiga tokoh wakil SI ini keluar dari Volksraad dan bersikap nonkooperatif dengan pemerintah.

Tahun 1923, SI mengadakan kongres akbar di Madiun. Pada kongres tersebut, SI akhirnya diubah menjadi partai politik dengan nama Partai Sarekat Islam. Melalui partai, Tjokroaminoto bertekad untuk menentang Pemerintah Belanda yang semakin kuat menancapkan kapitalisme dan kolonialisme di bumi Indonesia.

Kemudian, pada tahun 1929 diganti lagi menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) hingga zaman kemerdekaan. Namun, perpecahan tak bisa dihindari.

Pemerintah Hindia Belanda pun senantiasa menekan PSII, antara lain dengan mengeluarkan aturan bahwa pegawai negeri tidak diizinkan menjadi anggota PSII. Pemimpin-pemimpin PSII di Sumatera Barat ditangkapi dan di antaranya diasingkan ke Digul. Tjokroaminoto dan Abdul Muis sudah lebih dulu dilarang ke luar Jawa.

Meski rintangan dan kericuhan terjadi di dalam PSII, pribadi dan kedudukan Tjokroaminoto tetap kokoh. Menghadapi cobaan-cobaan berat itu, dia bekerja keras, bahkan terlalu keras, sehingga banyak memakan tenaga dan pikirannya.

Kongres ke-20 PSII di Banjarmasin pada tahun 1934 menjadi kongres terakhir yang dipimpin oleh ketuanya, HOS Tjokroaminoto. Sejak itu Tjokroaminoto sakit-sakitan, tetapi masih sempat memberikan nasihat-nasihat dan pedoman perjuangan umat Islam.

Beberapa kawan seperjuangannya, Haji Agus Salim, Wondoamiseno, AM Sangaji, dan lain-lain menasihati agar Tjokroaminoto beristirahat. Namun, Tjokroaminoto masih saja bekerja dan berpikir. Penyakitnya makin parah. Pada 17 Desember 1934, Tjokroaminoto wafat di Yogyakarta. Almarhum dimakamkan di TMP Pekuncen, Yogyakarta.

Berdasarkan SK Presiden No.590 Tahun 1961 tertanggal 9 November 1961, Pemerintah RI menganugerahi HOS Tjokroaminoto gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Sumber: Wikipedia, pahlawancenter.com, dan buku Pahlawan-Pahlawan Bangsa yang Terlupakan (Penulis Johan Prasetya, Penerbit Saufa, Agustus 2014).
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8433 seconds (0.1#10.140)