Menteri-Menteri Ini Hidup Dalam Kesederhanaan
A
A
A
Gaya hidup sederhana kelima menteri ini patut ditiru. Siapa saja, kelima menteri yang hidup dalam kesederhanaan?
Kelima menteri yang hidup sangat sederhana adalah Siauw Giok Tjhan (Menteri Negara Urusan Minoritas era Presiden Soekarno), Djuanda Kartawidjaja (Perdana Menteri ke-10), dan Sutami (Menteri Pekerjaan Umum era Presiden Soekarno dan Soeharto)
Selain itu, Ki Sarmidi Mangunsarkoro (Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan era Presiden Soekarno), dan adalah Baharudin Lopa (Menteri Kehakiman dan HAM era Presiden Abdurrahman Wahid).
Pada era Presiden Soekarno, Siauw Giok Tjhan dikenal menteri sederhana yang jago kungfu. Meski berasal dari bangsa Tionghoa, Giok Tjhan dikenal hidup sederhana. Kondisi ini nampak jelas saat dia menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Minoritas di masa kabinet Amir Syarifudin.
Sebagai negara yang belum lama merdeka dan masih mendapat rongrongan balatentara Belanda, Giok Tjhan belum mendapatkan mobil dinas sebagai mana layaknya pejabat negara.
Untuk menjalani tugasnya, dia selalu naik andong (kereta kuda), setiap menuju Istana. Sayang, andong yang digunakannya dilarang masuk ke dalam Istana. Dia pun terpaksa berjalan kaki dari jalanan ke dalam Keraton Yogyakarta.
Tak cuma mobil dinas, dia pun tidak mendapatkan rumah dinas sebagai tempat tinggalnya selama menjabat. Pemerintah pun mempersilakan para menterinya untuk tinggal di Hotel Merdeka.
Demi menghemat keuangan negara, Giok Tjhan menolaknya. Giok Tjhan memilih tinggal di gedung kementerian negara di Jalan Jetis, Yogyakarta, meski pilihannya itu membuat dia harus tidur di atas meja tulis.
Setiap menjalani kerjaannya, sehari-hari Giok Tjhan hanya mengenakan kemeja lengan pendek, biasanya berwarna putih, disambungkan dengan celana drill pentalun, serta sepatu sandal.
Djuanda Kartawidjaja, juga punya cerita kesederhanaan saat menjabat menteri. Pria kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, 14 Januari 1911 ini juga dikenal tepat waktu.
Sumbangan terbesar Djuanda dalam masa jabatannya adalah Deklarasi Djuanda 1957. Deklarasi itu menyatakan laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Artinya laut di sekitar pulau Indonesia merupakan kedaulatan republik Indonesia, bukan sebuah perairan bebas.
Sepanjang karirnya, Djuanda menjabat 14 kali sebagai menteri. Tetapi, dia tetap sederhana dan selalu memberikan yang terbaik untuk bangsa dan negaranya.
Nama Djuanda juga diabadikan sebagai nama lapangan terbang di Surabaya, Jawa Timur, karena jasanya dalam memperjuangkan pembangunan lapangan terbang tersebut.
Selain itu, juga diabadikan untuk nama hutan raya di Bandung, yaitu Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Di taman ini, terdapat Museum dan Monumen Ir. H. Djuanda. Djuanda meninggal di Jakarta, 7 November 1963 pada umur 52 tahun.
Menteru Sutami, juga dikenal sosok yang menjunjung hidup sederhana. Dia merupakan orang yang berjasa dalam pembangunan Jembatan Musi, Palembang dan Jembatan Semanggi, Jakarta. Sutami juga orang yang menghitung kontruksi Gedung DPR.
Sutami alumnus Teknik Sipil ITB tahun 1956, kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, 19 Oktober 1928. Sejak usia 36 tahun, dia sudah menjadi menteri pekerjaan umum era Presiden Soekarno dan Soeharto.
Semua orang yang bekerja dengannya, selalu menangkap kesan pendiam dan sederhana. Menteri ini sama sekali tidak pernah bermewah-mewahan. Bahkan rumahnya di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, dibeli dengan cara mencicil. Saat akan pensiun, rumah itu baru lunas.
Sutami tak pernah mau memanfaatkan fasilitas negara secara berlebihan. Saat lengser tahun 1978, dia mengembalikan semua fasilitas negara.
Kemudian seorang pengusaha berniat memberinya mobil. Pengusaha itu tahu, mobil dinas Sutami ikut dikembalikan. Tapi dengan halus, Sutami menolaknya. Dia hanya meminta diberi sedikit diskon saja dari pengusaha itu.
Sutami tidak pernah banyak berbicara. Tidak berbusa-busa bicara politik dan mengumbar janji belaka. Dia sangat menyukai pekerjaan lapangan, maka Sutami dikenal sebagai "menteri yang tak punya udel".
Apa maksudnya? Ternyata julukan ini diberikan para wartawan yang selalu diajak meninjau ke daerah-daerah terpencil. Sutami kuat jalan kaki puluhan kilometer selama berjam-jam. Kalau ada ojek, dia naik ojek. Kalau tidak ada, maka dia akan jalan kaki untuk langsung bertemu masyarakat kecil.
Dia ingin melihat sendiri manfaat dari pembangunan. Atau permasalahan yang ada di daerah guna dicari penyelesaiannya. Sutami lebih suka terjun langsung daripada menerima laporan ABS alias Asal Bapak Senang. Saat era Orde Lama, Soekarno sering mengundang Sutami sarapan di istana.
Keduanya sarapan ketela yang mengepul (masih panas). Di masa Orde Baru, Presiden Soeharto sangat memperhatikannya. Soeharto kerap menjenguk Sutami saat sakit. Soeharto pula yang meminta Sutami mau berobat ke luar negeri.
Hal ini menunjukkan Sutami bekerja bukan untuk golongan tertentu. Bukan untuk satu presiden atau satu rezim saja. Sutami bekerja untuk bangsa dan rakyat Indonesia.
Sutami meninggal dunia 13 November 1980 pada umur 52 tahun. Dia menderita sakit lever, karena terlalu sibuk bekerja tanpa memikirkan kesehatannya sendiri.
Ki Sarmidi Mangunsarkoro, juga dinilai menteri yang sederhana dan sering menggunakan sarung. Tidak pernah ada dalam pikirannya untuk memperkaya diri. Dia hanya berpikir bagaimana memajukan bangsa dan negara.
Pria kelahiran 23 Mei 1904 di Solo ini ikut menjadi pelopor lahirnya universitas tertua di Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Dia juga pendiri Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta, sekarang Institut Seni Indonesia (ISI). Orang kepercayaan Ki Hajar Dewantoro ini adalah salah satu peletak dasar sistem pendidikan nasional di Indonesia.
Busana, bagi dia tidak perlu bermewah-mewah. Busana yang penting bisa menguatkan identitas. Meskipun menjadi menteri, kemanapun dia pergi, ke istana maupun gedung parlemen, tetap mengenakan sarung. Oleh karena itu, sering namanya dipelesetkan menjadi Ki Mangun Sarungan.
Lebih bersahaja lagi, sewaktu menjabat menteri, dia tidak pernah mau tinggal di rumah dinas menteri. Kalau dibandingkan dengan pejabat sekarang, sulit menemukan tandingan bagi kesahajaan Ki Mangunsarkoro.
Bagaimana dengan dengan Baharuddin Lopa? Lopa, panggilan akrab Baharuddin Lopa, adalah legenda tentang aparat negara yang jujur, sederhana, serta tegas.
Lopa menjadi teladan tentang pentingnya kejujuran dalam menjalani tugas-tugas keseharian sebagai abdi negara.
Banyak cerita kesederhanaan Menteri Kehakiman dan HAM ini di era Presiden Abdurrahman Wahid ini. Salah satunya tentang rumahnya yang sangat sederhana di kawasan Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Begitu pula mobil Toyota Kijang-nya yang juga sangat sederhana untuk ukuran seorang pejabat setingkat menteri.
Di luar itu, ada sebuah cerita menggetarkan tentang kesederhanaan Lopa seperti ditulis dalam buku Apa dan Siapa Baharuddin Lopa, karya Hendro Dewanto dkk.
Peristiwa ini terjadi saat Lopa menjabat sebagai menteri pada kurun Februari sampai Juni 2001. Suatu ketika, Lopa pulang dari kantornya di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, menuju rumahnya di Pondok Bambu.
Kepada ajudannya, Enang Supriyadi Samsi, Lopa meminta mampir dulu ke Bekasi untuk menjenguk cucunya, anak dari putrinya Aisyah. Sopir pun mengarahkan mobil menuju rumah Aisyah di Bekasi.
Di tengah perjalanan, Lopa singgah lebih dulu di sebuah mal, membeli sesuatu untuk cucunya. Menurut Enang, saat itu pengunjung mal menatap Lopa dengan penuh hormat.
Lopa lantas membeli sebuah mainan anak-anak yang terbuat dari plastik. Enang lupa dengan sebutan nama tersebut.
Dia hanya mengingat, bentuknya sederhana hanya tangkai plastik, di atasnya berbentuk lingkaran yang apabila diputar mengeluarkan bunyi-bunyian. Harganya murah hanya Rp7.500.
Kasir pun terheran-heran saat Lopa membayar mainan itu. Pikir kasir itu, hanya menteri Lopa yang membeli mainan untuk cucunya semurah itu.
Enang pun mengaku merenung sepanjang perjalanan menuju rumah Aisyah. Sungguh sebuah teladan kesederhanaan yang luar biasa dari seorang Baharuddin Lopa.
Sumber : www.warga.id (diolah dari berbagai sumber)
Kelima menteri yang hidup sangat sederhana adalah Siauw Giok Tjhan (Menteri Negara Urusan Minoritas era Presiden Soekarno), Djuanda Kartawidjaja (Perdana Menteri ke-10), dan Sutami (Menteri Pekerjaan Umum era Presiden Soekarno dan Soeharto)
Selain itu, Ki Sarmidi Mangunsarkoro (Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan era Presiden Soekarno), dan adalah Baharudin Lopa (Menteri Kehakiman dan HAM era Presiden Abdurrahman Wahid).
Pada era Presiden Soekarno, Siauw Giok Tjhan dikenal menteri sederhana yang jago kungfu. Meski berasal dari bangsa Tionghoa, Giok Tjhan dikenal hidup sederhana. Kondisi ini nampak jelas saat dia menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Minoritas di masa kabinet Amir Syarifudin.
Sebagai negara yang belum lama merdeka dan masih mendapat rongrongan balatentara Belanda, Giok Tjhan belum mendapatkan mobil dinas sebagai mana layaknya pejabat negara.
Untuk menjalani tugasnya, dia selalu naik andong (kereta kuda), setiap menuju Istana. Sayang, andong yang digunakannya dilarang masuk ke dalam Istana. Dia pun terpaksa berjalan kaki dari jalanan ke dalam Keraton Yogyakarta.
Tak cuma mobil dinas, dia pun tidak mendapatkan rumah dinas sebagai tempat tinggalnya selama menjabat. Pemerintah pun mempersilakan para menterinya untuk tinggal di Hotel Merdeka.
Demi menghemat keuangan negara, Giok Tjhan menolaknya. Giok Tjhan memilih tinggal di gedung kementerian negara di Jalan Jetis, Yogyakarta, meski pilihannya itu membuat dia harus tidur di atas meja tulis.
Setiap menjalani kerjaannya, sehari-hari Giok Tjhan hanya mengenakan kemeja lengan pendek, biasanya berwarna putih, disambungkan dengan celana drill pentalun, serta sepatu sandal.
Djuanda Kartawidjaja, juga punya cerita kesederhanaan saat menjabat menteri. Pria kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, 14 Januari 1911 ini juga dikenal tepat waktu.
Sumbangan terbesar Djuanda dalam masa jabatannya adalah Deklarasi Djuanda 1957. Deklarasi itu menyatakan laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara, dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Artinya laut di sekitar pulau Indonesia merupakan kedaulatan republik Indonesia, bukan sebuah perairan bebas.
Sepanjang karirnya, Djuanda menjabat 14 kali sebagai menteri. Tetapi, dia tetap sederhana dan selalu memberikan yang terbaik untuk bangsa dan negaranya.
Nama Djuanda juga diabadikan sebagai nama lapangan terbang di Surabaya, Jawa Timur, karena jasanya dalam memperjuangkan pembangunan lapangan terbang tersebut.
Selain itu, juga diabadikan untuk nama hutan raya di Bandung, yaitu Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Di taman ini, terdapat Museum dan Monumen Ir. H. Djuanda. Djuanda meninggal di Jakarta, 7 November 1963 pada umur 52 tahun.
Menteru Sutami, juga dikenal sosok yang menjunjung hidup sederhana. Dia merupakan orang yang berjasa dalam pembangunan Jembatan Musi, Palembang dan Jembatan Semanggi, Jakarta. Sutami juga orang yang menghitung kontruksi Gedung DPR.
Sutami alumnus Teknik Sipil ITB tahun 1956, kelahiran Surakarta, Jawa Tengah, 19 Oktober 1928. Sejak usia 36 tahun, dia sudah menjadi menteri pekerjaan umum era Presiden Soekarno dan Soeharto.
Semua orang yang bekerja dengannya, selalu menangkap kesan pendiam dan sederhana. Menteri ini sama sekali tidak pernah bermewah-mewahan. Bahkan rumahnya di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat, dibeli dengan cara mencicil. Saat akan pensiun, rumah itu baru lunas.
Sutami tak pernah mau memanfaatkan fasilitas negara secara berlebihan. Saat lengser tahun 1978, dia mengembalikan semua fasilitas negara.
Kemudian seorang pengusaha berniat memberinya mobil. Pengusaha itu tahu, mobil dinas Sutami ikut dikembalikan. Tapi dengan halus, Sutami menolaknya. Dia hanya meminta diberi sedikit diskon saja dari pengusaha itu.
Sutami tidak pernah banyak berbicara. Tidak berbusa-busa bicara politik dan mengumbar janji belaka. Dia sangat menyukai pekerjaan lapangan, maka Sutami dikenal sebagai "menteri yang tak punya udel".
Apa maksudnya? Ternyata julukan ini diberikan para wartawan yang selalu diajak meninjau ke daerah-daerah terpencil. Sutami kuat jalan kaki puluhan kilometer selama berjam-jam. Kalau ada ojek, dia naik ojek. Kalau tidak ada, maka dia akan jalan kaki untuk langsung bertemu masyarakat kecil.
Dia ingin melihat sendiri manfaat dari pembangunan. Atau permasalahan yang ada di daerah guna dicari penyelesaiannya. Sutami lebih suka terjun langsung daripada menerima laporan ABS alias Asal Bapak Senang. Saat era Orde Lama, Soekarno sering mengundang Sutami sarapan di istana.
Keduanya sarapan ketela yang mengepul (masih panas). Di masa Orde Baru, Presiden Soeharto sangat memperhatikannya. Soeharto kerap menjenguk Sutami saat sakit. Soeharto pula yang meminta Sutami mau berobat ke luar negeri.
Hal ini menunjukkan Sutami bekerja bukan untuk golongan tertentu. Bukan untuk satu presiden atau satu rezim saja. Sutami bekerja untuk bangsa dan rakyat Indonesia.
Sutami meninggal dunia 13 November 1980 pada umur 52 tahun. Dia menderita sakit lever, karena terlalu sibuk bekerja tanpa memikirkan kesehatannya sendiri.
Ki Sarmidi Mangunsarkoro, juga dinilai menteri yang sederhana dan sering menggunakan sarung. Tidak pernah ada dalam pikirannya untuk memperkaya diri. Dia hanya berpikir bagaimana memajukan bangsa dan negara.
Pria kelahiran 23 Mei 1904 di Solo ini ikut menjadi pelopor lahirnya universitas tertua di Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Dia juga pendiri Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta, sekarang Institut Seni Indonesia (ISI). Orang kepercayaan Ki Hajar Dewantoro ini adalah salah satu peletak dasar sistem pendidikan nasional di Indonesia.
Busana, bagi dia tidak perlu bermewah-mewah. Busana yang penting bisa menguatkan identitas. Meskipun menjadi menteri, kemanapun dia pergi, ke istana maupun gedung parlemen, tetap mengenakan sarung. Oleh karena itu, sering namanya dipelesetkan menjadi Ki Mangun Sarungan.
Lebih bersahaja lagi, sewaktu menjabat menteri, dia tidak pernah mau tinggal di rumah dinas menteri. Kalau dibandingkan dengan pejabat sekarang, sulit menemukan tandingan bagi kesahajaan Ki Mangunsarkoro.
Bagaimana dengan dengan Baharuddin Lopa? Lopa, panggilan akrab Baharuddin Lopa, adalah legenda tentang aparat negara yang jujur, sederhana, serta tegas.
Lopa menjadi teladan tentang pentingnya kejujuran dalam menjalani tugas-tugas keseharian sebagai abdi negara.
Banyak cerita kesederhanaan Menteri Kehakiman dan HAM ini di era Presiden Abdurrahman Wahid ini. Salah satunya tentang rumahnya yang sangat sederhana di kawasan Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Begitu pula mobil Toyota Kijang-nya yang juga sangat sederhana untuk ukuran seorang pejabat setingkat menteri.
Di luar itu, ada sebuah cerita menggetarkan tentang kesederhanaan Lopa seperti ditulis dalam buku Apa dan Siapa Baharuddin Lopa, karya Hendro Dewanto dkk.
Peristiwa ini terjadi saat Lopa menjabat sebagai menteri pada kurun Februari sampai Juni 2001. Suatu ketika, Lopa pulang dari kantornya di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, menuju rumahnya di Pondok Bambu.
Kepada ajudannya, Enang Supriyadi Samsi, Lopa meminta mampir dulu ke Bekasi untuk menjenguk cucunya, anak dari putrinya Aisyah. Sopir pun mengarahkan mobil menuju rumah Aisyah di Bekasi.
Di tengah perjalanan, Lopa singgah lebih dulu di sebuah mal, membeli sesuatu untuk cucunya. Menurut Enang, saat itu pengunjung mal menatap Lopa dengan penuh hormat.
Lopa lantas membeli sebuah mainan anak-anak yang terbuat dari plastik. Enang lupa dengan sebutan nama tersebut.
Dia hanya mengingat, bentuknya sederhana hanya tangkai plastik, di atasnya berbentuk lingkaran yang apabila diputar mengeluarkan bunyi-bunyian. Harganya murah hanya Rp7.500.
Kasir pun terheran-heran saat Lopa membayar mainan itu. Pikir kasir itu, hanya menteri Lopa yang membeli mainan untuk cucunya semurah itu.
Enang pun mengaku merenung sepanjang perjalanan menuju rumah Aisyah. Sungguh sebuah teladan kesederhanaan yang luar biasa dari seorang Baharuddin Lopa.
Sumber : www.warga.id (diolah dari berbagai sumber)
(lis)