Jalan Sunyi Sutan Sjahrir

Senin, 16 Februari 2015 - 05:05 WIB
Jalan Sunyi Sutan Sjahrir
Jalan Sunyi Sutan Sjahrir
A A A
SUTAN SJAHRIR merupakan salah seorang pejuang kemerdekaan yang kisah hidupnya penuh dengan tragedi. Ibarat kisah cinta Romeo and Juliet yang berakhir tragis, drama kehidupan Sutan Sjahrir patut dikenang.

Sjahrir dilahirkan di Padang Panjang, Ranah Minangkabau, Sumatera Barat, 5 Maret 1909. Dia dilahirkan dari pasangan Mohamad Rasad bergelar Maharadja Soetan dan Poetri Siri Rabiah yang masih keturunan raja-raja swapraja.

Sjahrir menghabiskan masa kecilnya di Kota Gadang. Dia mulai menikmati dunia intelektual dari kecil, saat menjadi murid Europeesche Lagere School (ELS), dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO).

Di sekolah, Sjahrir tumbuh dan berkembang menjadi anak pandai. Dia sudah lancar berbahasa Belanda dan gemar membaca buku. Sejak kecil, dia sudah menunjukkan ketertarikannya terhadap seni dan olahraga.

Dari Kota Gadang, Sjahrir pindah mengikuti ayahnya yang ditugaskan menjadi Jaksa Kepala Pengadilan Negeri Medan, dan Penasihat Sultan Deli. Setelah pendidikan MULO-nya selesai, dia pindah ke Bandung.

Di Bandung, dia meneruskan pendidikannya ke Sekolah Menengah Atas (SMA) Algemene Middelbare School (AMS) mengambil jurusan Westers Klassieke Afdeling atau Budaya Barat Klasik berbahasa Belanda.

Saat SMA inilah Sjahrir mulai terlibat dalam politik praktis. Pertama-tama, dia bergabung dengan gerakan pembebasan buta huruf Pemuda Indonesia yang kemudian menjadi Indonesia Muda.

Keterlibatan Sjahrir dalam Pemuda Indonesia dan mendirikan Tjahja Volkssuniversitiet atau Universitas Rakyat "Tjahja" dalam memberantas buta huruf, membuat namanya terkenal di kalangan pemuda.

Lulus dari AMS Bandung, dia meneruskan pendidikannya ke Negeri Belanda, mengambil Fakultas Hukum di Universiteit Leiden. Di Belanda inilah, Sjahrir terbawa gelombang pemikiran Marxisme-Leninisme.

Ketertarikannya terhadap politik dan ideologi Marxisme-Leninisme membuatnya tidak mau setengah-setengah mempelajari gerakan buruh di dunia itu. Lambat laun, dia pun menemukan apa yang dicarinya.

Setelah banyak bergaul dan terlibat langsung dalam gerakan buruh di Belanda, Sjahrir pun memantapkan diri untuk memilih sosialisme sebagai ideologi dan jalan politik yang harus ditempuhnya kemudian.

Di saat itulah, dia bertemu dengan karibnya Mohammad Hatta, Ketua Perhimpoenan Indonesia (PI), organisasi mahasiswa Indonesia pertama di Negeri Belanda yang menggunakan nama Indonesia.

Bersama Hatta, Sjahrir seolah menemukan pegangan hidup yang senapas dengan ideologi yang diyakininya, yakni sosialisme. Dia pun bergabung dengan PI dan menjadi salah satu pemimpinnya.

Ketertarikan Sjahrir terhadap politik membuat kuliahnya berantakan. Dia tidak pernah menyelesaikan pendidikannya itu. Dunia politik dan pejuangan kemerdekaan Indonesia menjadi tujuan utamanya.

Saat bergabung dengan PI, dia telah menjadi tokoh pergerakan kemerdekaan. Dia juga mulai banyak menulis hingga namanya dikenal para pejuang di Indonesia. Saat itu usianya baru 20 tahunan.

Permulaan tahun ke-30, Sjahrir pulang ke Indonesia dan memimpin para pemuda yang tergabung dalam Golongan Merdeka, yakni para pendukung Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang militan.

Kelompok ini menolak pembubaran PNI, dan membentuk PNI baru atau Pendidikan Nasional Indonesia, sebagai satu reaksi atas ketidakpuasan sikap para pemimpin PNI lama yang membubarkan PNI lama.

Kendati sama-sama PNI, PNI baru memiliki karakter yang berlainan sama sekali dengan PNI lama. PNI baru merupakan partai kader yang tidak sembarang orang bisa bergabung dengannya.

Pada kongres pertama partai ini, Syahrir terpilih menjadi Ketua Umum PNI baru yang pertama. Beberapa tahun kemudian, setelah Hatta kembali ke Indonesia, kepemimpinan PNI baru diserahkan kepada Hatta.

Aktivis PNI baru yang militan di berbagai daerah membuat partai ini dicurigai Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Partai ini menemui ajalnya saat para pemimpinnya ditangkap dan dibuang.

Hatta dan Sjahrir akhirnya ditangkap, lalu dijebloskan ke dalam penjara. Kemudian keduanya dibuang ke Boven Digoel. Setelah sekian tahun berada di Boven Digoel, mereka kemudian dipindahkan ke Banda Neira, Maluku.

Selama di Banda Neira, Sjahrir merasa sangat kesepian. Namun dia bisa mengatasi rasa kesepiannya itu dengan bermain dengan anak-anak di pantai, memancing, dan mengajarkan mereka baca tulis.

Dari beberapa anak itu, Sjahrir mengangkatnya sebagai anak angkat. Salah seorang anak angkat Sjahrir adalah Des Alwi yang kemudian menjadi sejarawan, dan menulis buku tentang sejarah Banda.

Setelah beberapa tahun di Banda Neira, Sjahrir dan Hatta dibawa kembali ke Jawa. Kembalinya Sjahrir dan Hatta ke Jawa, ibarat angin segar bagi dunia pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Bersamaan dengan itu, Soekarno yang sebelumnya dibuang ke Ende, Flores, lalu ke Bengkulu, dan Padang, akhirnya kembali ke Jawa. Kedatangan para buangan ke Jawa semakin menghangatkan suasana.

Selama masa pendudukan Jepang, Sultan Sjahrir banyak bergerak di bawah tanah, memimpin para pemuda untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Di antara para pemuda itu ada Soedjatmoko.

Dengan analisanya yang tajam, Sjahrir sangat yakin jika Jepang akan kalah dari sekutu. Informasi ini dia dapatkan dari mendengarkan radio gelap siaran Australia secara sembunyi-sembunyi.

Dari hasil mendengarkan radio gelap, dan melakukan analisa atas situasi saat itu, Sjahrir berkeyakinan Indonesia akan merdeka. Namun bukan diberikan oleh Jepang, tetapi atas kemampuan sendiri.

Naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pun dibuat. Para pemuda dari berbagai daerah pun disiapkan untuk pembacaan teks Proklamasi itu. Sayang, usul itu ditolak oleh Soekarno dan Hatta.

Penolakan oleh Soekarno dan Hatta berkali-kali membuat kelompok Sjahrir sangat kecewa. Saat itu Soekarno dan Hatta bertindak sangat hati-hati agar tidak banyak jatuh korban dari para pemuda.

Teks proklamasi ala Sjahrir itu akhirnya dibacakan di Cirebon pada 15 Agustus 1945 oleh para pemuda. Hal ini dilakukan karena infomasi dari Jakarta lambat sehingga pemuda bergerak sendiri tanpa komando.

Pembacaan teks Proklamasi di Cirebon kurang mendapat sambutan dari rakyat sehingga tidak membawa pengaruh yang kuat. Sayang, teks yang dibuat Sjahrir itu tidak berhasil ditemukan.

Pembacaan teks Proklamasi baru dilakukan, pada Jumat 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Hatta. Sjahrir tidak datang dalam pembacaan teks itu karena tidak suka adanya perwira Jepang.

Saat kabinet perlementer terbentuk, Sjahrir terpilih menjadi Perdana Menteri Indonesia pertama. Peran Sjahrir sebagai perdana menteri cukup besar, terutama dalam melakukan diplomasi.

Salah satu diplomasi Sjahrir yang terkenal adalah Perundingan Linggarjati yang menghasilkan diakuinya Jawa dan Sumatera menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perundingan ini banyak dikecam, terutama oleh kelompok Persatuan Perjuangan (PP) yang antidiplomasi pimpinan Tan Malaka. Bahkan akibat penolakan itu Sjahrir diculik.

Bahkan, Amir Syarifuddin Harahap yang merupakan karib Sjahrir di Partai Sosialis ikut mengecamnya. Sjahrir pun seolah ditusuk dari belakang oleh kawan seperjuangannya setelah perjanjian itu.

Merasa tidak memiliki dukungan di parlemen, Sjahrir akhirnya meletakkan jabatannya sebagai perdana menteri. Pengganti Sjahrir adalah Amir Syarifuddin, rekannya di Partai Sosialis.

Hubungan Amir dengan Sjahrir awalnya sangat dekat. Mereka sama-sama membentuk Partai Sosialis. Partai ini merupakan peleburan dari Partai Rakyat Sosialis (Paras) dan Partai Sosialis Indonesia (Parsi).

Partai Sosialis kemudian pecah lagi, menjadi Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dikomandoi oleh Sultan Sjahrir. Sedang Partai Sosialis kemudian bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tidak jauh berbeda dengan Sjahrir, Amir Syarifuddin yang sebelumnya mengkritik Perundingan Linggarjati malah menyetujui Perjanjian Renville yang makin mengecilkan wilayah kekuasaan Indonesia.

Partai Masyumi dan PNI bahkan menarik para menterinya sebagai reaksi atas perjanjian itu. Kabinet Perdana Menteri Amir Syarifuddin pun akhirnya jatuh, dan dibentuklah Kabinet Presidensial oleh Hatta.

Sejak itu, peran Sjahrir dalam pemerintahan hilang sedikit demi sedikit. Sjahrir pun tersingkir dari persaingan politik. Untuk menghormati jasanya, dia diangkat menjadi Penasihat Khusus Presiden Soekarno.

Setelah tidak memiliki jabatan di pemerintahan, Sjahrir aktif dalam PSI dan gagal membawa partai itu sebagai pemenang. Namun, banyak pihak mengakui pengaruh orang PSI dalam pemerintahan masih kuat.

Pada tahun 1951, Sjahrir menikahi Siti Wahyuni Saleh atau biasa dikenal Poppy. Pernikahan itu merupakan yang kedua dan terakhir bagi Syahrir. Istri pertamanya merupakan orang Belanda, Maria Duchateau.

Beberapa tahun kemudian, tepatnya 1 Desember 1956, Wakil Presiden Republik Indonesia Mohammad Hatta mengundurkan diri dari kabinet. Pengunduran diri Hatta banyak disesalkan oleh masyarakat.

Sejak awal berdiri, politikus Indonesia kerap terlibat konflik. Persatuan dalam politik sebelum kemerdekaan pecah. Masing-masing kelompok mulai menunjukkan egonya untuk berkuasa. Munculah rasa ketidakpuasan.

Di antara ketidakpuasan itu adalah Gerakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang menentang Presiden Soekarno. Gerakan ini terjadi akibat dari akumulasi konfrontasi militer.

Terlibatnya sejumlah tokoh PSI dalam peristiwa itu menyeret Sutan Sjahrir yang mulai hidup tenang. Akhirnya, Presiden Soekarno bertindak. Sutan Syahrir dijemput paksa dari rumahnya, di Jakarta.

Dia lalu dijebloskan ke dalam penjara. Sejurus kemudian, sejumlah tokoh Masyumi juga ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. PSI dan Masyumi pun akhirnya dibubarkan oleh Presiden Soekarno.

Di penjara Madiun, Sjahrir menderita tekanan darah tinggi. Dia lalu mendapat perawatan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta. Sjahrir dirawat selama delapan bulan.

Setelah agak sehatan, dia kembali dijebloskan ke dalam penjara. Kali ini, di Rumah Tahanan Militer di Jalan Budi Utomo. Ruang penjara Sjahrir sangat sempit dan lembab yang membuat sakitnya semakin parah.

Dalam waktu beberapa minggu, Sjahrir menderita stroke. Suatu ketika Sjahrir jatuh pingsan selama satu malam di teras kamar mandi, tanpa ditolong oleh tentara yang menjaga penjara tersebut.

Baru besoknya Sjahrir dibawa ke rumah sakit. Dia dioperasi akibat stroke yang dialaminya. Namun operasi itu gagal. Akibatnya mulut Sjahrir tidak bisa digerakkan, dan dia tidak bisa bicara lagi.

Keluarga Sjahrir kemudian mendesak Soekarno agar mengizinkannya berobat ke luar negeri. Permintaan itu dikabulkan, dengan catatan status Sjahrir tetap sebagai tahanan politik pemerintah Indonesia.

Sjahrir akhirnya berangkat ke Kota Zurich, Swiss. Selama berobat di Swiss, dia tetap memperhatikan kondisi politik di Indonesia, dan jalannya Pemerintahan Soekarno. Reaksi Sjahrir saat itu sangat sedih.

Terlebih ketika dia mendengar kabar Peristiwa 30 September 1965. Tidak sanggup menahan perih akibat peristiwa itu, kesehatan Sjahrir semakin menurun. Dokter memvonisnya mengalami pendarahan otak.

Tidak lama kemudian, pada 9 April 1966, Sjahrir yang saat itu berusia 57 tahun akhirnya meninggal. Sjahrir pergi meninggalkan seorang istri dan kedua anaknya. Saat meninggal, Sjahrir masih sebagai tahanan politik.

Mendengar kabar Sjahrir meninggal, Presiden Soekarno mengeluarkan dekret Presiden, dan menganugerahi Sjahrir sebagai pahlawan nasional, dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Dalam prosesi pemakaman, Hatta mengatakan:

Sutan Sjahrir yang mengandung dalam kalbunya cita-cita besar itu, hidupnya hanya berjuang, menderita dan berkorban untuk menciptakan supaya rakyat Indonesia merdeka dari segala tindasan. Dia meninggal dengan tiada mencapainya.

Dia berjuang untuk Indonesia merdeka, melarat dalam perjuangan Indonesia merdeka, ikut serta membina Indonesia merdeka, tetapi dia sakit dan meninggal dunia dalam tahanan Republik Indonesia yang merdeka.


Demikian perjalanan hidup Sutan Sjahrir ini diakhiri. Semoga tulisan ini dapat menambah khazanah pengetahuan pembaca Cerita Pagi yang budiman.

Sumber Tulisan:
Rosihan Anwar: Sutan Sjahrir, Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Zamannya, Penerbit Buku Kompas, Mei 2011.
Dr Ignas Kleden: Etos Politik dan Jiwa Klasik (diambil dari Rosihan Anwar: Sutan Sjahrir, Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Zamannya, Penerbit Buku Kompas, Mei 2011).
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8578 seconds (0.1#10.140)