DPRD Didesak Bentuk Pansus
A
A
A
SURABAYA - Dugaan kebocoran belanja APBD Provinsi Jatim tahun 2013 yang dilakukan sejumlah satuan kerja perangkat daerah (SKPD) sudah dikembalikan ke kas daerah hingga 100%.
Namun, hal itu dinilai belum cukup. Sebab perlu ada investigasi lanjutan mengetahui siapa yang berasalah dalam kasus ini. Sekretaris Pusat Studi Kebijakan Anggaran (Pusaka) Jatim Jamil Juris menganggap pengembalian uang ke kas daerah tidak lantas menghilangkan unsur pidana. Karena itu, perlu langkah lanjutan dari aparat penegak hukum untuk mengusutnya.
Tidak hanya itu, DPRD Jatim selaku lembaga pengawas, kata dia, juga harus mengambil sikap dengan menelusuri persoalan tersebut. Dia mendesak DPRD Jatim membentuk panitia khusus (pansus) atas temuan BPK itu. Ini dilakukan untuk mencari fakta atas kasus tersebut sehingga pihak-pihak yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi dapat diadili sesuai dengan peraturan undangundang berlaku.
”Karena itu, DPRD Jatim harus membentuk pansus itu,” kata pengajar Hukum Tata Negara di Ubhara Surabaya ini. Jamil menegaskan, peran pengawasan oleh parlemen harus benar-benar menunjukkan bahwa DPRD masih ada dan tetap berfungsi membela kepentingan rakyat.
Bila hal ini dapat dijalankan dengan baik, kepercayaan masyarakat terhadap wakilnya yang terus melemah dapat kembali terbangun dan terjalin baik. ”Fungsi pengawasan yang dimiliki anggota DPRD adalah fungsi legal formal yang tidak hanya sekadar fungsi, tetapi merupakan kewenangan melekat secara atributif pada setiap anggota dewan,” katanya.
Istilah wewenang atau kewenangan, menurut dia, tidak hanya mengandung arti hak, tapi juga kewajiban. Menurutnya, kewenangan adalah kemampuan yang diperoleh berdasarkan aturan-aturan untuk penindakan tertentu yang dimaksud menimbulkan akibat tertentu yang mencakup hak dan sekaligus kewajiban (rechten en plichten ).
”Oleh karena itu, fungsi pengawasan yang melekat pada anggota dewan hendaknya diartikan sebagai kewajiban. Apabila lalai terhadap kewajiban yang diamanahkan, sesungguhnya mereka telah mengkhianati kepercayaan rakyat. Permendagri nomor 13/2010 sudah menjelaskan secara detail tentang mekanisme tindak lanjut hasil temuan BPK,” ucapnya.
Anggota Komisi A DPRD Jatim Ahmad Muzammil mengaku belum mengetahui isi rekomendasi BPK tersebut sehingga belum bisa mengambil langkah atas kasus itu. Sesuai kebiasaan, kata dia, BPK hanya menyampaikan rekomendasi kepada eksekutif atas temuan di lapangan.
Dasar itu yang biasanya menjadi pijakan DPRD melangkah. ”Itu terjadi bila rekomendasi BPK tidak dilaksanakan oleh eksekutif. Kami bisa menggelar raker dan bahkan membentuk pansus. Tetapi bila semua rekomendasi sudah dilaksanakan, DPRD tidak bisa apa-apa,” kata politikus Partai Nasdem ini.
Terkait temuan BPK atas dugaan kebocoran belanja APBD 2013, Muzammil belum mengetahui, apakah rekomendasi tersebut sudah dilaksanakan atau tidak. ”Biasanya memang ada tembusan dari BPK. Tetapi mungkin hanya kepada pimpinan saja,” katanya.
Terpisah, Inspektur Provinsi Jatim Nurwiyatno mengaku, seluruh rekomendasi BPK sudah dilaksanakan Pemprov Jatim. Beberapa di antaranya mengembalikan uang ke kas daerah dan menggeser (mutasi) beberapa pejabat dan staf.
Diberitakan sebelumnya, berdasarkan dokumen hasil audit BPK semester I tahun 2014, ada potensi kerugian negara sebesar Rp22,6 miliar pada APBD Jatim 2013. Ada 16 SKPD yang terlibat. Total dugaan penyimpangan anggaran sebesar Rp22.689.800.675.
Potensi kerugian negara itu dalam bentuk perjalanan dinas fiktif atau tidak riil sebesar Rp14,4 miliar dan bentuk penyimpangan dalam bukti tidak lengkap sebesar Rp7,7 miliar, penyimpangan dalam bentuk mark up atau harga lebih tinggi sebesar Rp403 juta, dan tumpang tindih perjalanan dinas sebesar Rp89,3 juta.
Ihya Ulumuddin
Namun, hal itu dinilai belum cukup. Sebab perlu ada investigasi lanjutan mengetahui siapa yang berasalah dalam kasus ini. Sekretaris Pusat Studi Kebijakan Anggaran (Pusaka) Jatim Jamil Juris menganggap pengembalian uang ke kas daerah tidak lantas menghilangkan unsur pidana. Karena itu, perlu langkah lanjutan dari aparat penegak hukum untuk mengusutnya.
Tidak hanya itu, DPRD Jatim selaku lembaga pengawas, kata dia, juga harus mengambil sikap dengan menelusuri persoalan tersebut. Dia mendesak DPRD Jatim membentuk panitia khusus (pansus) atas temuan BPK itu. Ini dilakukan untuk mencari fakta atas kasus tersebut sehingga pihak-pihak yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi dapat diadili sesuai dengan peraturan undangundang berlaku.
”Karena itu, DPRD Jatim harus membentuk pansus itu,” kata pengajar Hukum Tata Negara di Ubhara Surabaya ini. Jamil menegaskan, peran pengawasan oleh parlemen harus benar-benar menunjukkan bahwa DPRD masih ada dan tetap berfungsi membela kepentingan rakyat.
Bila hal ini dapat dijalankan dengan baik, kepercayaan masyarakat terhadap wakilnya yang terus melemah dapat kembali terbangun dan terjalin baik. ”Fungsi pengawasan yang dimiliki anggota DPRD adalah fungsi legal formal yang tidak hanya sekadar fungsi, tetapi merupakan kewenangan melekat secara atributif pada setiap anggota dewan,” katanya.
Istilah wewenang atau kewenangan, menurut dia, tidak hanya mengandung arti hak, tapi juga kewajiban. Menurutnya, kewenangan adalah kemampuan yang diperoleh berdasarkan aturan-aturan untuk penindakan tertentu yang dimaksud menimbulkan akibat tertentu yang mencakup hak dan sekaligus kewajiban (rechten en plichten ).
”Oleh karena itu, fungsi pengawasan yang melekat pada anggota dewan hendaknya diartikan sebagai kewajiban. Apabila lalai terhadap kewajiban yang diamanahkan, sesungguhnya mereka telah mengkhianati kepercayaan rakyat. Permendagri nomor 13/2010 sudah menjelaskan secara detail tentang mekanisme tindak lanjut hasil temuan BPK,” ucapnya.
Anggota Komisi A DPRD Jatim Ahmad Muzammil mengaku belum mengetahui isi rekomendasi BPK tersebut sehingga belum bisa mengambil langkah atas kasus itu. Sesuai kebiasaan, kata dia, BPK hanya menyampaikan rekomendasi kepada eksekutif atas temuan di lapangan.
Dasar itu yang biasanya menjadi pijakan DPRD melangkah. ”Itu terjadi bila rekomendasi BPK tidak dilaksanakan oleh eksekutif. Kami bisa menggelar raker dan bahkan membentuk pansus. Tetapi bila semua rekomendasi sudah dilaksanakan, DPRD tidak bisa apa-apa,” kata politikus Partai Nasdem ini.
Terkait temuan BPK atas dugaan kebocoran belanja APBD 2013, Muzammil belum mengetahui, apakah rekomendasi tersebut sudah dilaksanakan atau tidak. ”Biasanya memang ada tembusan dari BPK. Tetapi mungkin hanya kepada pimpinan saja,” katanya.
Terpisah, Inspektur Provinsi Jatim Nurwiyatno mengaku, seluruh rekomendasi BPK sudah dilaksanakan Pemprov Jatim. Beberapa di antaranya mengembalikan uang ke kas daerah dan menggeser (mutasi) beberapa pejabat dan staf.
Diberitakan sebelumnya, berdasarkan dokumen hasil audit BPK semester I tahun 2014, ada potensi kerugian negara sebesar Rp22,6 miliar pada APBD Jatim 2013. Ada 16 SKPD yang terlibat. Total dugaan penyimpangan anggaran sebesar Rp22.689.800.675.
Potensi kerugian negara itu dalam bentuk perjalanan dinas fiktif atau tidak riil sebesar Rp14,4 miliar dan bentuk penyimpangan dalam bukti tidak lengkap sebesar Rp7,7 miliar, penyimpangan dalam bentuk mark up atau harga lebih tinggi sebesar Rp403 juta, dan tumpang tindih perjalanan dinas sebesar Rp89,3 juta.
Ihya Ulumuddin
(ftr)