Risma Deadline Pemilik Wisma Bersihkan Atribut Lokalisasi Dolly
A
A
A
SURABAYA - Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini memberi waktu pada pemilik wisma yang ada di lokalisasi Dolly untuk segera membersihkan segala macam atribut yang terkait dengan kegiatan prostitusi.
Jika tidak, setelah Lebaran nanti, orang nomor satu di Surabaya tersebut, bersama dengan aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Surabaya akan segera mengambil langkah pembersihan.
Wali kota yang diusung dari PDI-P ini mengatakan, jika nanti pemilik wisma maupun warga setempat melakukan perlawanan atas penertiban tersebut, maka pihaknya tak segan-segan mengambil langkah hukum.
Penertiban ini merupakan bagian dari penegakan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Larangan Menggunakan Bangunan/Tempat untuk Perbuatan Asusila serta Pemikatan untuk Melakukan Perbuatan Asusila.
“Kami beri kesempatan dulu selama lima hari bagi PSK (pekerja seks komersial) dan mucikari untuk mengambil uang kompensasi. Kemudian setelah Lebaran, kami akan turun untuk membersihkan semua atribut yang ada disana (Dolly),” katanya, Kamis (19/6/2014)
Mantan Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya ini mengaku, setelah penutupan lokalisasi yang ada di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan itu, pekerjaannya makin berat.
Sebab, dia harus mampu mengikis memori anak-anak yang tinggal di kawasan lokalisasi. Memori ini terkait dengan ingatan atas apa yang mereka lihat dan rasakan selama tinggal di tempat prostitusi itu.
“Setelah Dolly ditutup, maka kami akan langsung tegakkan aturan. Misalnya ditemukan ada kasus trafficking, maka harus ditindak. Ini (keberadaan Dolly) sudah cukup. Sekarang waktunya bagi saya untuk membangkitkan semangat anak-anak. Saya akan bekerjasama dengan psikolog dari Jakarta untuk menangani anak-anak ini,” imbuhnya.
Terkait dengan Surat Keputusan (SK) dalam penutupan Dolly, kata Risma, itu tidak perlu. Sebab, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya selama ini tidak pernah membuka dan melegalisasi praktik lokalisasi.
Sehingga, tidak diperlukan SK penutupan. Acuan dalam penutupan ini cukup mengacu pada Perda dan UU saja. Misalnya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.
“Mereka semua melanggar (mucikari dan PSK). Tidak ada izin yang kami keluarkan untuk praktik-praktik seperti itu. Tapi kan kami tidak bisa menutup begitu saja meski sudah ada perda-nya,” paparnya.
Disisi lain, alumnus Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) menegaskan bahwa, yang menjadi fokus Pemkot Surabaya dalam persoalan prostitusi ini adalah menghapus lokalisasi di kawasan pemukiman.
Jika ada kekhawatiran bahwa, praktik prostitusi akan terjadi di semua tempat di Surabaya, khususnya tempat hiburan, aparat siap menggelar razia.
“Dari awal saya katakan, kami akan bersihkan kawasan lokalisasi yang bercampur dengan perumahan. Sebab ini yang paling berbahaya. Disini terjadi trafficking. Yang lebih penting, penutupan ini (Dolly) menyangkut masa depan anak-anak,” tandasnya.
Jika tidak, setelah Lebaran nanti, orang nomor satu di Surabaya tersebut, bersama dengan aparat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Surabaya akan segera mengambil langkah pembersihan.
Wali kota yang diusung dari PDI-P ini mengatakan, jika nanti pemilik wisma maupun warga setempat melakukan perlawanan atas penertiban tersebut, maka pihaknya tak segan-segan mengambil langkah hukum.
Penertiban ini merupakan bagian dari penegakan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Larangan Menggunakan Bangunan/Tempat untuk Perbuatan Asusila serta Pemikatan untuk Melakukan Perbuatan Asusila.
“Kami beri kesempatan dulu selama lima hari bagi PSK (pekerja seks komersial) dan mucikari untuk mengambil uang kompensasi. Kemudian setelah Lebaran, kami akan turun untuk membersihkan semua atribut yang ada disana (Dolly),” katanya, Kamis (19/6/2014)
Mantan Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya ini mengaku, setelah penutupan lokalisasi yang ada di Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan itu, pekerjaannya makin berat.
Sebab, dia harus mampu mengikis memori anak-anak yang tinggal di kawasan lokalisasi. Memori ini terkait dengan ingatan atas apa yang mereka lihat dan rasakan selama tinggal di tempat prostitusi itu.
“Setelah Dolly ditutup, maka kami akan langsung tegakkan aturan. Misalnya ditemukan ada kasus trafficking, maka harus ditindak. Ini (keberadaan Dolly) sudah cukup. Sekarang waktunya bagi saya untuk membangkitkan semangat anak-anak. Saya akan bekerjasama dengan psikolog dari Jakarta untuk menangani anak-anak ini,” imbuhnya.
Terkait dengan Surat Keputusan (SK) dalam penutupan Dolly, kata Risma, itu tidak perlu. Sebab, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya selama ini tidak pernah membuka dan melegalisasi praktik lokalisasi.
Sehingga, tidak diperlukan SK penutupan. Acuan dalam penutupan ini cukup mengacu pada Perda dan UU saja. Misalnya, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.
“Mereka semua melanggar (mucikari dan PSK). Tidak ada izin yang kami keluarkan untuk praktik-praktik seperti itu. Tapi kan kami tidak bisa menutup begitu saja meski sudah ada perda-nya,” paparnya.
Disisi lain, alumnus Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) menegaskan bahwa, yang menjadi fokus Pemkot Surabaya dalam persoalan prostitusi ini adalah menghapus lokalisasi di kawasan pemukiman.
Jika ada kekhawatiran bahwa, praktik prostitusi akan terjadi di semua tempat di Surabaya, khususnya tempat hiburan, aparat siap menggelar razia.
“Dari awal saya katakan, kami akan bersihkan kawasan lokalisasi yang bercampur dengan perumahan. Sebab ini yang paling berbahaya. Disini terjadi trafficking. Yang lebih penting, penutupan ini (Dolly) menyangkut masa depan anak-anak,” tandasnya.
(sms)