Gula Rafinasi Beredar Bebas di Kepri, Apegti Sarankan Dibentuk Tim Monitoring
A
A
A
BATAM - Banyaknya pelabuhan rakyat, membuat mudahnya barang-barang selundupan masuk dan beredar di Kota Batam. Mulai dari barang elektronik, hingga bahan pangan seperti beras dan gula, yang berasal dari negara tetangga banyak beredar di tengah-tengah masyarakat.
Hal ini juga menjadi kekhawatiran. Sebab, barang-barang tersebut apalagi untuk dikonsumsi tentunya tidak berstandar nasional Indonesia (SNI) dan belum pasti bagus untuk kesehatan masyarakat.
Salah satunya ialah gula rafinasi. Berdasarkan informasi yang didapat, gula rafinasi ini banyak beredar di Kepulauan Riau (Kepri) dan Kota Batam khususnya.
Perlu diketahui, gula rafinasi adalah gula mentah yang telah mengalami pemurnian untuk menghilangkan molase. Sehingga, gula rafinasi berwarna lebih putih dibandingkan dengan gula mentah yang berwarna kecoklatan.
Gula rafinasi tersebut berukuran lebih halus dibanding gula biasa. Jika terlalu sering mengkonsumsi bisa menyebabkan berbagia masalah dalah tubuh. Seperti penyakit diabetes serta penyakit lainnya.
Mirisnya, gula dengan pemurnian tinggi ini dijual bebas di pasar tradisional. Bahkan, ada juga pedagang yang mengoplosnya dengan gula biasa.
Menurut Ketua DPP Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu (Apegti) Provinsi Kepri, Nurbaini Bagindo, Dia mensinyalir gula rafinasi banyak beredar di KEPRI dan sekitarnya.
Gula dengan pemurnian tinggi dijual bebas di pasar tradisional sangat membahayakan bagi kesehatan masyarakat. Apalagi ada pedagang yang mengoplosnya dengan gula biasa.
"Gula rafinasi tersebut berukuran lebih halus dibanding gula biasa, dan bila dicampur relatif sulit diketahui," ungkap Nubaini atau lebih dikenal dengan sebutan akrabnya Annie Bagindo, Jumat (27/9/2019).
Dijelaskan, berdasarkan pantauan selama ini, distributor lebih suka menjual gula rafinasi atau yang oplosan dikarenakan harganya lebih murah, yakni sekitar Rp5.500 hingga Rp6.000 per kilogram.
Sementara harga gula biasa yang diatur oleh pemerintah mencapai Rp12.500 per kilogram. "Bahkan, ada juga pedagang yang menjual gula rafinasi seharga yang sama dengan gula biasa, sehingga keuntungan yang didapatkan lebih besar," kata Annie.
Jika dilihat dari aturannya, perbuatan yang dilakukan oleh para oknum pengusaha importir telah melanggar Pasal 7 UU nomor 7 tahun 2014 tentang perdagangan atau Pasal 142 jumto Pasal 39 UU nomor 18 tahun 2018 tentang pangan, dan Pasal 62 UU Nomor 8 tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen, dengan ancaman lima tahun penjara.
Selaku ketua DPP Apegti Kepri, Nurbaini menyarankan kepada pihak terutama pemerintah untuk segera membentuk tim monitoring pendistribusian gula . Tim ini dibutuhkan untuk memantau peredaran gula rafinasi di Kepri.
"Tim semestinya terdiri dari berbagai pihak instansi terkait, karena gula rafinasi tersebut banyak didatangkan dari luar negeri, sehingga pintu masuk harus dijaga, baik di pelabuhan resmi maupun tidak resmi," paparnya.
Dia juga mengimbau kepada putra-putri daerah untuk berperan aktif dalam memberantas gula rafinasi, karena sangat berbahaya bagi tubuh jika di konsumsi secara langsung dan terus menerus.
"Gula tersebut diperuntukan hanya untuk industri seperti pembuatan sirup, roti, gula merah dan industri makan lainnya dan bukan utuk dikonsumsi langsung," pungkasnya.
Hal ini juga menjadi kekhawatiran. Sebab, barang-barang tersebut apalagi untuk dikonsumsi tentunya tidak berstandar nasional Indonesia (SNI) dan belum pasti bagus untuk kesehatan masyarakat.
Salah satunya ialah gula rafinasi. Berdasarkan informasi yang didapat, gula rafinasi ini banyak beredar di Kepulauan Riau (Kepri) dan Kota Batam khususnya.
Perlu diketahui, gula rafinasi adalah gula mentah yang telah mengalami pemurnian untuk menghilangkan molase. Sehingga, gula rafinasi berwarna lebih putih dibandingkan dengan gula mentah yang berwarna kecoklatan.
Gula rafinasi tersebut berukuran lebih halus dibanding gula biasa. Jika terlalu sering mengkonsumsi bisa menyebabkan berbagia masalah dalah tubuh. Seperti penyakit diabetes serta penyakit lainnya.
Mirisnya, gula dengan pemurnian tinggi ini dijual bebas di pasar tradisional. Bahkan, ada juga pedagang yang mengoplosnya dengan gula biasa.
Menurut Ketua DPP Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu (Apegti) Provinsi Kepri, Nurbaini Bagindo, Dia mensinyalir gula rafinasi banyak beredar di KEPRI dan sekitarnya.
Gula dengan pemurnian tinggi dijual bebas di pasar tradisional sangat membahayakan bagi kesehatan masyarakat. Apalagi ada pedagang yang mengoplosnya dengan gula biasa.
"Gula rafinasi tersebut berukuran lebih halus dibanding gula biasa, dan bila dicampur relatif sulit diketahui," ungkap Nubaini atau lebih dikenal dengan sebutan akrabnya Annie Bagindo, Jumat (27/9/2019).
Dijelaskan, berdasarkan pantauan selama ini, distributor lebih suka menjual gula rafinasi atau yang oplosan dikarenakan harganya lebih murah, yakni sekitar Rp5.500 hingga Rp6.000 per kilogram.
Sementara harga gula biasa yang diatur oleh pemerintah mencapai Rp12.500 per kilogram. "Bahkan, ada juga pedagang yang menjual gula rafinasi seharga yang sama dengan gula biasa, sehingga keuntungan yang didapatkan lebih besar," kata Annie.
Jika dilihat dari aturannya, perbuatan yang dilakukan oleh para oknum pengusaha importir telah melanggar Pasal 7 UU nomor 7 tahun 2014 tentang perdagangan atau Pasal 142 jumto Pasal 39 UU nomor 18 tahun 2018 tentang pangan, dan Pasal 62 UU Nomor 8 tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen, dengan ancaman lima tahun penjara.
Selaku ketua DPP Apegti Kepri, Nurbaini menyarankan kepada pihak terutama pemerintah untuk segera membentuk tim monitoring pendistribusian gula . Tim ini dibutuhkan untuk memantau peredaran gula rafinasi di Kepri.
"Tim semestinya terdiri dari berbagai pihak instansi terkait, karena gula rafinasi tersebut banyak didatangkan dari luar negeri, sehingga pintu masuk harus dijaga, baik di pelabuhan resmi maupun tidak resmi," paparnya.
Dia juga mengimbau kepada putra-putri daerah untuk berperan aktif dalam memberantas gula rafinasi, karena sangat berbahaya bagi tubuh jika di konsumsi secara langsung dan terus menerus.
"Gula tersebut diperuntukan hanya untuk industri seperti pembuatan sirup, roti, gula merah dan industri makan lainnya dan bukan utuk dikonsumsi langsung," pungkasnya.
(sms)