Mitos Dawet Jabung Ponorogo dan Legenda Suromenggolo
A
A
A
"Kenapa penjual dawet Jabung Ponorogo dilarang memberikan lepeknya (alas mangkok) ke pembeli?". Ditanya seperti itu Ani (32) penjual dawet Jabung Bu Sumini di Jalan raya Trunojoyo, sebelah timur SPBU, Tambak Bayan, Kabupaten Ponorogo mendadak terdiam. Alih alih menjawab. Wanita berjilbab itu bahkan melengos. Pendek kata tidak nampak isyarat bakal menggubris pertanyaan.
Ani malah seperti sengaja menyibukkan diri. Di tempatnya duduk meladeni pembeli, tangannya bergerak tak henti-henti. Padahal semua pembeli sudah terladeni. "Nanti tanya saja ke bude saya (Bu Sumini). Kebetulan beliaunya masih keluar, "tuturnya mendadak buka suara.
Ruang lapak jualan itu tidak lebar. Bahkan cenderung sempit. Berbentuk leter U dengan posisi penjual di tengah. Sementara di sisi kanan kiri serta depan, membujur bangku panjang untuk duduk pembeli. Maksimal untuk lima orang dewasa.
Meski merespon pertanyaan, tangan Ani tak kunjung berhenti. Senyumnya malu- malu. Refleknya lebih banyak menundukkan kepala, termasuk selalu menghindari kontak mata. Perlahan diangkatnya gayung bergagang tokoh wayang dari dalam lambung kuali tanah liat. Tampak santan bercampur butiran dawet atau cendol serta gempol, yakni bulatan sebesar pentol bakso. Unsur utama dawet Jabung itu menyatu di ceruk gayung.
Cendol dawet Jabung menggunakan tepung garut atau sagu aren. Bukan tepung beras seperti umumnya kuliner dawet. Mungkin ini yang membuat gurihnya menendang lidah.
Dari santan perhatian Ani berpindah ke mangkuk berisi larutan air garam. Seperti menguji kepekatan. Sendok logam yang tercelup di mangkuk sebentar dia goyang-goyangkan. Tanganya lalu beralih ke mangkuk tape ketan hitam, dan berakhir ke gentong kecil berisi gula kelapa.
Pilihan gula kelapa sebagai pemanis atau juruh menjadi pembeda dengan dawet yang galibnya berjuruh gula tebu. "Kalau musim nangka biasanya ada tambahan buah nangka. Namun sekarang lagi gak musim, "kata Ani menerangkan. Untuk seporsi minuman khas yang menyegarkan itu pembeli cukup merogoh kocek Rp 3.000.
Namun ada juga yang menjual semangkuk Rp 4.000 hingga Rp 8.000. Harga lebih mahal itu biasanya hanya berlaku di tempat wisata. Terkait larangan lepek dibawa pembeli Ani menyebutnya sebagai pamali atau pantangan. Saat dawet disuguhkan, pembeli hanya dibolehkan memegang mangkuk.
Sementara lepek tetap berada di tangan penyajinya. Masih terjaganya tradisi itu praktis membuat seluruh mangkuk peminum dawet Jabung tidak beralas. "Kalau lepek dawet diserahkan, mitosnya penjual akan ikut yang beli, "terangnya sembari tergelak. Ikut ditafsirkan bersedia dilamar atau dinikahi. Tapi kebanyakan dimaknai negatif. Meski dianggap gugon tuhon atau mitos, mayoritas pedagang dawet Jabung tidak cukup berani melanggar.
Begitu juga dengan Ani. Dia mengaku tidak tahu darimana awal mitos itu berasal. Yang dia ketahui, orang tua dan budenya (Bu Sumini) selalu mewanti-wanti untuk tidak sekali kali melanggar tradisi. Bu Sumini yang berjualan dawet Jabung sejak tahun 1995 selalu menyampaikan pesan itu. "Kata orang orang tua tidak elok, "katanya.
Bagaimana dengan pembeli yang sengaja memegang lepek?. Ani mengatakan tidak pernah lupa memberitahu bahwa yang diangkat pembeli mangkuk dawetnya. Namun jika ada pembeli nakal sengaja memegang lepek, dia sendiri yang menyodorkan mangkuknya. "Ya langsung saya ambilkan mangkuknya. Artinya hingga saat saya tidak pernah melanggar pantangan," jelasnya.
Spekulasi yang berkembang, pantangan atau mitos yang berlaku di dawet Jabung disinyalir wujud strategi kebudayaan leluhur Desa Jabung Kecamatan Mlarak. Bisa jadi hadirnya mitos untuk menegakkan norma kesusilaan, yakni khususnya menjaga kehormatan penjual dawet Jabung yang mayoritas perempuan.
"Dan lahirnya mitos biasanya didahului sebuah peristiwa sosial atau ada riwayat sejarahnya," tutur Hyuantoro warga Blitar yang mengaku sudah lama menggemari dawet Jabung.
Legenda Suromenggolo
Bicara kemahsyuran dawet Jabung Ponorogo tidak lepas dari legenda Warok Suromenggolo. Dikisahkan tangan kanan Bathoro Katong itu, yakni putra Brawijaya V (Raja Majapahit) yang juga pendiri sekaligus Bupati pertama Ponorogo itu berduel dengan bangsa lelembut (jin).
Jin bernama Klenting Mungil penguasa Gunung Dloka itu bersenjatakan pusaka Aji dawet upas. Konon pusaka sakti berbentuk cendol dawet itu berasal dari mata manusia. Kedidagyaan Aji dawet upas membuat Suromenggolo serasa terbakar dan tak sadarkan diri.
Seorang penggembala sapi bernama Ki Jabung menolongnya. Baluran dawet bikinan Ki Jabung membuat Suromenggolo pulih seperti sedia kala. Bahkan Jin Klenting dan Jin Gento mampu dikalahkannya. Sebagai bentuk terima kasihnya, Warok Suromenggolo berujar (bersabda) bahwa kelak masyarakat Desa Jabung akan hidup makmur dari berjualan dawet.
Menurut Ani penjual dawet Jabung ada dimana mana. Tidak hanya di wilayah Ponorogo. Namun telah menyebar ke daerah lain, termasuk di kota besar di Jawa Timur. Bahkan tidak sedikit warga luar Desa Jabung ikut ikutan menirunya. "Meski ditiru dari sisi rasa tetap beda," katanya.
Ani juga cerita, bahwa selain mitos lepek, di dawet Jabung ada juga tradisi kuat kuatan minum dawet. Ini biasanya dilakukan pembeli dari kalangan orang tua.
Siapa yang minum dawet paling sedikit, akan membayari paling banyak. "Meski sudah jarang, tradisi di bulan kemarau itu masih ada. Saya pernah menemui paling banyak minum sampai 7 mangkuk dawet," kenangnya.
Karena tak puas hanya habis semangkuk, Sindonews kembali memesan. Namun saat dawet disajikan bukan mengambil mangkuk. Melainkan sengaja memegangi lepek. Ani pun langsung bereaksi menyampaikan protap dawet Jabung. "Tolong yang diambil mangkuknya saja mas," selorohnya.
Ani malah seperti sengaja menyibukkan diri. Di tempatnya duduk meladeni pembeli, tangannya bergerak tak henti-henti. Padahal semua pembeli sudah terladeni. "Nanti tanya saja ke bude saya (Bu Sumini). Kebetulan beliaunya masih keluar, "tuturnya mendadak buka suara.
Ruang lapak jualan itu tidak lebar. Bahkan cenderung sempit. Berbentuk leter U dengan posisi penjual di tengah. Sementara di sisi kanan kiri serta depan, membujur bangku panjang untuk duduk pembeli. Maksimal untuk lima orang dewasa.
Meski merespon pertanyaan, tangan Ani tak kunjung berhenti. Senyumnya malu- malu. Refleknya lebih banyak menundukkan kepala, termasuk selalu menghindari kontak mata. Perlahan diangkatnya gayung bergagang tokoh wayang dari dalam lambung kuali tanah liat. Tampak santan bercampur butiran dawet atau cendol serta gempol, yakni bulatan sebesar pentol bakso. Unsur utama dawet Jabung itu menyatu di ceruk gayung.
Cendol dawet Jabung menggunakan tepung garut atau sagu aren. Bukan tepung beras seperti umumnya kuliner dawet. Mungkin ini yang membuat gurihnya menendang lidah.
Dari santan perhatian Ani berpindah ke mangkuk berisi larutan air garam. Seperti menguji kepekatan. Sendok logam yang tercelup di mangkuk sebentar dia goyang-goyangkan. Tanganya lalu beralih ke mangkuk tape ketan hitam, dan berakhir ke gentong kecil berisi gula kelapa.
Pilihan gula kelapa sebagai pemanis atau juruh menjadi pembeda dengan dawet yang galibnya berjuruh gula tebu. "Kalau musim nangka biasanya ada tambahan buah nangka. Namun sekarang lagi gak musim, "kata Ani menerangkan. Untuk seporsi minuman khas yang menyegarkan itu pembeli cukup merogoh kocek Rp 3.000.
Namun ada juga yang menjual semangkuk Rp 4.000 hingga Rp 8.000. Harga lebih mahal itu biasanya hanya berlaku di tempat wisata. Terkait larangan lepek dibawa pembeli Ani menyebutnya sebagai pamali atau pantangan. Saat dawet disuguhkan, pembeli hanya dibolehkan memegang mangkuk.
Sementara lepek tetap berada di tangan penyajinya. Masih terjaganya tradisi itu praktis membuat seluruh mangkuk peminum dawet Jabung tidak beralas. "Kalau lepek dawet diserahkan, mitosnya penjual akan ikut yang beli, "terangnya sembari tergelak. Ikut ditafsirkan bersedia dilamar atau dinikahi. Tapi kebanyakan dimaknai negatif. Meski dianggap gugon tuhon atau mitos, mayoritas pedagang dawet Jabung tidak cukup berani melanggar.
Begitu juga dengan Ani. Dia mengaku tidak tahu darimana awal mitos itu berasal. Yang dia ketahui, orang tua dan budenya (Bu Sumini) selalu mewanti-wanti untuk tidak sekali kali melanggar tradisi. Bu Sumini yang berjualan dawet Jabung sejak tahun 1995 selalu menyampaikan pesan itu. "Kata orang orang tua tidak elok, "katanya.
Bagaimana dengan pembeli yang sengaja memegang lepek?. Ani mengatakan tidak pernah lupa memberitahu bahwa yang diangkat pembeli mangkuk dawetnya. Namun jika ada pembeli nakal sengaja memegang lepek, dia sendiri yang menyodorkan mangkuknya. "Ya langsung saya ambilkan mangkuknya. Artinya hingga saat saya tidak pernah melanggar pantangan," jelasnya.
Spekulasi yang berkembang, pantangan atau mitos yang berlaku di dawet Jabung disinyalir wujud strategi kebudayaan leluhur Desa Jabung Kecamatan Mlarak. Bisa jadi hadirnya mitos untuk menegakkan norma kesusilaan, yakni khususnya menjaga kehormatan penjual dawet Jabung yang mayoritas perempuan.
"Dan lahirnya mitos biasanya didahului sebuah peristiwa sosial atau ada riwayat sejarahnya," tutur Hyuantoro warga Blitar yang mengaku sudah lama menggemari dawet Jabung.
Legenda Suromenggolo
Bicara kemahsyuran dawet Jabung Ponorogo tidak lepas dari legenda Warok Suromenggolo. Dikisahkan tangan kanan Bathoro Katong itu, yakni putra Brawijaya V (Raja Majapahit) yang juga pendiri sekaligus Bupati pertama Ponorogo itu berduel dengan bangsa lelembut (jin).
Jin bernama Klenting Mungil penguasa Gunung Dloka itu bersenjatakan pusaka Aji dawet upas. Konon pusaka sakti berbentuk cendol dawet itu berasal dari mata manusia. Kedidagyaan Aji dawet upas membuat Suromenggolo serasa terbakar dan tak sadarkan diri.
Seorang penggembala sapi bernama Ki Jabung menolongnya. Baluran dawet bikinan Ki Jabung membuat Suromenggolo pulih seperti sedia kala. Bahkan Jin Klenting dan Jin Gento mampu dikalahkannya. Sebagai bentuk terima kasihnya, Warok Suromenggolo berujar (bersabda) bahwa kelak masyarakat Desa Jabung akan hidup makmur dari berjualan dawet.
Menurut Ani penjual dawet Jabung ada dimana mana. Tidak hanya di wilayah Ponorogo. Namun telah menyebar ke daerah lain, termasuk di kota besar di Jawa Timur. Bahkan tidak sedikit warga luar Desa Jabung ikut ikutan menirunya. "Meski ditiru dari sisi rasa tetap beda," katanya.
Ani juga cerita, bahwa selain mitos lepek, di dawet Jabung ada juga tradisi kuat kuatan minum dawet. Ini biasanya dilakukan pembeli dari kalangan orang tua.
Siapa yang minum dawet paling sedikit, akan membayari paling banyak. "Meski sudah jarang, tradisi di bulan kemarau itu masih ada. Saya pernah menemui paling banyak minum sampai 7 mangkuk dawet," kenangnya.
Karena tak puas hanya habis semangkuk, Sindonews kembali memesan. Namun saat dawet disajikan bukan mengambil mangkuk. Melainkan sengaja memegangi lepek. Ani pun langsung bereaksi menyampaikan protap dawet Jabung. "Tolong yang diambil mangkuknya saja mas," selorohnya.
(nag)