Jaringan Pemilih Pemula Yogyakarta Suarakan Anti Politik Uang
A
A
A
YOGYAKARTA - Potensi praktik money politics atau politik uang mengintai penyelenggaraan Pilkada Kota Yogyakarta 2017. Pasangan calon dan elit politik diharapkan menjunjung tinggi nilai demokrasi yang bersih, transparan, dan kredibel.
"Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah lekat dengan potensi politik uang yang bisa mencederai demokrasi. Kami ingatkan agar calon kepala daerah maupun elit politik, jangan coba-coba melakukannya," kata Ardy Syihab, pegiat Jaringan Pemilih Pemula Yogyakarta, saat menggelar aksi damai menolak politik uang di halaman kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Yogyakarta, Selasa (31/1/2017).
Menurutnya, jika seorang kepala daerah terpilih dengan menghalalkan segala cara, bisa dipastikan masyarakat yang akan merasakan dampak kerugiannya.
Dia menyamakan politik uang dengan praktik rentenir atau lintah darat, yaitu diawali dengan membagi-bagikan uang kepada calon pemilih, kemudian saat terpilih dan duduk di kursi pemerintahan, kinerjanya cenderung mencari uang pengganti sehingga kesejahteraan rakyatnya terabaikan.
"Kami juga berharap penyelenggara pilkada dan seluruh elemen masyarakat bersama mewujudkan pesta demokrasi yang bersih," ujarnya.
Anggota Panitia Pengawas Pemilihan (Panwas) Kota Yogyakarta Divisi Pencegahan dan Hubungan Antar Lembaga, Iwan Ferdian yang turut bersuara dalam aksi tersebut mengajak seluruh elemen masyarakat Kota Yogyakarta berkomitmen menjaga Pilkada Kota Yogyakarta 2017 agar terbebas dari politik uang.
"Saatnya kita berani mengawasi dan berani melaporkan jika terjadi pelanggaran," kata Iwan.
Iwan menegaskan dalam Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, diatur soal sanksi berat terhadap pelaku politik uang dengan hukuman kurungan 36 bulan - 72 bulan penjara dan denda Rp200 juta - Rp1 miliar. Sanksi tersebut bisa menjerat pemberi maupun penerima uang.
"Politik uang dengan tujuan mempengaruhi pilihan juga bisa membatalkan pasangan calon kepala daerah," tandasnya.
Panwas Kota Yogyakarta telah memetakan lokasi yang rawan terjadi politik uang berbasis Tempat Pemungutan Suara (TPS). Dari hasil pencermatan awal, Panwas mengindikasikan 66 TPS rawan politik uang.
"Ketika di TPS tersebut ada pengusaha atau tokoh masyarakat yang berafiliasi dengan calon, maka masuk kategori rawan politik uang. Makanya harus diawasi sejak sekarang," jelasnya.
Sementara itu, Komisioner KPU Kota Yogyakarta Bidang Pendidikan Politik dan Humas, Sri Surani menegaskan komitmen lembaganya untuk menyelenggarakan pilwali yang bersih, transparan, dan kredibel.
Dia mengajak masyarakat untuk berani menolak segala bentuk politik uang. "Tidak hanya uang, tapi semua jenis pemberian dengan maksud mempengaruhi pilihan suara," tandasnya.
"Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah lekat dengan potensi politik uang yang bisa mencederai demokrasi. Kami ingatkan agar calon kepala daerah maupun elit politik, jangan coba-coba melakukannya," kata Ardy Syihab, pegiat Jaringan Pemilih Pemula Yogyakarta, saat menggelar aksi damai menolak politik uang di halaman kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Yogyakarta, Selasa (31/1/2017).
Menurutnya, jika seorang kepala daerah terpilih dengan menghalalkan segala cara, bisa dipastikan masyarakat yang akan merasakan dampak kerugiannya.
Dia menyamakan politik uang dengan praktik rentenir atau lintah darat, yaitu diawali dengan membagi-bagikan uang kepada calon pemilih, kemudian saat terpilih dan duduk di kursi pemerintahan, kinerjanya cenderung mencari uang pengganti sehingga kesejahteraan rakyatnya terabaikan.
"Kami juga berharap penyelenggara pilkada dan seluruh elemen masyarakat bersama mewujudkan pesta demokrasi yang bersih," ujarnya.
Anggota Panitia Pengawas Pemilihan (Panwas) Kota Yogyakarta Divisi Pencegahan dan Hubungan Antar Lembaga, Iwan Ferdian yang turut bersuara dalam aksi tersebut mengajak seluruh elemen masyarakat Kota Yogyakarta berkomitmen menjaga Pilkada Kota Yogyakarta 2017 agar terbebas dari politik uang.
"Saatnya kita berani mengawasi dan berani melaporkan jika terjadi pelanggaran," kata Iwan.
Iwan menegaskan dalam Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, diatur soal sanksi berat terhadap pelaku politik uang dengan hukuman kurungan 36 bulan - 72 bulan penjara dan denda Rp200 juta - Rp1 miliar. Sanksi tersebut bisa menjerat pemberi maupun penerima uang.
"Politik uang dengan tujuan mempengaruhi pilihan juga bisa membatalkan pasangan calon kepala daerah," tandasnya.
Panwas Kota Yogyakarta telah memetakan lokasi yang rawan terjadi politik uang berbasis Tempat Pemungutan Suara (TPS). Dari hasil pencermatan awal, Panwas mengindikasikan 66 TPS rawan politik uang.
"Ketika di TPS tersebut ada pengusaha atau tokoh masyarakat yang berafiliasi dengan calon, maka masuk kategori rawan politik uang. Makanya harus diawasi sejak sekarang," jelasnya.
Sementara itu, Komisioner KPU Kota Yogyakarta Bidang Pendidikan Politik dan Humas, Sri Surani menegaskan komitmen lembaganya untuk menyelenggarakan pilwali yang bersih, transparan, dan kredibel.
Dia mengajak masyarakat untuk berani menolak segala bentuk politik uang. "Tidak hanya uang, tapi semua jenis pemberian dengan maksud mempengaruhi pilihan suara," tandasnya.
(sms)