Kisah Sultan Agung dan Tradisi Malam 1 Suro

Minggu, 02 Oktober 2016 - 05:00 WIB
Kisah Sultan Agung dan...
Kisah Sultan Agung dan Tradisi Malam 1 Suro
A A A
Tradisi peringatan malam 1 Suro begitu melekat bagi masyarakat Jawa pada umumnya. Malam tahun baru dalam kalender Jawa ini yang dianggap sakral bagi masyakarat Jawa. 1 Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura atau Suro di mana bertepatan dengan 1 Muharram dalam kalender hijriyah.

Tradisi ini diperingati dengan beragam cara di berbagai tempat misalnya dengan kungkum atau berendam di sungai besar, sendang atau sumber mata air tertentu dengan mandi kembang. Selain itu tirakatan (tidak tidur semalam suntuk) dengan perenungan diri sambil berdoa, ruwatan, pencucian pusaka berupa keris dan tombak (jamasan), kirab serta pagelaran wayang kulit.

Tradisi malam 1 Suro bermula saat zaman Kerajaan Mataram Islam diperintah oleh Mas Rangsang atau Sultan Agung Hanyokrokusumo yang berkuasa sekitar 1613-1645.

Di bawah panji kekuasaannya Kesultanan Mataram mencapai puncak kejayaannya pada awal abad ke 17.
Saat itu, masyarakat banyak mengikuti sistem penanggalan tahun Saka yang diwarisi dari tradisi Hindu.

Sultan Agung berusaha keras menanamkan agama Islam di Jawa. Dia kemudian memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman.

Hal ini dia lakukan pada 1625 Masehi (1547 Saka) dengan mengeluarkan dekrit yang mengganti penanggalan Saka yang berbasis perputaran matahari dengan sistem kalender kamariah atau lunar (berbasis perputaran bulan). Namun angka tahun Saka tetap dipakai dan diteruskan, tidak menggunakan perhitungan dari tahun Hijriyah (saat itu 1035 H).

Hal ini dilakukan demi asas kesinambungan, sehingga tahun saat itu yang adalah tahun 1547 Saka diteruskan menjadi tahun 1547 Jawa. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam.

Dekrit Sultan Agung berlaku di seluruh wilayah Kesultanan Mataram yang meliputi seluruh pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, Batavia dan Banyuwangi (Balambangan).

Hingga saat ini, setiap tahunnya tradisi malam 1 Suro selalu diadakan oleh Keraton Yogyakarta maupun Surakarta sebagai penerus Kesultanan Mataram.

Salah satu tradisi menyambut 1 Suro yang dilakukan Keraton Kasunanan Surakarta adalah Kirab Mubeng Beteng dimana kerbau bule menjadi pengiring pusaka Kiai Slamet bersama pusaka-pusaka keraton lainnya.

Ritual kirab malam 1 Sura itu sendiri sangat ditunggu-tunggu masyarakat. Ribuan orang tumpah ruah memadati sekitar keraton dan jalan-jalan yang akan dilewati yang biasanya dimulai tengah malam.

Awal mula kisahnya berawal pada zaman Sultan Agung pernah terjadi peristiwa kebakaran hebat yang melanda sebuah perkampungan. Saking besarnya kobaran api, merembet ke wilayah keraton. Anehnya, jilatan api tidak bisa melewati sebuah kandang kerbau. Padahal kandang-kandang lain sudah ludes terbakar beserta ternak di dalamnya.

Setelah api dapat dipadamkan, kandang kerbau itu tetap utuh. Bahkan rumput yang menjadi pakan (makanan) kerbau tetap tak tersentuh api. Secara nalar, hal ini tak mungkin terjadi. Sebab, semua bangunan yang berada di sekitar kandang sudah rata jadi abu.

Ketika Sang Raja menengok kandang, seekor kerbau bule sedang makan rumput ditunggu seorang penjaga kandang yang membawa sebuah tombak.

Konon Sultan Agung pun memerintahkan penjaga kandang dan kerbaunya untuk mengelilingi tempat yang dilanda kebakaran. Anehnya, begitu kerbau dan penjaga kandang datang dengan membawa tombak, kebakaran langsung mereda.

Sejak saat itulah kerbau dan tombak beserta penjaga kandang menjadi milik keraton. Kerbau dan tombak akhirnya dinamakan Kiai Slamet.

Kirab yang dilakukan Keraton Kasunanan Surakarta saat ini mengikut sertakan kerbau bule keturunan Kiai Slamet sebanyak sembilan ekor sebagai pemandu kirab.

Sementara Keraton Yogyakarta menggelar ritual Jamasan Pusaka pada setiap 1 Suro. Pusaka-pusaka milik Keraton Yogyakarta diantaranya Tombak Kiai Pleret, Keris Kiai Sangkelat, Keris Kiai Nagasasra, Gamelan Kiai Guntur Madu, termasuk Kereta Kanjeng Nyai Jimat dan Kiai Puspakamanik.

Air bekas cucian pusaka keraton ini dianggap membawa berkah berupa kesuburan, kesehatan dan keselamatan sehingga seringkali diperebutkan.

Sedangkan 1 Suro di Keraton Kanoman diperingati dengan ziarah ke Makam Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon. Selain itu juga dilakukan pembacaan Babad Cirebon.

Sumber:

- wikipedia dan diolah dari berbagai sumber
- indonesiakaya
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1526 seconds (0.1#10.140)