Karomah Syekh Kuala, Mufti dan Guru Para Ulama Kharismatik

Senin, 27 Juni 2016 - 05:00 WIB
Karomah Syekh Kuala,...
Karomah Syekh Kuala, Mufti dan Guru Para Ulama Kharismatik
A A A
Nama Syekh Kuala atau Syekh Abdul Rauf As Singkili atau Abdurrauf As Singkili memang tidak asing lagi bagi masyarakat Aceh. Bahkan dia juga dikenal di seantero ranah Melayu dan dunia Islam. Pengaruhnya sangat besar dalam perkembangan Islam di Aceh bahkan Nusantara.

Tercatat beberapa ulama kharismatik dan terkenal pernah menjadi muridnya. Di antaranya Syeh Jamaluddin al-Tursani dan Syekh Yusuf al-Makasari.

Jamaluddin al-Tursani adalah seorang ahli hukum ketatanegaraan terkenal dan pernah menjadi Kadi Malik al-Adil di istana Aceh pada awal abad ke-18.

Sedangkan Syekh Yusuf al-Makasari adalah seorang ulama besar dari Makassar. Ulama inilah yang mendampingi Sultan Ageng Tirtayasa dalam perjuangannya melawan kolonialisme Belanda.

Selain itu ulama seperti Syekh Burhanuddin dan Syekh Abdul Muhyi Pamijahan juga menjadi muridnya.

Karomahnya teruji saat mengajarkan ilmu agama kepada Syekh Burhanuddin. Konon Syekh Abdurrauf lah yang membantu muridnya ini dalam mengalahkan jagoan-jagoan dan tukang-tukang sihir di Pariaman.

Syekh Abdurrauflah yang juga menugaskan Syekh Abdul Muhyi Keramat Pamijahan untuk mengembangkan Islam di Jawa Barat. (Baca ceritanya di: Kisah Karomah Syekh Abdul Muhyi Pamijahan).

Pemilik nama lengkap Aminuddin Abdul Rauf bin Ali Al-Jawi Tsumal Fansuri As-Singkili ini dikenal sebagai pembawa tarekat Syatariyah ke Indonesia.

Keluarganya berasal dari Persia atau Arabia, yang datang dan menetap di Singkil, Aceh, pada akhir abad ke-13.

Pada masa mudanya, dia mula-mula belajar pada ayahnya sendiri di Dayan (Madrasah) Simpang Kanan, di kawasan pedalaman Singkil. Selepas itu melanjutkan pendidikan ke sekolah tinggi di Barus (Dayan Tengku Chik) yang dipimpin oleh Hamzah Fansuri.

Di sekolah ini dia belajar ilmu agama, sejarah, mantik, falsafah, sastra Arab/Melayu dan juga bahasa Parsi.
Setelah tamat kemudian meneruskan pengajian ke sekolah Samudra Pasai yang dipimpin oleh Syekh Syamsuddin As Samathrani.

Sewaktu Syamsuddin diangkat menjadi Qadli Malikul Adil (Kadi Besar) pada zaman Sultan Iskandar Muda Darma Wangsa Perkasa Alam Syah, Abdurrauf dikirim ke Mekkah untuk berhaji dan merantau ke beberapa buah negara Asia Barat lain untuk mendalami ilmu di sana.

Atas dukungan Raja Safiatuddin, Abdurrauf memulai perjalanan intelektualnya menuju tanah suci.
Banyak pusat-pusat keilmuwan yang dikunjunginya sepanjang jalur perjalanan haji. Disamping itu, Syekh Abdurrauf tidak belajar secara formal dengan beberapa ulama.

Perkenalannya dengan banyak tokoh ulama seperti Muhammad Al Babili dari Mesir dan Muhammad Al Barzanji dari Anatolia menjadi ladang pencarian ilmu secara informal.

Syekh Muhammad Al Babili merupakan salah satu ulama Muhadis terkemuka kala itu di Haramain.
Adapun Syekh Muhammad al Barzanji dikenal sebagai sufi tersohor. Syekh Abdurrauf tinggal selama 19 tahun di Mekkah.

Syekh Abdurauf bercerita bahwa dirinya banyak mendapatkan ilmu “lahir’ dari Syeikh Ibrahim bin Abdullah Jam’an di Bait al faqih dan Mauza’.

Lewat gurunya ini, dia berkenalan dengan tokoh tarekat seperti Syekh Ahmad Qusyaysi dan Syekh Ibrahim al Kurani. Lewat keduanya Syekh Abdurrauf mendapatkan ijazah tarekat Syatariyah.

Sekitar tahun 1622 Abdurrauf pulang kampung. Dia kemudian mengajarkan tarikat Syathariyah di daerahnya. Banyak santri yang berdatangan untuk berguru.

Kemudian karena kecakapan dan kepandaiannya dalam ilmu agama, Syekh Abdurrauf diangkat menjadi Mufti (penasihat) Kerajaan Aceh oleh Sultan Safiatuddin Tajul Alam (1641-1643).

Sebagai mufti dia bertanggung jawab memberi nasihat kepada raja di dalam bidang agama, sosial, dan kebudayaan. Syekh Abdurrauf juga bertanggung jawab menyusun kembali Aceh yang hancur akibat perang dengan Portugis di Malaka pada 1629.

Pengaruhnya sangat penting di Kerajaan Aceh. Hingga di Aceh ada semacam kata-kata yang berbunyi “Adat bak peutus Merehum, syarak bak Syikeh di Kuala” artinya Adat di bawah kekuasaan almarhum (raja), sementara syariat (Islam) di bawah Syekh Kuala. Ini menjelaskan betapa besarnya kuasa, peranan dan pengaruh Abdurrauf dalam pemerintahan ketika itu yang hampir sama besar dengan kuasa sultan.

Dalam bertasawuf Abdurrauf menganut paham bahwa satu-satunya wujud hakiki adalah Allah SWT. Alam ciptaan-Nya adalah bayangan , yakni bayangan dari wujud hakiki. Walaupun wujud hakiki (Tuhan) berbeda dengan wujud bayangan (alam), terdapat keserupaan antara wujud ini.

Tuhan melakukan tajali (penampakan diri dalam bentuk alam). Sifat-sifat Tuhan secara tidak langsung tampak pada manusia, dan secara relatif tampak sempurna pada Insan Kamil.

Syekh Abdurrauf juga sangat tidak sepakat dengan paham wahdatul wujud. Dalam bukunya yang berjudul Bayan Tajalli, Abdurrauf menyatakan, bahwa betapapun asyiknya seorang hamba dengan Tuhan, Khalik dan makhluk tetap mempunyai arti sendiri.

Banyak karya yang dihasilkan olehnya. Ada 21 kitab yang karya tulis telah dihasilkan yang terdiri dari 1 kitab tafsir, 2 kitab hadis, 3 kitab fiqih dan sisanya kitab tasawuf.

Syekh Abdurrauf menulis dalam bahasa Arab dan Melayu. Kitab tafsirnya yang berjudul Turjuman Al Mustafid diakui sebagai kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia dengan bahasa Melayu.

Mir’at at Tulab fi Tahsil Ma’rifat Ahkam asy Syar’iyyah lil Malik al Wahhab merupakan salah satu kitabnya di bidang ilmu fiqih. Di dalamnya memuat berbagai persoalan fikih Madzhab Syafiie. Kitab ini juga menjadi panduan para kadi di Kerajaan Aceh.

Di bidang tasawuf, karyanya antara lain Kifayatul Al Muhtajin, Daqaiq al Huruf, Bayan Tajalli, Umdat al Muhtajin dan Umdat al Muhatajin Suluk Maslak al Mufridin.

Kitab yang terakhir ini merupakan karya terpenting Syekh Abdur Rauf. Kitab Umdat al Muhtajin Suluk maslak al Mufridin terdiri dari tujuh bab. Isinya memuat antara lain memuat tentang zikir, sifat-sifat Allah dan Rasul-Nya dan asal usul mistik.

Syekh Abdurrauf wafat pada 1643 dan dimakamkan di Kuala (muara) Banda Aceh. Hingga kemudian makamnya dikenal dengan makam Syekh Kuala.

Konon sewaktu bencana tsunami di Aceh tahun 2004 ada sesuatu peristiwa di luar nalar. Orang-orang yang berkumpul di makam Syekh Kuala luput dari amukan tsunami yang dahsyat.

Gelombang tsunami yang datang dari laut terbelah ketika mencapai makam Syekh Kuala yang terletak di pinggir pantai. Sementara pemukiman penduduk di sekitarnya hancur berantakan.

Bahkan Kapal PLTD terapung dengan panjang 63 meter yang berada di dekat pantai dapat terhempas sekitar 10 kilometer dari tempat asalnya. Makam Syekh Kuala juga diyakini berada di Desa Kilangan, Singkil.

Hingga kini makamnya banyak dikunjungi penziarah dari berbagai tempat di nusantara dan mancanegara saat berkunjung ke Provinsi Aceh. Bahkan makamnya dijadikan tempat wisata religi.

Sumber:

- soalaceh.tumblr.com
- wikipedia dan diolah dari berbagai sumber
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1140 seconds (0.1#10.140)