Bukit Lesa Pintu Masuk Bangsa Eropa ke Tanah Batak
A
A
A
Dolok Lesa atau Bukit Lesa merupakan salah satu pengunungan yang berpanorama indah di ujung Humbang Hasundutan (Humbahas). Ternyata bukit ini merupakan tempat awal pintu masuk bagi bangsa Eropa pada abad 19.
Dari bukit yang harus dicapai dengan berjalan kaki tersebut dapat dilihat panorama laut dan bibir Pantai Barus. Pantai yang pada masa abad 19 tersebut dijadikan sebagai dermaga di mana ratusan perahu berlabuh dan digunakan para pedagang dari Eropa pada masa itu.
Diperkirakan sejumlah orang Eropa masuk ke tanah Batak lewat jalur Pantai Barus dan kemudian naik ke pengunungan batak melalui Bukit Lesa.
Salah satu ilmuan Eropa yang masuk dari dermaga itu adalah Dr Hermann Neubronner van der Tuuk (1824-1894). DR HN Van Der Tuuk adalah seorang ahli bahasa berkebangsaan Belanda kelahiran Malaka yang masuk ke tanah batak.
Salah seorang pakar Batakologi, Nelson Lumbantoruan mengatakan, bahwa sesungguhnya ada dua orang bangsa Eropa yang berjasa besar membuka jendela informasi tentang Tanah Batak, Orang Batak dan Budaya Batak ke dunia Barat.
Mereka adalah Dr Franz Wilhelm Junghun (1809-1864) seorang ahli botani berkebangsaan Jerman dan Dr Hermann Neubronner van der Tuuk (1824-1894) seorang ahli bahasa berkebangsaan Belanda kelahiran Malaka.
“Namun yang masuk ke tanah Batak melalui Barus adalah HN Van Der Tuuk, dan Van Der Tuuk dalam sejarah sudah masuk hingga ke kawasan Bakkara yang pada masa itu lokasi Istana Sisingamangaraja. Sementara Franz Junghun masuk dari kawasan Pantai Timur,” terangnya.
Nelson menuturkan, bahwa dua ilmuan Eropa tersebut datang ke tanah Batak dengan misi yang berbeda.
Franz Junghun melakukan penelitian terhadap tumbuhan dan pertanian di pedalaman Tanah Batak.
Hasil penelitiannya dipublikasikan di Eropa, dan memberikan kesimpulan positif terhadap suku bangsa Batak. Sehingga dunia keilmuan Barat mengenal Tanah Batak.
Sementara HN Van der Tuuk datang ke Tanah Batak atas misi sebuah Lembaga Zending Belanda yaitu Nederlands Bijbelgenoootschap.
Lembaga Zending itu untuk menyusun Kamus Bahasa Batak, Tata Bahasa Batak, dan menerjemahkan Bibel ke dalam Bahasa Batak.
Hasil penelitian DR HN Van Der Tuuk lah yang kemudian menjadi salah satu referensi orang Eropa untuk melakukan berbagai misi di Tanah Batak, termasuk misi penginjilan yang dilakukan DR IL Nommensen.
Sebelum datang ke Tanah Batak, Nommensen terlebih dahulu mempelajari naskah-naskah Batak yang tersimpan di museum Belanda, dan di Inggris khususnya hasil penelitian Dr HN Ban Der Tuuk yang pernah tinggal di Barus dari tahun 1852 hingga 1857.
Dari Barus, masuk ke pedalaman Batak dalam rangka penelitian Bahasa Batak. Hingga penelitiannya menghasilkan beberapa karya besar yang kemudian dibawa ke Eropa dan disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden.
Bukit Lesa sendiri saat ini merupakan batas antara Humbang Hasundutan (Humbahas) dan Tapanuli Tengah.
Nelson yang saat ini menjabat sebagai kepala bidang pariwisata di Humbahas menuturkan, dari sejumlah literatur yang pernah dibacanya menyebutkan bahwa Nommensen berangkat ke Sumatera pada 24 Desember 1864.
Dia menaiki Kapal Pertinax melalui Negeri Belanda dan tiba di Pelabuhan Padang pada 16 Mei 1862. Pada 16 Juni 1862, Nommensen berangkat dengan Kapal Samuel menuju Barus melalui Sibolga, dan tiba di Barus 23 Juni 1862,” jelas Nelson.
Di Barus, Nommensen banyak bertemu dengan masyarakat Batak yang datang untuk berdagang. Selanjutnya dia mengumpulkan banyak informasi tentang Batak.
Setelah mengetahui lebih banyak informasi dari orang-orang yang datang ke pasar itu, maka Nommensen pun sudah berani memulai perjalanan ke pedalaman Batak.
Dari situlah dimulai perjalanan ke Humbang bernama Tukka. Belum ada jalan resmi, mereka berjalan naik turun gunung bahkan harus mengikuti arah sungai ke daerah hulu.
“Salah satunya Bukit Lesa,” katanya.
Salah satu warga Pakkat, Sumurung Rajagukguk mengatakan, berbicara tentang perkabaran injil di Tanah Batak tidak lepas dari Bukit Lesa.
Selama ini, kiblat dari jejak Nommensen hanya terfokus pada Salib Kasih di Tapanuli Utara (Taput).
Sementara jika dilihat dari perjalan dan sejarah, Nommensen tidak akan melanjutkan perjalanan di Tanah Batak apabila tidak diterima masyarakat Humbahas pertama sekali.
Sumurung yang merupakan warga Desa Ambobi, Paranginan, Kecamatan Pakkat sangat berharap, agar bukit tersebut dieksplorasi dan dieksploitasi sebagai objek wisata.
Sumurung berharap agar pemerintah menjadikan Bukit Lesa sebagai salah satu kawasan kunjungan wisata.
Bukit yang menjadi batas wilayah adminstrasi Humbahas dan Tapteng tersebut memiliki nilai jual yang sangat besar. Bukit itu bukan hanya indah karena panorama. Tetapi dalam cerita kenangan leluhur mereka pun sangat indah untuk dijadikan objek wisata.
Untuk mencapai Bukit Lesa. hanya dapat dilalui dengan jalan kaki, karena belum ada jalur kendaraan bermotor.
Sementara itu, Kepala Bidang pariwisata Humbahas, Nelson Lumbantoruan mengatakan bahwa Lesa adalah bukit yang dilalui Nommensen menuju Tukka.
Tukka adalah sebuah pusat perdagangan setelah Barus. Dahulu Tukka disebut sebagai Barus Hulu. Raja Huta di Tukka adalah Marga Pardosi. Selain Marga Pardosi, terdapat beberapa marga lain seperti Marga Marpaung, dan Marga Sihaloho.
Marga-marga itulah sebagai penduduk asli di Tukka. “Dia berjalan dari Barus ke Sijukang di Tapteng naik ke dataran tinggi Humbang melalui gunung Lesa,” jelasnya.
Terkait dengan harapan warga agar Lesa dijadikan sebuah objek wisata, Nelson mengatakan bahwa hal tersebut sangat mungkin.
Namun, proses menjadikan kawasan Lesa sebagai objek wisata bukanlah hal yang mudah dan harus terus diperjuangkan secara bersama-sama.
Saat ini, pemerintah sudah mempersiapkan program pelestarian terhadap Lesa. Salah satunya dengan rencana pembuatan prasasti tentang Lesa.
Dari bukit yang harus dicapai dengan berjalan kaki tersebut dapat dilihat panorama laut dan bibir Pantai Barus. Pantai yang pada masa abad 19 tersebut dijadikan sebagai dermaga di mana ratusan perahu berlabuh dan digunakan para pedagang dari Eropa pada masa itu.
Diperkirakan sejumlah orang Eropa masuk ke tanah Batak lewat jalur Pantai Barus dan kemudian naik ke pengunungan batak melalui Bukit Lesa.
Salah satu ilmuan Eropa yang masuk dari dermaga itu adalah Dr Hermann Neubronner van der Tuuk (1824-1894). DR HN Van Der Tuuk adalah seorang ahli bahasa berkebangsaan Belanda kelahiran Malaka yang masuk ke tanah batak.
Salah seorang pakar Batakologi, Nelson Lumbantoruan mengatakan, bahwa sesungguhnya ada dua orang bangsa Eropa yang berjasa besar membuka jendela informasi tentang Tanah Batak, Orang Batak dan Budaya Batak ke dunia Barat.
Mereka adalah Dr Franz Wilhelm Junghun (1809-1864) seorang ahli botani berkebangsaan Jerman dan Dr Hermann Neubronner van der Tuuk (1824-1894) seorang ahli bahasa berkebangsaan Belanda kelahiran Malaka.
“Namun yang masuk ke tanah Batak melalui Barus adalah HN Van Der Tuuk, dan Van Der Tuuk dalam sejarah sudah masuk hingga ke kawasan Bakkara yang pada masa itu lokasi Istana Sisingamangaraja. Sementara Franz Junghun masuk dari kawasan Pantai Timur,” terangnya.
Nelson menuturkan, bahwa dua ilmuan Eropa tersebut datang ke tanah Batak dengan misi yang berbeda.
Franz Junghun melakukan penelitian terhadap tumbuhan dan pertanian di pedalaman Tanah Batak.
Hasil penelitiannya dipublikasikan di Eropa, dan memberikan kesimpulan positif terhadap suku bangsa Batak. Sehingga dunia keilmuan Barat mengenal Tanah Batak.
Sementara HN Van der Tuuk datang ke Tanah Batak atas misi sebuah Lembaga Zending Belanda yaitu Nederlands Bijbelgenoootschap.
Lembaga Zending itu untuk menyusun Kamus Bahasa Batak, Tata Bahasa Batak, dan menerjemahkan Bibel ke dalam Bahasa Batak.
Hasil penelitian DR HN Van Der Tuuk lah yang kemudian menjadi salah satu referensi orang Eropa untuk melakukan berbagai misi di Tanah Batak, termasuk misi penginjilan yang dilakukan DR IL Nommensen.
Sebelum datang ke Tanah Batak, Nommensen terlebih dahulu mempelajari naskah-naskah Batak yang tersimpan di museum Belanda, dan di Inggris khususnya hasil penelitian Dr HN Ban Der Tuuk yang pernah tinggal di Barus dari tahun 1852 hingga 1857.
Dari Barus, masuk ke pedalaman Batak dalam rangka penelitian Bahasa Batak. Hingga penelitiannya menghasilkan beberapa karya besar yang kemudian dibawa ke Eropa dan disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden.
Bukit Lesa sendiri saat ini merupakan batas antara Humbang Hasundutan (Humbahas) dan Tapanuli Tengah.
Nelson yang saat ini menjabat sebagai kepala bidang pariwisata di Humbahas menuturkan, dari sejumlah literatur yang pernah dibacanya menyebutkan bahwa Nommensen berangkat ke Sumatera pada 24 Desember 1864.
Dia menaiki Kapal Pertinax melalui Negeri Belanda dan tiba di Pelabuhan Padang pada 16 Mei 1862. Pada 16 Juni 1862, Nommensen berangkat dengan Kapal Samuel menuju Barus melalui Sibolga, dan tiba di Barus 23 Juni 1862,” jelas Nelson.
Di Barus, Nommensen banyak bertemu dengan masyarakat Batak yang datang untuk berdagang. Selanjutnya dia mengumpulkan banyak informasi tentang Batak.
Setelah mengetahui lebih banyak informasi dari orang-orang yang datang ke pasar itu, maka Nommensen pun sudah berani memulai perjalanan ke pedalaman Batak.
Dari situlah dimulai perjalanan ke Humbang bernama Tukka. Belum ada jalan resmi, mereka berjalan naik turun gunung bahkan harus mengikuti arah sungai ke daerah hulu.
“Salah satunya Bukit Lesa,” katanya.
Salah satu warga Pakkat, Sumurung Rajagukguk mengatakan, berbicara tentang perkabaran injil di Tanah Batak tidak lepas dari Bukit Lesa.
Selama ini, kiblat dari jejak Nommensen hanya terfokus pada Salib Kasih di Tapanuli Utara (Taput).
Sementara jika dilihat dari perjalan dan sejarah, Nommensen tidak akan melanjutkan perjalanan di Tanah Batak apabila tidak diterima masyarakat Humbahas pertama sekali.
Sumurung yang merupakan warga Desa Ambobi, Paranginan, Kecamatan Pakkat sangat berharap, agar bukit tersebut dieksplorasi dan dieksploitasi sebagai objek wisata.
Sumurung berharap agar pemerintah menjadikan Bukit Lesa sebagai salah satu kawasan kunjungan wisata.
Bukit yang menjadi batas wilayah adminstrasi Humbahas dan Tapteng tersebut memiliki nilai jual yang sangat besar. Bukit itu bukan hanya indah karena panorama. Tetapi dalam cerita kenangan leluhur mereka pun sangat indah untuk dijadikan objek wisata.
Untuk mencapai Bukit Lesa. hanya dapat dilalui dengan jalan kaki, karena belum ada jalur kendaraan bermotor.
Sementara itu, Kepala Bidang pariwisata Humbahas, Nelson Lumbantoruan mengatakan bahwa Lesa adalah bukit yang dilalui Nommensen menuju Tukka.
Tukka adalah sebuah pusat perdagangan setelah Barus. Dahulu Tukka disebut sebagai Barus Hulu. Raja Huta di Tukka adalah Marga Pardosi. Selain Marga Pardosi, terdapat beberapa marga lain seperti Marga Marpaung, dan Marga Sihaloho.
Marga-marga itulah sebagai penduduk asli di Tukka. “Dia berjalan dari Barus ke Sijukang di Tapteng naik ke dataran tinggi Humbang melalui gunung Lesa,” jelasnya.
Terkait dengan harapan warga agar Lesa dijadikan sebuah objek wisata, Nelson mengatakan bahwa hal tersebut sangat mungkin.
Namun, proses menjadikan kawasan Lesa sebagai objek wisata bukanlah hal yang mudah dan harus terus diperjuangkan secara bersama-sama.
Saat ini, pemerintah sudah mempersiapkan program pelestarian terhadap Lesa. Salah satunya dengan rencana pembuatan prasasti tentang Lesa.
(sms)