Pelaku Aborsi di Ponpes Dijerat UU Kesehatan
A
A
A
SEMARANG - Tersangka pelaku aborsi di pondok pesantren di Tembalang, Semarang, Jawa Tengah, akan dijerat dengan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Kepala Satuan Reskrim Polrestabes Semarang AKBP Sugiarto mengatakan, bukti-bukti yang dikantongi penyidik sudah cukup kuat untuk menjerat NLM dan DYA sebagai tersangka.
"Dijerat dengan Undang-Undang Kesehatan," kata Sugiarto, Jumat (12/2/2016).
Diketahui, praktik larangan aborsi ini ada di Pasal 75 ayat (1) Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Di situ diatur, setiap orang dilarang melakukan aborsi.
Selanjutnya, pada ayat (2) disebutkan, larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan indikasi kedaruratan medis sejak usia dini kehamilan, mengidap penyakit genetik berat atau tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi itu hidup di luar kandungan atau kehamilan mengancam nyawa ibu dan atau janin. Selain itu, kehamilan akibat perkosaan yang menyebabkan trauma psikologis korbannya.
Sesuai regulasi itu juga, pada Pasal 76, aborsi bisa dilakukan di antaranya; sebelum kehamilan umur 6 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, oleh tenaga kesehatan yang punya keterampilan dan kewenangan dan sertifikat ditetapkan menteri, persetujuan ibu hamil yang bersangkutan, dengan izin suami kecuali korban perkosaan, dan penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat ditetapkan menteri.
Sanksi pidananya ada di Pasal 194, dengan ancaman hukuman pidana maksimal 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp1 miliar.
Diberitakan sebelumnya, Kepolisian Sektor (Polsek) Tembalang mengungkap kasus dugaan aborsi yang dilakukan santriwati di wilayah hukumnya. Praktik aborsi itu dilakukan di pesantren tempat santri itu menimba ilmu.
Informasi yang dihimpun KORAN SINDO, awalnya polisi mengendus informasi adanya salah satu pasien di RSUD Kota Semarang alias RSUD Ketileng, yang dirawat setelah menderita pendarahan karena aborsi ilegal.
Dia berinisial NLM (20), warga Kabupaten Subang, Jawa Barat. Aborsi itu dilakukan pada hari Rabu (10/2/2016) sekira pukul 10.00 WIB. Lokasinya, di pondok pesantren di Kecamatan Tembalang, Kota Semarang.
NLM dan kekasihnya, DYA (24), warga Kecamatan Geyer, Kabupaten Grobogan, sudah ditetapkan sebagai tersangka. Kasus aborsi ini kini ditangani Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Satreskrim Polrestabes Semarang.
Kepala Satuan Reskrim Polrestabes Semarang AKBP Sugiarto mengatakan, bukti-bukti yang dikantongi penyidik sudah cukup kuat untuk menjerat NLM dan DYA sebagai tersangka.
"Dijerat dengan Undang-Undang Kesehatan," kata Sugiarto, Jumat (12/2/2016).
Diketahui, praktik larangan aborsi ini ada di Pasal 75 ayat (1) Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Di situ diatur, setiap orang dilarang melakukan aborsi.
Selanjutnya, pada ayat (2) disebutkan, larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan indikasi kedaruratan medis sejak usia dini kehamilan, mengidap penyakit genetik berat atau tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi itu hidup di luar kandungan atau kehamilan mengancam nyawa ibu dan atau janin. Selain itu, kehamilan akibat perkosaan yang menyebabkan trauma psikologis korbannya.
Sesuai regulasi itu juga, pada Pasal 76, aborsi bisa dilakukan di antaranya; sebelum kehamilan umur 6 minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, oleh tenaga kesehatan yang punya keterampilan dan kewenangan dan sertifikat ditetapkan menteri, persetujuan ibu hamil yang bersangkutan, dengan izin suami kecuali korban perkosaan, dan penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat ditetapkan menteri.
Sanksi pidananya ada di Pasal 194, dengan ancaman hukuman pidana maksimal 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp1 miliar.
Diberitakan sebelumnya, Kepolisian Sektor (Polsek) Tembalang mengungkap kasus dugaan aborsi yang dilakukan santriwati di wilayah hukumnya. Praktik aborsi itu dilakukan di pesantren tempat santri itu menimba ilmu.
Informasi yang dihimpun KORAN SINDO, awalnya polisi mengendus informasi adanya salah satu pasien di RSUD Kota Semarang alias RSUD Ketileng, yang dirawat setelah menderita pendarahan karena aborsi ilegal.
Dia berinisial NLM (20), warga Kabupaten Subang, Jawa Barat. Aborsi itu dilakukan pada hari Rabu (10/2/2016) sekira pukul 10.00 WIB. Lokasinya, di pondok pesantren di Kecamatan Tembalang, Kota Semarang.
NLM dan kekasihnya, DYA (24), warga Kecamatan Geyer, Kabupaten Grobogan, sudah ditetapkan sebagai tersangka. Kasus aborsi ini kini ditangani Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Satreskrim Polrestabes Semarang.
(zik)