Pendidikan Akademi TNI dan Polri Kembali Digabung
A
A
A
MALANG - Konflik antara prajurit TNI dengan anggota Polri masih rawan terjadi dilapangan. Kasus terakhir terjadi di wilayah Poliwali Mandar, Sulawesi Selatan, hingga menewaskan satu orang prajurit TNI.
Kondisi ini membuat Panglima TNI, Jenderal TNI Gatot Normantyo, sangat prihatin. ”Konflik antara prajurit TNI dengan anggota Polri sudah tidak boleh lagi terjadi. Kebersamaan antarlembaga harus saling menguatkan,” katanya saat menghadiri acara pembekalan bagi 12.500 mahasiswa baru Universitas Brawijaya (UB) Malang. TNI dan Polri menurutnya sama-sama sebagai aparat penegak hukum negara.
Karena itu, sudah seharusnya tidak mudah meletuskan senjata api di muka umum. Konflik yang kembali terjadi juga sangat disesalkan. Konflik menurut Gatot, bisa dicegah tentu dengan membangun komunikasi dan kebersamaan. ”Sangat aneh apabila di wilayah kabupaten yang kecil antara TNI dan Polri tidak saling mengenal. Mereka bekerja bersama-sama setiap hari. Mau menggunakan pakaian preman maupun pakaian seragam, seharusnya mereka saling mengenal dan mengerti,” ujarnya.
Tidak saling mengenal antarprajurit TNI dan anggota Polri ini, diakuinya lebih karena faktor pimpinan TNI dan Polri di daerah itu yang tidak berkomunikasi dengan baik dan tidak pernah melakukan kegiatan bersama. Sesuai anjuran pimpinan TNI dan pimpinan Polri, seharusnya pimpinan di daerah sering melakukan kegiatan bersama yang melibatkan para anggotanya. Dengan begitu, mereka bisa semakin akrab dan saling mengenal.
”Seperti saya dan Kapolri selalu bersama-sama dalam kegiatan. Ini sebagai contoh kebersamaan kita sehingga bisa dilakukan di masing- masing daerah,” katanya. Mengantisipasi konflik yang bisa terus terjadi. Gatot mengaku saat ini sudah ada pemetaan untuk kembali menggabungkan pendidikan dasar para taruna akademi TNI dan Polri selama tiga bulan. Nanti penggabungan ini akan dievaluasi.
Dalam pembekalan kepada para mahasiswa, Gatot juga menyampaikan tentang bahayanya proxy war . Karena salah satu pihak menggunakan pihak ketiga dalam melakukan konflik. Konflik yang dibangun tentu bertujuan melemahkan generasi bangsa Indonesia. Karena itu, pihak-pihak yang berkepentingan dengan mudah bisa menguasai sumber energi, sumber daya alam, dan kekayaan Indonesia.
Proxy war yang terjadi, menurut Gatot, sudah terlihat dengan peredaran narkoba dari luar negeri masuk ke Indonesia secara besar-besaran. ”Selain itu, kita sering melihat terjadi konflik di satu wilayah yang digerakkan oleh invisible hand ,” ungkapnya. Sementara menurut pengamat militer Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Muhajir Efendi, penggabungan pendidikan dasar untuk para taruna akademi TNI dan Polri selama tiga bulan belum menjadi solusi menyelesaikan konflik yang terjadi.
Selama ini konflik yang terjadi lebih banyak pada tataran bintara dan tamtama di lapangan. ”TNI khususnya Angkatan Darat (AD) yang selama masa orde baru merasa menjadi super ordinan terhadap Polri. Kini berbalik Polri yang merasa menjadi super ordinan karena secara struktural berada langsung di bawah presiden,” katanya.
Konflik terjadi, menurut akademisi yang juga menjabat Rektor UMM tersebut, mengandung dua pengertian, yakni mencerminkan ada hubungan disharmoni antarlembaga tersebut dan sebagai bentuk ekspresi dari perilaku kenakalan kolektif anak-anak muda yang ingin menunjukkan maskulinitas atau kejantanannya,” katanya. Agar konflik ini tidak terus terjadi berlarut-larut, Muhajir menilai, perlu ada penataan kembali relasi dan peran kedua institusi itu.
”Sementara terkait konflik yang dipicu oleh perilaku kenakalan anak-anak muda yang kebetulan bergabung sebagai prajurit TNI dan anggota Polri. Penyelesaiannya harus dimulai dari kurikulum dan metode pembentukan kepribadian pada jenjang pendidikan,” katanya.
Yuswantoro
Kondisi ini membuat Panglima TNI, Jenderal TNI Gatot Normantyo, sangat prihatin. ”Konflik antara prajurit TNI dengan anggota Polri sudah tidak boleh lagi terjadi. Kebersamaan antarlembaga harus saling menguatkan,” katanya saat menghadiri acara pembekalan bagi 12.500 mahasiswa baru Universitas Brawijaya (UB) Malang. TNI dan Polri menurutnya sama-sama sebagai aparat penegak hukum negara.
Karena itu, sudah seharusnya tidak mudah meletuskan senjata api di muka umum. Konflik yang kembali terjadi juga sangat disesalkan. Konflik menurut Gatot, bisa dicegah tentu dengan membangun komunikasi dan kebersamaan. ”Sangat aneh apabila di wilayah kabupaten yang kecil antara TNI dan Polri tidak saling mengenal. Mereka bekerja bersama-sama setiap hari. Mau menggunakan pakaian preman maupun pakaian seragam, seharusnya mereka saling mengenal dan mengerti,” ujarnya.
Tidak saling mengenal antarprajurit TNI dan anggota Polri ini, diakuinya lebih karena faktor pimpinan TNI dan Polri di daerah itu yang tidak berkomunikasi dengan baik dan tidak pernah melakukan kegiatan bersama. Sesuai anjuran pimpinan TNI dan pimpinan Polri, seharusnya pimpinan di daerah sering melakukan kegiatan bersama yang melibatkan para anggotanya. Dengan begitu, mereka bisa semakin akrab dan saling mengenal.
”Seperti saya dan Kapolri selalu bersama-sama dalam kegiatan. Ini sebagai contoh kebersamaan kita sehingga bisa dilakukan di masing- masing daerah,” katanya. Mengantisipasi konflik yang bisa terus terjadi. Gatot mengaku saat ini sudah ada pemetaan untuk kembali menggabungkan pendidikan dasar para taruna akademi TNI dan Polri selama tiga bulan. Nanti penggabungan ini akan dievaluasi.
Dalam pembekalan kepada para mahasiswa, Gatot juga menyampaikan tentang bahayanya proxy war . Karena salah satu pihak menggunakan pihak ketiga dalam melakukan konflik. Konflik yang dibangun tentu bertujuan melemahkan generasi bangsa Indonesia. Karena itu, pihak-pihak yang berkepentingan dengan mudah bisa menguasai sumber energi, sumber daya alam, dan kekayaan Indonesia.
Proxy war yang terjadi, menurut Gatot, sudah terlihat dengan peredaran narkoba dari luar negeri masuk ke Indonesia secara besar-besaran. ”Selain itu, kita sering melihat terjadi konflik di satu wilayah yang digerakkan oleh invisible hand ,” ungkapnya. Sementara menurut pengamat militer Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Muhajir Efendi, penggabungan pendidikan dasar untuk para taruna akademi TNI dan Polri selama tiga bulan belum menjadi solusi menyelesaikan konflik yang terjadi.
Selama ini konflik yang terjadi lebih banyak pada tataran bintara dan tamtama di lapangan. ”TNI khususnya Angkatan Darat (AD) yang selama masa orde baru merasa menjadi super ordinan terhadap Polri. Kini berbalik Polri yang merasa menjadi super ordinan karena secara struktural berada langsung di bawah presiden,” katanya.
Konflik terjadi, menurut akademisi yang juga menjabat Rektor UMM tersebut, mengandung dua pengertian, yakni mencerminkan ada hubungan disharmoni antarlembaga tersebut dan sebagai bentuk ekspresi dari perilaku kenakalan kolektif anak-anak muda yang ingin menunjukkan maskulinitas atau kejantanannya,” katanya. Agar konflik ini tidak terus terjadi berlarut-larut, Muhajir menilai, perlu ada penataan kembali relasi dan peran kedua institusi itu.
”Sementara terkait konflik yang dipicu oleh perilaku kenakalan anak-anak muda yang kebetulan bergabung sebagai prajurit TNI dan anggota Polri. Penyelesaiannya harus dimulai dari kurikulum dan metode pembentukan kepribadian pada jenjang pendidikan,” katanya.
Yuswantoro
(ars)