Rela Abdikan Diri Melawan Keterbelakangan
A
A
A
Mariyatul Qibtiyah, 39, dengan sabar membimbing beberapa anak didiknya untuk membaca ayat-ayat Alquran. Mereka begitu semangat belajar diterangi sinar mentari sore yang masuk dari celah-celah dinding gubuk tempat mereka membaca.
Beralaskan tikar sederhana, anak-anak di Dusun Gunung Kunci, Desa Jabung, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, ini mempelajari ilmu keagamaan yang mereka imani dan belajar menerjemahkan ayat-ayat dalam Al Quran dalam contoh-contoh kehidupan nyata. Sore yang dingin diselimuti kabut Pegunungan Tengger, Mariyatul mencoba menerangkan arti kedewasaan, kesopanan, dan tata cara menjaga diri bagi para remaja putri. “Mereka mulai beranjak dewasa. Mereka harus mampu menjaga diri dengan keluar dari segala keterbelakangannya,” ungkapnya.
Wanita desa sederhana yang akrab disapa Mbak Qib ini begitu telaten mengajari para muridnya di pengajian sore itu. Mereka setiap sore melakukan pengajian dan belajar bersama tentang kehidupan di Gubuk Baca Lentera Nusantara. Gubuk itu sangatlah sederhana, hanya berdinding kayu pohon jambe. Tetapi, setiap sore menjadi salah satu pusat kegiatan belajar nonformal bagi anak-anak dusun di lereng barat Pegunungan Tengger ini.
Dari belasan anak yang mulai beranjak remaja putri tersebut, hanya satu orang yang memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan formalnya ke jenjang madrasah tsanawiyah (MTs), yakni sekolah formal sederajat dengan sekolah menengah pertama (SMP). Sementara, sisanya tidak lagi bisa melanjutkan sekolah. Mereka hanyalah tamatan madrasah ibtidaiyah (MI) atau setara sekolah dasar (SD).
“Jarak sekolah yang terlalu jauh membuat mereka kesulitan untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi,” ujar Mariyatul. Sylvia, 14, peserta pengajian rutin di Gubuk Baca Lentera Nusantara, menjadi satu-satunya remaja putri di dusun tersebut, yang beruntung bisa melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi.
Anak kepala dusun ini memiliki fasilitas sepeda motor dari orang tuanya sehingga bisa bersekolah ke pusat Kecamatan Jabung yang memiliki jarak tempuh sekitar 5 km, dengan jalan menanjak, menurun, dan berliku di tengah kebun tebu. Dia ingin terus belajar hingga bisa menjadi guru. Menjadi pengajar selalu didambakannya karena tidak ingin hanya menjadi buruh tani dan peternak sapi perah.
“Saya ingin menjadi guru biar bisa mengajar banyak orang,” ujar remaja putri tersebut. Satu-satunya SD Negeri yang paling dengan dusun tersebut hanyalah SD Negeri Jabung 3. Jaraknya sekitar 3 km. “Jarak tempuh itu tentunya sangatlah jauh bagi anak-anak usia SD,” ujar Masudi, 37, yang merupakan salah satu tokoh di Dusun Gunung Kunci. Masudi merupakan adik kandung Mariyatul Qibtiyah.
Keluarga ini sejak 2009 bertekad mencerdaskan anakanak di lereng gunung tersebut dengan mendirikan MI Al Marqamah, Raudhatul Athfal (RA) setingkat taman kanakkanak. Kedua lembaga pendidikan ini berada di bawah naungan Yayasan Al Marqamah. Jauhnya tempat pendidikan formal membuat sebagian besar orang tua di Dusun Gunung Kunci tidak menyekolahkan anakanaknya.
Mereka masih beranggapan, setelah lulus sekolah, anak-anaknya juga tetap kembali menjadi buruh tani dan mencari rumput seperti orang tuannya saat ini. Dusun berpenduduk sekitar 450 kepala keluarga ini berada di sisi timur Kota Malang. Jaraknya sekitar 30 km dari pusat kota. Rata-rata penduduknya, bekerja sebagai buruh tani, dan peternak sapi perah. Masudi mengaku, pemahaman orang tua tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka yang masih rendah. Membuat anak-anak dusun ini sangat jarang yang bersekolah.
“Pada 1994, hanya saya di dusun ini yang bisa sekolah sampai ke jenjang MTs,” ungkapnya. Kondisi itu masih berlanjut hingga saat ini. Bahkan, dari 11 siswa lulusan MI Al Marqamah yang didirikannya, baru satu siswa yang berniat melanjutkan untuk menempuh pendidikan di MTs.
Pria yang kini menjabat sebagai Ketua Yayasan Al Marqamah tersebut mengaku, mendirikan sekolah formal di dusunnya sendiri berangkat dari sekolah nonformal yang didirikan ayah kandungnya, Mochamad Sueb.
Yuswantoro
Malang
Beralaskan tikar sederhana, anak-anak di Dusun Gunung Kunci, Desa Jabung, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, ini mempelajari ilmu keagamaan yang mereka imani dan belajar menerjemahkan ayat-ayat dalam Al Quran dalam contoh-contoh kehidupan nyata. Sore yang dingin diselimuti kabut Pegunungan Tengger, Mariyatul mencoba menerangkan arti kedewasaan, kesopanan, dan tata cara menjaga diri bagi para remaja putri. “Mereka mulai beranjak dewasa. Mereka harus mampu menjaga diri dengan keluar dari segala keterbelakangannya,” ungkapnya.
Wanita desa sederhana yang akrab disapa Mbak Qib ini begitu telaten mengajari para muridnya di pengajian sore itu. Mereka setiap sore melakukan pengajian dan belajar bersama tentang kehidupan di Gubuk Baca Lentera Nusantara. Gubuk itu sangatlah sederhana, hanya berdinding kayu pohon jambe. Tetapi, setiap sore menjadi salah satu pusat kegiatan belajar nonformal bagi anak-anak dusun di lereng barat Pegunungan Tengger ini.
Dari belasan anak yang mulai beranjak remaja putri tersebut, hanya satu orang yang memiliki kesempatan untuk melanjutkan pendidikan formalnya ke jenjang madrasah tsanawiyah (MTs), yakni sekolah formal sederajat dengan sekolah menengah pertama (SMP). Sementara, sisanya tidak lagi bisa melanjutkan sekolah. Mereka hanyalah tamatan madrasah ibtidaiyah (MI) atau setara sekolah dasar (SD).
“Jarak sekolah yang terlalu jauh membuat mereka kesulitan untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi,” ujar Mariyatul. Sylvia, 14, peserta pengajian rutin di Gubuk Baca Lentera Nusantara, menjadi satu-satunya remaja putri di dusun tersebut, yang beruntung bisa melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi.
Anak kepala dusun ini memiliki fasilitas sepeda motor dari orang tuanya sehingga bisa bersekolah ke pusat Kecamatan Jabung yang memiliki jarak tempuh sekitar 5 km, dengan jalan menanjak, menurun, dan berliku di tengah kebun tebu. Dia ingin terus belajar hingga bisa menjadi guru. Menjadi pengajar selalu didambakannya karena tidak ingin hanya menjadi buruh tani dan peternak sapi perah.
“Saya ingin menjadi guru biar bisa mengajar banyak orang,” ujar remaja putri tersebut. Satu-satunya SD Negeri yang paling dengan dusun tersebut hanyalah SD Negeri Jabung 3. Jaraknya sekitar 3 km. “Jarak tempuh itu tentunya sangatlah jauh bagi anak-anak usia SD,” ujar Masudi, 37, yang merupakan salah satu tokoh di Dusun Gunung Kunci. Masudi merupakan adik kandung Mariyatul Qibtiyah.
Keluarga ini sejak 2009 bertekad mencerdaskan anakanak di lereng gunung tersebut dengan mendirikan MI Al Marqamah, Raudhatul Athfal (RA) setingkat taman kanakkanak. Kedua lembaga pendidikan ini berada di bawah naungan Yayasan Al Marqamah. Jauhnya tempat pendidikan formal membuat sebagian besar orang tua di Dusun Gunung Kunci tidak menyekolahkan anakanaknya.
Mereka masih beranggapan, setelah lulus sekolah, anak-anaknya juga tetap kembali menjadi buruh tani dan mencari rumput seperti orang tuannya saat ini. Dusun berpenduduk sekitar 450 kepala keluarga ini berada di sisi timur Kota Malang. Jaraknya sekitar 30 km dari pusat kota. Rata-rata penduduknya, bekerja sebagai buruh tani, dan peternak sapi perah. Masudi mengaku, pemahaman orang tua tentang pentingnya pendidikan bagi anak-anak mereka yang masih rendah. Membuat anak-anak dusun ini sangat jarang yang bersekolah.
“Pada 1994, hanya saya di dusun ini yang bisa sekolah sampai ke jenjang MTs,” ungkapnya. Kondisi itu masih berlanjut hingga saat ini. Bahkan, dari 11 siswa lulusan MI Al Marqamah yang didirikannya, baru satu siswa yang berniat melanjutkan untuk menempuh pendidikan di MTs.
Pria yang kini menjabat sebagai Ketua Yayasan Al Marqamah tersebut mengaku, mendirikan sekolah formal di dusunnya sendiri berangkat dari sekolah nonformal yang didirikan ayah kandungnya, Mochamad Sueb.
Yuswantoro
Malang
(ars)