Sekolah Umum Kental Nuansa Ponpes

Jum'at, 24 Juli 2015 - 10:24 WIB
Sekolah Umum Kental Nuansa Ponpes
Sekolah Umum Kental Nuansa Ponpes
A A A
SURABAYA - Lembaga pendidikan Islam di Kota Pahlawan terus tumbuh, baik dari sisi jumlah, penyebaran, maupun kualitas. Keberadaannya ada yang di bawah naungan Pengurus Wilayah (PW) Muhammadiyah, Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, serta yayasan lainnya.

Banyak jenjang menjadi garapan, mulai taman kanak-kanak (TK), sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), sekolah tinggi, dan universitas. Segmentasi lembaga pendidikan itu pun terbangun. Mengedepankan pendidikan Islam tidak lantas lembaga yang ada ini seperti halnya pondok pesantren (ponpes).

Predikat sekolah umum tetap disandang. SMA Muhammadiyah 2 (Smamda) Surabaya adalah contoh dari sekian banyak tempat belajar-mengajar yang mengedepankan pendidikan Islam. Sekolah di bawah naungan PW Muhammadiyah Jawa Timur ini menyelipkan banyak nilai muatan lokal (mulok) keislaman di luar kurikulum pendidikan yang dipatenkan Dinas Pendidikan (Dindik).

Mulok di sekolah sarat prestasi nasional dan internasional tersebut ditangani langsung bidang Al Islam, Kemuhammadiyahan, dan bahasa Arab (Ismuba). “Kegiatan bidang Ismuba pada siswa ada tartil Quran, Kemu-hammadiyahan, dan bahasa Arab,” ujar Sulaiman, Wakasek Smamda Bidang Ismuba, saat ditemui di sekolah, Jalan Pucang Anom 91, Surabaya.

Lewat bidang itu, kata dia, Smamda membantu pemerintah dalam pemberantasan buta huruf Arab. Dari 60% siswa yang tidak bisa baca huruf Arab menjadi 0%. Ada banyak terobosan untuk menjadikan siswa bisa baca aksara Arab. “Sejak 2008, kami masukan tambahan pelajaran yang memperkuat tingkatan keislaman. Kalau di sekolah lain ini bisa jadi ekstrakurikuler.

Di Smamda ini bagian kegiatan intrakurikuler, ada waktu dua jam untuk tartil Quran,” beber Sulaiman. Banyak ragam input diperoleh siswa. Dari siswa yang sama sekali tidak bisa baca Arab menjadi bisa, yang bisa semakin lancar, bahkan mampu menjadi qari dan hafiz (hafal). Input berbeda ini karena siswa Smamda memiliki latar belakang pendidikan berbeda.

Ada yang dari SMP umum dan ada yang dari SMP Muhammadiyah atau SMP Islam lain. “Ada murid yang saat SD mengaji dan baca huruf Arab. Begitu masuk SMP umum, ilmunya hilang. Ketika masuk Smamda, mereka ingin kembali bisa baca,” urainya. Dalam pelaksanaan tartil Quran diterapkan pemetaan untuk mengetahui kemampuan siswa.

Ada tes yang diberlakukan oleh tim Pengurus Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur. Pengelompokan bagi siswa yang saat SD pernah belajar mengaji dan SMP tidak, bisa tapi tidak lancar, dan bisa serta lancar. Semuanya belajar di kelas berbeda. “Kelas tartil Quran ini disamakan dengan kelas reguler. Artinya sesama siswa kelas X, XI, dan XII disendirikan,” paparnya.

Dari pelaksanaan tartil Quran, ada target hafalan yang diujikan bersamaan ujian sekolah (US). Bahkan, hafalan ini dijadikan syarat siswa bisa mendapatkan ijazah. Artinya, lulus ujian nasional (UN) siswa tidak serta-merta mendapatkan ijazah. Untuk mengambilnya harus hafal jumlah juz yang ditentukan pada Alquran. Pembacaan hafalan ini disaksikan orang tua.

“Siswa tidak bisa membacakan hafalan. Karena sejak awal masuk sudah menandatangani kesepakatan. Orang tua dan wali muridnya juga. Selama ini tidak ada lulusan yang mendapatkan ijazah tanpa terlebih dulu membacakan hafalan,” katanya. Program semacam ini membuat bangga orang tua.

Bahkan, ada yang menyampaikan testimoninya ke sekolah bahwa anaknya yang semula tidak bisa baca Arab menjadi bisa, bahkan hafal beberapa juz. “Sebelum mengambil ijazah, jauh hari siswa juga wajib mengikuti Munaqosah Tartil Quran. Semacam tes oleh tim tajdid (pembaruan) PWM,” rinci Sulaiman, lagi.

Selain itu, siswa secara berkala wajib menyetorkan laporan hafalan suratsurat dalam Alquran. Caranya dengan membacakan hafalan pada guru penanggung jawab. Penerapan program ini, kata Sulaiman, membuat banyak siswanya yang mampu menjadi imam salat. “Soal hafalan, siswa yang masih duduk di SD lebih cepat hafal. Kalau sudah SMA sulit karena masalah atau tugas siswa banyak, belum lagi pembiasaan (baca Alquran) di keluarga yang kurang,” tukasnya.

Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jawa Timur Biyanto menegaskan, akhir-akhir ini pendidikan nasional dalam sorotan. Gonjang-ganjing kurikulum menjadi pemicu. Kondisi ini, menurut Biyanto, tidak memengaruhi lembaga pendidikan Muhammadiyah untuk terus berprestasi terutama guru maupun siswa.

“Sekolah Muhammadiyah harus mampu menampilkan moto fastabiq al-khairat , berlomba-lomba untuk meraih keunggulan dan menjadi juara. Slogan keunggulan harus ditanamkan pada diri kepala sekolah, guru dan anakanak Muhammadiyah,” papar Biyanto yang juga kolumnis di beberapa media cetak, termasuk KORAN SINDO .

Menurutnya, generasi emas Muhammadiyah tidak cukup ikut perlombaan saja, tapi juga harus juara dalam berbagai ajang yang diikutinya. Sedapat mungkin anak-anak Muhammadiyah harus menjadi juara. “Virus menjadi juara inilah yang sesungguhnya etos Muhammadiyah. Spiritnya good is not good enough , baik itu tidak cukup baik. Karena itu mengapa tidak menjadi yang terbaik, why not the best.

Kalau sekolah lain bisa juara, generasi emas Muhammadiyah juga harus berprestasi dan juara,” tandasnya. Biyanto menyebut ada banyak sekolah Muhammadiyah yang berpredikat sekolah bintang, bisa menjadi pilot project. Tugas PWM memperbanyak pusat- pusat keunggulan di sekolah.

Selain mengelola sekolah di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, PWM Jawa Timur juga banyak mengelola Madrasah Ibtidaiyah (MI) di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag). Dari waktu ke waktu jumlah MI Muhammadiyah di Surabaya terus bertambah. Angka terangir, MI Muhammadiyah di Surabaya ada 27 sekolahan.

Yang akan dibuka pasca-Lebaran 2015 ini adalah MI Muhammadiyah 27 di Jalan Wonorejo Indah Timur, Kelurahan Wonorejo, Kecamatan Rungkut, Surabaya. “MI Muhammadiyah 27 ini memanfaatkan gedung eks SD Aisyiyah Wonorejo yang tutup karena tidak mengantongi izin operasional. Untuk MI Muhammadiyah 27, izinnya lengkap dan dibawah naungan Kemenag,” papar Ismul Muchlis, kepala MI Muhammadiyah 27.

Madrasah modern berbasis pondok pesantren dikedepankan MI yang baru akan menerima siswa angkatan pertama bersamaan tahun ajaran 2015- 2016 ini. “Selama ini orang mendengar madrasah, pikirannya langsung ke arah tradisional. MI Muhammadiyah tidak, konsepnya modern.

Nuansa pondok pesantrennya ada karena siswa pada Jumat sore akan bermalam di sekolahan hingga Sabtu. Konsep boarding school ada. Ini untuk melatih kemandirian, kedisiplinan, kepemimpinan dan lainnya,” rinci Ismul. Yang membuat unsur modern kental di sekolahan ini adalah metode pembelajaran yang menggunakan LCD.

Selain itu, ada metode pembelajaran di luar kelas atau luar sekolah. “Selama ini muatan pembelajaran madrasah 60% agama, 40% umum. Ini, di MI Muhammadiyah 27, 100% agama, 100% umum yang meliputi bahasa Arab, Inggris atau bilingual. Ada lab, bahasa, komputer. Jadi siswa dapat 200%,” sebutnya. Ciri khas pondok pesantren lainnya di MI Muhammadiyah 27 Wonorejo adalah adanya tahfiz atau hafalan Quran. Ini diwajibkan kepada siswa.

SOEPRAYITNO
(ftr)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6213 seconds (0.1#10.140)
pixels