Megawati, Santri Tertua Ponpes Metal (Bagian 2/Habis)

Minggu, 19 Juli 2015 - 05:00 WIB
Megawati, Santri Tertua Ponpes Metal (Bagian 2/Habis)
Megawati, Santri Tertua Ponpes Metal (Bagian 2/Habis)
A A A
"AYO Pak, foto,". "Saya belum difoto" begitu celotehan silih berganti dari mulut-mulut mungil anak-anak perempuan penghuni Ponpes Metal, Minggu siang itu, saat Sindonews mengeluarkan kamera.

Usia mereka beragam. Ada yang masih batita (di bawah tiga tahun), balita (di bawah lima tahun). Yang paling tua berumur 13 tahun. Dandanannya pun beragam. Yang kecil ada yang telanjang bulat karena hendak main prosotan air di lantai, ada yang telanjang dada, namun umumnya berpakaian lengkap.

Sebagian dari mereka sedang mencuci pakaian, sebagian lagi menjemur, dan yang lain menjaga adik-adiknya. Di sini santri lebih besar wajib menjaga dan merawat adik-adiknya yang lebih kecil. Mereka tampak bersahaja dan penuh persaudaraan.

Salah satu santri yang dituakan bernama Megawati (13). Siang itu Mega, sapaan Megawati, sibuk mencuci pakaian adik-adiknya. Juga memandikan para santri cilik.

"Kita cuci di bak mandi karena baknya mau dikuras," ujar Mega seraya memeras baju cuciannya.

Sesekali dia memerintahkan adiknya menjemur pakaian yang sudah dicucinya. Dengan cekatan, santri cilik tadi menjereng pakaian di jemuran."Ya, beginilah Pak kita sehari-hari. Santri yang besar menjaga adik-adik," ujar Mega.

Mega mengaku lahir dan besar di pondok. Mega tidak tahu siapa orangtua kandungnya karena sejak lahir sudah ditinggalkan orangtuanya di pondok .

"Saya hanya diberitahu kalau orangtua dari Malang. Tapi, sampai sekarang tidak tahu siapa orangtua saya."

Mega mengaku ingin bertemu orangtuanya. Tapi, sampai kini tidak pernah kesampaian. Meski tidak pernah disambangi orangtuanya, Mega mengaku betah tinggal di lingkungan ponpes.

Mereka menganggap pendiri Ponpes KH Abu Bakar Kholil dan istrinya Lutfiyah sebagai pengganti orangtua mereka. Wajar, sebab sejak kecil keduanya yang merawat Mega dan kawan-kawan.

Selain belajar salat, ngaji di ponpes, Mega berharap bisa di sekolah umum. Namun itu terbentur masalah administrasi karena tidak punya akta kelahiran.

"Kalau bisa sekolah saya ingin jadi guru agar bisa mengajari adik-adik saya," kata Mega, polos.

Hal sama diungkapkan Sipau (12) yang lahir dan besar di ponpes tanpa tahu siapa orangtua kandungnya. "Kalau bisa sekolah ya senang," katanya sambil sibuk mencuci pakaian adik-adiknya.

Di tengah wawancara, berkumandang azan zuhur. Beberapa santri balita bergegas masuk kamar membawa minuman dan roti dalam kemasan plastik.

"Yang kecil-kecil puasa beduk (zuhur) Pak. Yang besar puasa magrib," tambah Bubah (12), santri yang agak besar.

Tiba-tiba, Sindonews dikejutkan suara Buchori, juru bicara Ponpes Metal. "Sudah ya Pak wawancaranya dengan anak-anak," kata Buchori, meminta Sindonews untuk segera mengakhiri wawancara dengan santri cilik.

Menurut Buchori, nama-nama santri sepenuhnya diberikan oleh almarhum KH Abu Babar Kholil, pendiri ponpes. Ada santri diberi nama Megawati, Gus Dur, sampai Malik Abdul Aziz, nama Islam petinju kelas berat dari Amerika, Mike Tyson.

"Masih banyak nama tokoh Indonesia dan tokoh dunia Islam lainnya yang dimiliki santri di sini," ujar Buchori.

Bayi-bayi yang lahir dan besar di ponpes memang tidak dikehendaki keluarga atau orangtuanya. Bahkan hasil hubungan gelap atau pranikah. Ibu jabang bayi datang ke ponpes saat hamil besar. Setelah melahirkan, mereka kembali pada keluarganya.

"Jadi, bayi sepenuhnya menjadi tanggung jawab ponpes dan tidak boleh diambil atau diadopsi," kata Buchori.

Umumnya, setelah bayi dilahirkan, orangtuanya atau keluarga tidak pernah menjenguknya. "Kalaupun ada yang menjenguk hanya satu dua saja. Itu pun kadang setahun sekali. Selebihnya, tak pernah ditengok.

Agar anak-anak Ponpes Metal punya masa depan seperti anak umumnya, ponpes berharap Pemkab Pasuruan mau membantu membuatkan akta kelahiran agar anak-anak ponpes bisa sekolah di sekolah umum.

"Alhamdulillah, pemkab sudah mendata anak-anak. Mudah-mudahan akta segera terbit," harap Buchori.

Lantas, bagaimana dengan kebutuhan konsumsi di Ponpes Metal, apalagi para santri tak dipungut biaya sesen pun. Sebaliknya, mereka mendapat makan rutin tiga kali sehari. Bahkan, para santri mendapat uang saku. Yang besar berumur SD sampai SMP mendapat sangu Rp10 ribu per hari. Sedangkan anak-anak kecil hanya Rp2 ribu.

Sekadar diketahui, saat ini, santri yang ada di Ponpes Metal umumnya anak-anak hasil perempuan hamil pranikah yang jumlahnya mencapai ratusan anak. Mereka terbagi balita, anak umur SD dan remaja. Sisanya, ada empat orang gila.

Menurut Buchori, dana untuk menghidupi para santri sepenuhnya dari para donatur, hamba Allah. Sebab, Pak Kiai berprinsip Allah SWT sudah mengatur rezeki orang.

"Semut saja bisa makan, masak orang tidak. Terbukti, sejak ponpes didirikan 1992 sampai kini masih berdiri kukuh dan para santri tetap bisa makan. Semua Allah yang mengatur," kata Buchori menirukan ucapan Kiai Abu Bakar Kholil. (Habis)
(zik)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6343 seconds (0.1#10.140)