Dari Bali Naik Bus ke Jakarta, Perjuangan Warga Batu Ampar Dapat Atensi Istana
loading...
A
A
A
JAKARTA - Warga Dusun Batu Ampar, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Bali menggelar aksi damai di Patung Kuda, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, pada Senin (20/12/2022). Warga yang berjumlah 45 orang tersebut melakukan aksi untuk mencari keadilan.
Sehari sebelumnya, Minggu (19/12/2022, mereka berangkat dari Buleleng dengan menggunakan bus dan tiba di Jakarta pada Senin (20/12/2022). Setibanya di Jakarta, mereka langsung melakukan aksi damai di Patung Kuda, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Mereka membentang spanduk bertuliskan "Pak Jokowi, tolong tanah kami 55 KK dirampas". Spanduk lain bertuliskan "Pak Jokowi kami punya sertifikat hak milik dan bayar pajak sampai sekarang tapi dirampas".
Nyoman Tirtawan, perwakilan warga mengatakan, pihaknya datang ke Jakarta untuk bertemu langsung kepada Presiden Jokowi. "Untuk melaporkan langsung kronologi kasus perampasan tanah kami yang sudah dilaporkan ke Polres Buleleng dengan terlapor Putu Agus Suradnyana, Bupati Buleleng periode 2017-2022," ujar Nyoman.
Karena perjuangan untuk bertemu Presiden Jokowi tak kesampaian, mereka pun terpaksa menginap semalam. Pada Selasa (21/12/2022) pagi, Nyoman langsung ke Kementerian Sekretaris Negara (Sekneg) membawa surat pengaduan terkait tanah tersebut. "Kami antar surat ke sana dan diterima," tegasnya.
Menurut Nyoman, surat tersebut langsung diproses di Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan, terdaftar dengan nomor 22CI-QYY2TU Kementerian Sekneg.
"Tapi lucunya kami kirim surat kepada Bapak Jokowi pada Juli 2022 lalu, tapi baru dijawab saat kami bawa surat kemarin. Selama ini kami tak ada informasi apa pun dan baru dikasih tahu kekurangan surat itu," tegasnya.
Nyoman membeberkan, sejak tahun 1952, warga Dusun Batu Ampar menerabas hutan belantara untuk bercocok tanam dan bermukim di atas tanah tersebut.Warga diberikan surat kepemilikan tanah pada tahun 1959 sebagai bukti legalitas oleh pemerintah.
Namun pada tahun 1976, lanjutnya, lantaran pemerintah membutuhkan kapur sebagai bahan bangunan, maka diterbitkan sertifikat hak pengelolaan lahan (HPL) kepada Perusahaan Daerah Swatantra seluas 45 hektar di atas tanah pemukiman warga Dusun Batu Ampar itu.
"Di dalam sertifikat HPL tertulis kalimat 'amanya hak berlaku sepanjang tanah yang dimaksud dipergunakan untuk proyek pengapuran'," bebernya.
Secara de facto kata Nyoman, proyek pengapuran berakhir tahun 1980-an. Kemudian Bupati Buleleng dan Kepala Kantor Agraria Buleleng bersurat kepada Menteri Dalam Negeri pada tahun 1982.
Hal tersebut dilakukan agar tanah yang terbit di atas sertifikat milik warga didistribusikan kepada 55 warga atas nama Raman dan kawan-kawan.
"Atas dasar itulah Menteri Dalam Negeri kemudian memutuskan dan menetapkan pendistribusian tanah tersebut kepada Raman dan kawan-kawan bersama 55 warga untuk dijadikan Hak Milk karena telah memenuhi syarat," tegasnya.
Dikatakan Nyoman, dari 55 warga yang diberikan SK Mendagri tahun 1982, baru 4 warga yang diproses penerbitan sertifikatnya yaitu Ketut Salin, Marwiyah, Pan Deresna dan Adna. Sedangkan sisanya berjumlah 51 warga ditolak proses penerbitan sertifikatnya tanpa alasan yang jelas atau diperlakukan secara diskriminatif."Tahun 1990 warga diusir oleh oknum aparat dari tanah mereka tanpa diberikan uang sepeserpun," katanya.
Kawasan Pariwisata
Lanjut Nyoman, rencananya di atas tanah tersebut dibangun kawasan pariwisata oleh PT. Prapat Agung Permai. Sayangnya, tanah tersebut dijadikan agunan kredit di BAPINDO dan tanah milik warga ditelantarkan.
"Karena warga masih memiliki bukti hak milik, maka mereka secara bersama kembali menggarap tanah warisan leluhur tersebut sekitar tahun 1998 untuk bercocok tanam guna melangsungkan hidup," bebernya.
Namun kata Nyoman, sekitar tahun 2015 Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana mencatatkan tanah milk warga tersebut sebagai aset Pemkab Buleleng tanpa dokumen, tanpa asal-usul dan tanpa nilai alias nol rupiah.
Nyoman menuturkan, langkah Agus Suradnyana yang melanggar SIMAK-BMN (sistem informasi manajemen dan akuntansi barang milik negara) tersebut, BPK menyatakan langkah tersebut sebagai temuan pada tahun 2019.
Nyoman juga mempertanyakan alasan terbit HPL di atas banyak hak milik atau Sertifikat Hak Milik (SHM). "Kenapa pemkab Buleleng menagih pajak bumi dan bangunan kepada 55 pemilik lahan yang katanya ada HPL? Dari dulu sampai tahun 2022, 55 warga Batu Ampar bayar pajak yang artinya ada kewajiban atas tanah. Pastinya ada hak atas tanah terkait," tegasnya.
Atas hal itu, Nyoman pun mengambil langkah hukum dengan melaporkanAgus ke Polres Buleleng pada 5 April 2022. Laporan tersebut tercatat dengan LP/B/56/IV/2022/SPKT/Polres Buleleng/Polda Bali Tanggal 5 April 2022. Dalam laporan tersebut, Nyoman menduga Agus telah merampas tanah warga. Sayangnya, proses hukum tidak berjalan.
Pasca laporan tersebut, kata Nyoman, penyidik Polres Buleleng datang bersama 8 anggotanya. Saat itu, penyidik memanggil para pemilik tanah melalui aparat Desa Pejarakan pada tanggal 27 Mei 2022. Pemanggilan tersebut tanpa memberikan surat panggilan atau pemberitahuan sebelumnya.
"Para warga diperiksa dan mereka jelas panik serta menghubungi saya mengaku takut. Mereka trauma dan ketakutan karena pada tahun 1990 salah satu temannya ditodong pistol oleh oknum aparat (korban Made Lastya) dan bahkan ada yang sampai stress dan mati gantung diri (korban Pan Dayuh)," tambahnya.
Terkait laporan dugaan perampasan tersebut, Kapolres Buleleng AKBP I Made Dhanuardana mengatakan, pihaknya telah memeriksa terlapor dan beberapa pihak lainnya yang terkait dengan substansi perkara tersebut. "Pada tanggal 14 Juni 2022 dia (terlapor Agus-red) diperiksa," ujarnya saat dihubungi, Kamis (22/12/2022).
Kata Made, pihaknya tak hanya memeriksa Agus melainkan sejumlah pihak dari instansi Pemkab Buleleng. "Ini kan instansi bersama dari aset daerah. Karena ini kan laporannya tentang perampasan hak. Dari BPN (Badan Pertanahan Nasional) (Buleleng-red)," tambahnya.
"Cuman sekarang dari saksi yang diajukan ada beberapa belum diambil keterangan, dari pelapor. Tetapi dalam hal ini kami tetap melakukan penyelidikan," tambanya.
Sementara Agus sendiri menanggapi secara santai laporan Nyoman tersebut. Agus pun meminta supaya tidak menanyakan kepadanya terkait laporan yang menudingnya merampas tanah rakyat. "Nanyanya ke Polres dong," tegasnya saat dihubungi, Kamis (22/12/2022).
Namun Agus memilih menyerahkan kasus yang menimpanya saat ini kepada Tuhan. Agus meyakini Tuhan akan menyadarkan orang-orang yang dianggapnya jahat. "Aduh maaf, saya justru yang bantu nyelamatin aset Pemkab (Buleleng-red). Yang dibilang merampas logikanya payah," tegasnya.
Agus menegaskan, Pemkab Buleleng dibawah kepemimpinannya pada tahun 2012 telah diwariskan permasalahan status tanah HPL No. 1 Desa Pejarakan tahun 1976.
"Dimana hal tersebut telah menjadi salah satu temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam hal pengamanan dan pengelolaan aset daerah yang belum tertib sehingga selalu setiap tahunnya selalu menjadi salah satu catatan yang memengaruhi Opini Pemerintah Daerah
untuk mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian," jelasnya.
Atas dasar itu, Agus pun mengumpulkan data dan dokumen terkait sejarah serta bukti kepemilikan Pemkab atas Tanah HPL No 1 Desa Pejarakan. Alhasil, ditemukan beberapa dokumen penting terkait tanah HPL No 1 Desa Pejarakan.
"Berupa copy salinan Sertifikat HPL No 1 Desa Pejarakan tahun 1976 atas nama Pemkab Buleleng, serta beberapa dokumen tambahan berupa Putusan Hukum yang telah berkekuatan hukum tetap untuk menguatkan posisi kepemilikan aset tanah dimaksud oleh Pemkab Buleleng," jelasnya.
Menurut Agus, saat ini Pemkab Buleleng telah memiliki Sertifikat Asli atas tanah HPL No 1 Desa Pejarakan yang dikeluarkan oleh kantor Pertanahan Kabupaten Buleleng.
Sehari sebelumnya, Minggu (19/12/2022, mereka berangkat dari Buleleng dengan menggunakan bus dan tiba di Jakarta pada Senin (20/12/2022). Setibanya di Jakarta, mereka langsung melakukan aksi damai di Patung Kuda, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Mereka membentang spanduk bertuliskan "Pak Jokowi, tolong tanah kami 55 KK dirampas". Spanduk lain bertuliskan "Pak Jokowi kami punya sertifikat hak milik dan bayar pajak sampai sekarang tapi dirampas".
Nyoman Tirtawan, perwakilan warga mengatakan, pihaknya datang ke Jakarta untuk bertemu langsung kepada Presiden Jokowi. "Untuk melaporkan langsung kronologi kasus perampasan tanah kami yang sudah dilaporkan ke Polres Buleleng dengan terlapor Putu Agus Suradnyana, Bupati Buleleng periode 2017-2022," ujar Nyoman.
Karena perjuangan untuk bertemu Presiden Jokowi tak kesampaian, mereka pun terpaksa menginap semalam. Pada Selasa (21/12/2022) pagi, Nyoman langsung ke Kementerian Sekretaris Negara (Sekneg) membawa surat pengaduan terkait tanah tersebut. "Kami antar surat ke sana dan diterima," tegasnya.
Menurut Nyoman, surat tersebut langsung diproses di Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan, terdaftar dengan nomor 22CI-QYY2TU Kementerian Sekneg.
"Tapi lucunya kami kirim surat kepada Bapak Jokowi pada Juli 2022 lalu, tapi baru dijawab saat kami bawa surat kemarin. Selama ini kami tak ada informasi apa pun dan baru dikasih tahu kekurangan surat itu," tegasnya.
Nyoman membeberkan, sejak tahun 1952, warga Dusun Batu Ampar menerabas hutan belantara untuk bercocok tanam dan bermukim di atas tanah tersebut.Warga diberikan surat kepemilikan tanah pada tahun 1959 sebagai bukti legalitas oleh pemerintah.
Namun pada tahun 1976, lanjutnya, lantaran pemerintah membutuhkan kapur sebagai bahan bangunan, maka diterbitkan sertifikat hak pengelolaan lahan (HPL) kepada Perusahaan Daerah Swatantra seluas 45 hektar di atas tanah pemukiman warga Dusun Batu Ampar itu.
"Di dalam sertifikat HPL tertulis kalimat 'amanya hak berlaku sepanjang tanah yang dimaksud dipergunakan untuk proyek pengapuran'," bebernya.
Secara de facto kata Nyoman, proyek pengapuran berakhir tahun 1980-an. Kemudian Bupati Buleleng dan Kepala Kantor Agraria Buleleng bersurat kepada Menteri Dalam Negeri pada tahun 1982.
Hal tersebut dilakukan agar tanah yang terbit di atas sertifikat milik warga didistribusikan kepada 55 warga atas nama Raman dan kawan-kawan.
"Atas dasar itulah Menteri Dalam Negeri kemudian memutuskan dan menetapkan pendistribusian tanah tersebut kepada Raman dan kawan-kawan bersama 55 warga untuk dijadikan Hak Milk karena telah memenuhi syarat," tegasnya.
Dikatakan Nyoman, dari 55 warga yang diberikan SK Mendagri tahun 1982, baru 4 warga yang diproses penerbitan sertifikatnya yaitu Ketut Salin, Marwiyah, Pan Deresna dan Adna. Sedangkan sisanya berjumlah 51 warga ditolak proses penerbitan sertifikatnya tanpa alasan yang jelas atau diperlakukan secara diskriminatif."Tahun 1990 warga diusir oleh oknum aparat dari tanah mereka tanpa diberikan uang sepeserpun," katanya.
Kawasan Pariwisata
Lanjut Nyoman, rencananya di atas tanah tersebut dibangun kawasan pariwisata oleh PT. Prapat Agung Permai. Sayangnya, tanah tersebut dijadikan agunan kredit di BAPINDO dan tanah milik warga ditelantarkan.
"Karena warga masih memiliki bukti hak milik, maka mereka secara bersama kembali menggarap tanah warisan leluhur tersebut sekitar tahun 1998 untuk bercocok tanam guna melangsungkan hidup," bebernya.
Namun kata Nyoman, sekitar tahun 2015 Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana mencatatkan tanah milk warga tersebut sebagai aset Pemkab Buleleng tanpa dokumen, tanpa asal-usul dan tanpa nilai alias nol rupiah.
Nyoman menuturkan, langkah Agus Suradnyana yang melanggar SIMAK-BMN (sistem informasi manajemen dan akuntansi barang milik negara) tersebut, BPK menyatakan langkah tersebut sebagai temuan pada tahun 2019.
Nyoman juga mempertanyakan alasan terbit HPL di atas banyak hak milik atau Sertifikat Hak Milik (SHM). "Kenapa pemkab Buleleng menagih pajak bumi dan bangunan kepada 55 pemilik lahan yang katanya ada HPL? Dari dulu sampai tahun 2022, 55 warga Batu Ampar bayar pajak yang artinya ada kewajiban atas tanah. Pastinya ada hak atas tanah terkait," tegasnya.
Atas hal itu, Nyoman pun mengambil langkah hukum dengan melaporkanAgus ke Polres Buleleng pada 5 April 2022. Laporan tersebut tercatat dengan LP/B/56/IV/2022/SPKT/Polres Buleleng/Polda Bali Tanggal 5 April 2022. Dalam laporan tersebut, Nyoman menduga Agus telah merampas tanah warga. Sayangnya, proses hukum tidak berjalan.
Pasca laporan tersebut, kata Nyoman, penyidik Polres Buleleng datang bersama 8 anggotanya. Saat itu, penyidik memanggil para pemilik tanah melalui aparat Desa Pejarakan pada tanggal 27 Mei 2022. Pemanggilan tersebut tanpa memberikan surat panggilan atau pemberitahuan sebelumnya.
"Para warga diperiksa dan mereka jelas panik serta menghubungi saya mengaku takut. Mereka trauma dan ketakutan karena pada tahun 1990 salah satu temannya ditodong pistol oleh oknum aparat (korban Made Lastya) dan bahkan ada yang sampai stress dan mati gantung diri (korban Pan Dayuh)," tambahnya.
Terkait laporan dugaan perampasan tersebut, Kapolres Buleleng AKBP I Made Dhanuardana mengatakan, pihaknya telah memeriksa terlapor dan beberapa pihak lainnya yang terkait dengan substansi perkara tersebut. "Pada tanggal 14 Juni 2022 dia (terlapor Agus-red) diperiksa," ujarnya saat dihubungi, Kamis (22/12/2022).
Kata Made, pihaknya tak hanya memeriksa Agus melainkan sejumlah pihak dari instansi Pemkab Buleleng. "Ini kan instansi bersama dari aset daerah. Karena ini kan laporannya tentang perampasan hak. Dari BPN (Badan Pertanahan Nasional) (Buleleng-red)," tambahnya.
"Cuman sekarang dari saksi yang diajukan ada beberapa belum diambil keterangan, dari pelapor. Tetapi dalam hal ini kami tetap melakukan penyelidikan," tambanya.
Sementara Agus sendiri menanggapi secara santai laporan Nyoman tersebut. Agus pun meminta supaya tidak menanyakan kepadanya terkait laporan yang menudingnya merampas tanah rakyat. "Nanyanya ke Polres dong," tegasnya saat dihubungi, Kamis (22/12/2022).
Namun Agus memilih menyerahkan kasus yang menimpanya saat ini kepada Tuhan. Agus meyakini Tuhan akan menyadarkan orang-orang yang dianggapnya jahat. "Aduh maaf, saya justru yang bantu nyelamatin aset Pemkab (Buleleng-red). Yang dibilang merampas logikanya payah," tegasnya.
Agus menegaskan, Pemkab Buleleng dibawah kepemimpinannya pada tahun 2012 telah diwariskan permasalahan status tanah HPL No. 1 Desa Pejarakan tahun 1976.
"Dimana hal tersebut telah menjadi salah satu temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam hal pengamanan dan pengelolaan aset daerah yang belum tertib sehingga selalu setiap tahunnya selalu menjadi salah satu catatan yang memengaruhi Opini Pemerintah Daerah
untuk mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian," jelasnya.
Atas dasar itu, Agus pun mengumpulkan data dan dokumen terkait sejarah serta bukti kepemilikan Pemkab atas Tanah HPL No 1 Desa Pejarakan. Alhasil, ditemukan beberapa dokumen penting terkait tanah HPL No 1 Desa Pejarakan.
"Berupa copy salinan Sertifikat HPL No 1 Desa Pejarakan tahun 1976 atas nama Pemkab Buleleng, serta beberapa dokumen tambahan berupa Putusan Hukum yang telah berkekuatan hukum tetap untuk menguatkan posisi kepemilikan aset tanah dimaksud oleh Pemkab Buleleng," jelasnya.
Menurut Agus, saat ini Pemkab Buleleng telah memiliki Sertifikat Asli atas tanah HPL No 1 Desa Pejarakan yang dikeluarkan oleh kantor Pertanahan Kabupaten Buleleng.
(don)