Praktik Hukum Kerajaan Majapahit, Koruptor dan Penebang Pohon Dihukum Berat

Sabtu, 17 Desember 2022 - 05:00 WIB
loading...
A A A
Berikutnya, barang siapa sengaja merampas kerbau atau sapi orang lain dikenakan denda dua laksa. Barang siapa merampas harta orang lain didenda dua laksa pula. Denda itu diputuskan raja yang berkuasa.

Selanjutnya sebagaimana tercantum pada Pasal 87, pendapatan dari kerbau, sapi, dan segalanya yang dirampas terutama harta akan dikembalikan kepada pemiliknya dua kali lipat.

Terakhir aturan di Pasal 92 disebutkan jika seseorang menebang pohon orang lain tanpa izin pemiliknya dikenakan denda empat tali oleh raja yang berkuasa. Jika hal itu terjadi pada waktu malam, dikenakan pidana mati oleh raja yang berkuasa dan pohon yang ditebang dikembalikan dua kali lipat.

Korupsi di Indonesia
Secara sederhana, korupsi dapat dipahami sebagai tindakan “perampokan” terhadap uang negara, yang tentu saja bersumber dari rakyat. Kata korupsi sendiri berasal dari bahasa latin, yakni “corruptio” (diambil dari kata kerja corrumpere), yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok.

Menurut Wikipedia Indonesia, korupsi merupakan tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu, yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak[2].

Indonesia sendiri sejak zaman pemerintahan orde lama Soekarno hingga orde reformasi saat ini, telah menerbitkan beragam peraturan perundang-undangan dalam upaya pemberantasan korupsi. Mulai dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hingga Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan “United Nations Convention Against Corruption, 2003.

Namun pertanyaan mendasar selama ini yang mengemuka adalah, apakah dengan peraturan yang telah ada, telah cukup untuk memberantas praktik korupsi di negara ini? Ataukah terdapat permasalah lain yang perlu dijadikan fokus dalam upaya pemberantasan korupsi?. Tulisan ini mencoba untuk memberikan perspektif yang berbeda, terutama memberikan alternatif analisis terhadap pandangan yang selama ini hanya meletakkan persoalan moralitas sebagai akar utama munculnya korupsi dalam kehidupan kita.

Persoalan utama dari korupsi, adalah moralitas individu bangsa kita. Demikian maxim (ujar-ujar) yang sering kita dengarkan dimana-mana. Ungkapan tersebut terasa sangat keliru, meski terdapat kebenaran yang terkandung di dalamnya. Masyarakat tidak boleh serta merta melihat segi moral sebagai aspek tunggal dari praktek korupsi di Indonesia.

Moralitas seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan dan pergaulan sosialnya. Tinggi rendahnya moralitas yang terbangun dalam diri seseorang, tergantung seberapa besar dia menyerap nilai (pervade value) yang diproduksi oleh lingkungannya.

Selama 32 tahun orde baru berkuasa, moralitas masyarakat direduksi oleh kepentingan politik dominan ketika itu. Negara melalui pemerintah telah secara sengaja membangun stigma dan perilaku yang menyimpang (abuse of power), dengan melegalkan praktek korupsi dikalangan pejabat-pejabat pemerintahan.(diolah dari berbagai sumber)
Halaman :
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1552 seconds (0.1#10.140)