Praktik Hukum Kerajaan Majapahit, Koruptor dan Penebang Pohon Dihukum Berat
loading...
A
A
A
KERAJAAN Majapahit memiliki hukum yang ketat dalam hal kehidupan sehari-hari. Orang-orang yang korupsi dengan cara mengurangi penghasilan makanan, mempersempit sawah hingga membiarkannya sengaja terbengkalai padahal sudah dikuasakan untuk mengolah bakal dikenakan hukuman mati.
Hukum itu diatur dalam bab tanah pada tiga pasal yakni Pasal 258, 259, dan 261. Hal ini pula dijabarkan oleh Mpu Prapanca dalam kitab Nagarakertagama, sebagaimana dikutip dari buku "Tafsir Sejarah Nagarakertagama" karangan Prof. Slamet Muljana.
Disebutkan pada Kakawin Nagarakertagama, jika ada seseorang yang memperbaiki pekarangan, kebun, taman, selokan, ladang, telaga, bendungan, hingga kolam ikan, yang bukan miliknya tanpa disuruh oleh pemilik aslinya.
Orang itu tidak berhak minta upah kepada si pemilik. Namun jika ia mendapat keuntungan perbaikan itu, pemiliknya berhak menuntut, jangan dibiarkan. Malah ia dikenakan denda dua laksa oleh raja yang berkuasa.
Baca juga: 4 Tokoh Kerajaan Majapahit yang Terkenal, Nomor 3 Pernah Pukul Mundur Pasukan Mongol
Barang siapa meminta izin untuk menggarap sawah, namun tidak dikerjakannya sehingga sawah itu terbengkalai, supaya dituntut untuk membayar utang makan, sebesar hasil padi yang dapat dipungut dari sawah yang akan dikerjakannya itu. Besar dendanya ditetapkan oleh raja yang berkuasa sama dengan denda pengerusak makanan.
Selain itu siapapun orangnya yang mengurangi penghasilan makanan atau mengkorupsi misalnya dengan mempersempit sawah atau membiarkannya terbengkalai segala apa yang dapat menghasilkan makanan atau melalaikan binatang piaraan apapun, lantas diketahui oleh orang banyak. Orang itu disebut bisa diperlakukan sebagai pencuri dan dikenakan pidana mati, sebagaimana dicantumkan pada Pasal 261.
Perampasan atau mengambil harta benda milik orang lain tanpa hak juga jadi perhatian hukum di Kerajaan Majapahit. Hukum ini diatur pada bab sahasa atau paksaan sebagaimana diatur pada Pasal 86, 87, dan 92.
Disebutkan jika seseorang mengambil milik orang tanpa hak, maka barang yang diambil secara haram itu akan hilang dalam waktu enam bulan. Jika belum hilang dalam waktu enam bulan diperingatkan, bahwa barang itu akan hilang dalam waktu enam tahun.
Segala modal milik orang yang mengambil barang tanpa hak ini akan turut hilang. Tercantum pada tafsir Negarakertagama ajaran sastra, jangan sekali-kali mengambil uang secara haram sebagaimana diatur pada Pasal 86. Tetapi di sini tidak disebutkan detail hilangnya itu apakah disita negara dalam hal ini pemerintahan Majapahit atau kutukan dicuri orang kembali.
Berikutnya, barang siapa sengaja merampas kerbau atau sapi orang lain dikenakan denda dua laksa. Barang siapa merampas harta orang lain didenda dua laksa pula. Denda itu diputuskan raja yang berkuasa.
Selanjutnya sebagaimana tercantum pada Pasal 87, pendapatan dari kerbau, sapi, dan segalanya yang dirampas terutama harta akan dikembalikan kepada pemiliknya dua kali lipat.
Terakhir aturan di Pasal 92 disebutkan jika seseorang menebang pohon orang lain tanpa izin pemiliknya dikenakan denda empat tali oleh raja yang berkuasa. Jika hal itu terjadi pada waktu malam, dikenakan pidana mati oleh raja yang berkuasa dan pohon yang ditebang dikembalikan dua kali lipat.
Korupsi di Indonesia
Secara sederhana, korupsi dapat dipahami sebagai tindakan “perampokan” terhadap uang negara, yang tentu saja bersumber dari rakyat. Kata korupsi sendiri berasal dari bahasa latin, yakni “corruptio” (diambil dari kata kerja corrumpere), yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok.
Menurut Wikipedia Indonesia, korupsi merupakan tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu, yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak[2].
Indonesia sendiri sejak zaman pemerintahan orde lama Soekarno hingga orde reformasi saat ini, telah menerbitkan beragam peraturan perundang-undangan dalam upaya pemberantasan korupsi. Mulai dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hingga Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan “United Nations Convention Against Corruption, 2003.
Namun pertanyaan mendasar selama ini yang mengemuka adalah, apakah dengan peraturan yang telah ada, telah cukup untuk memberantas praktik korupsi di negara ini? Ataukah terdapat permasalah lain yang perlu dijadikan fokus dalam upaya pemberantasan korupsi?. Tulisan ini mencoba untuk memberikan perspektif yang berbeda, terutama memberikan alternatif analisis terhadap pandangan yang selama ini hanya meletakkan persoalan moralitas sebagai akar utama munculnya korupsi dalam kehidupan kita.
Persoalan utama dari korupsi, adalah moralitas individu bangsa kita. Demikian maxim (ujar-ujar) yang sering kita dengarkan dimana-mana. Ungkapan tersebut terasa sangat keliru, meski terdapat kebenaran yang terkandung di dalamnya. Masyarakat tidak boleh serta merta melihat segi moral sebagai aspek tunggal dari praktek korupsi di Indonesia.
Moralitas seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan dan pergaulan sosialnya. Tinggi rendahnya moralitas yang terbangun dalam diri seseorang, tergantung seberapa besar dia menyerap nilai (pervade value) yang diproduksi oleh lingkungannya.
Selama 32 tahun orde baru berkuasa, moralitas masyarakat direduksi oleh kepentingan politik dominan ketika itu. Negara melalui pemerintah telah secara sengaja membangun stigma dan perilaku yang menyimpang (abuse of power), dengan melegalkan praktek korupsi dikalangan pejabat-pejabat pemerintahan.(diolah dari berbagai sumber)
Hukum itu diatur dalam bab tanah pada tiga pasal yakni Pasal 258, 259, dan 261. Hal ini pula dijabarkan oleh Mpu Prapanca dalam kitab Nagarakertagama, sebagaimana dikutip dari buku "Tafsir Sejarah Nagarakertagama" karangan Prof. Slamet Muljana.
Disebutkan pada Kakawin Nagarakertagama, jika ada seseorang yang memperbaiki pekarangan, kebun, taman, selokan, ladang, telaga, bendungan, hingga kolam ikan, yang bukan miliknya tanpa disuruh oleh pemilik aslinya.
Orang itu tidak berhak minta upah kepada si pemilik. Namun jika ia mendapat keuntungan perbaikan itu, pemiliknya berhak menuntut, jangan dibiarkan. Malah ia dikenakan denda dua laksa oleh raja yang berkuasa.
Baca juga: 4 Tokoh Kerajaan Majapahit yang Terkenal, Nomor 3 Pernah Pukul Mundur Pasukan Mongol
Barang siapa meminta izin untuk menggarap sawah, namun tidak dikerjakannya sehingga sawah itu terbengkalai, supaya dituntut untuk membayar utang makan, sebesar hasil padi yang dapat dipungut dari sawah yang akan dikerjakannya itu. Besar dendanya ditetapkan oleh raja yang berkuasa sama dengan denda pengerusak makanan.
Selain itu siapapun orangnya yang mengurangi penghasilan makanan atau mengkorupsi misalnya dengan mempersempit sawah atau membiarkannya terbengkalai segala apa yang dapat menghasilkan makanan atau melalaikan binatang piaraan apapun, lantas diketahui oleh orang banyak. Orang itu disebut bisa diperlakukan sebagai pencuri dan dikenakan pidana mati, sebagaimana dicantumkan pada Pasal 261.
Perampasan atau mengambil harta benda milik orang lain tanpa hak juga jadi perhatian hukum di Kerajaan Majapahit. Hukum ini diatur pada bab sahasa atau paksaan sebagaimana diatur pada Pasal 86, 87, dan 92.
Disebutkan jika seseorang mengambil milik orang tanpa hak, maka barang yang diambil secara haram itu akan hilang dalam waktu enam bulan. Jika belum hilang dalam waktu enam bulan diperingatkan, bahwa barang itu akan hilang dalam waktu enam tahun.
Segala modal milik orang yang mengambil barang tanpa hak ini akan turut hilang. Tercantum pada tafsir Negarakertagama ajaran sastra, jangan sekali-kali mengambil uang secara haram sebagaimana diatur pada Pasal 86. Tetapi di sini tidak disebutkan detail hilangnya itu apakah disita negara dalam hal ini pemerintahan Majapahit atau kutukan dicuri orang kembali.
Berikutnya, barang siapa sengaja merampas kerbau atau sapi orang lain dikenakan denda dua laksa. Barang siapa merampas harta orang lain didenda dua laksa pula. Denda itu diputuskan raja yang berkuasa.
Selanjutnya sebagaimana tercantum pada Pasal 87, pendapatan dari kerbau, sapi, dan segalanya yang dirampas terutama harta akan dikembalikan kepada pemiliknya dua kali lipat.
Terakhir aturan di Pasal 92 disebutkan jika seseorang menebang pohon orang lain tanpa izin pemiliknya dikenakan denda empat tali oleh raja yang berkuasa. Jika hal itu terjadi pada waktu malam, dikenakan pidana mati oleh raja yang berkuasa dan pohon yang ditebang dikembalikan dua kali lipat.
Korupsi di Indonesia
Secara sederhana, korupsi dapat dipahami sebagai tindakan “perampokan” terhadap uang negara, yang tentu saja bersumber dari rakyat. Kata korupsi sendiri berasal dari bahasa latin, yakni “corruptio” (diambil dari kata kerja corrumpere), yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok.
Menurut Wikipedia Indonesia, korupsi merupakan tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu, yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak[2].
Indonesia sendiri sejak zaman pemerintahan orde lama Soekarno hingga orde reformasi saat ini, telah menerbitkan beragam peraturan perundang-undangan dalam upaya pemberantasan korupsi. Mulai dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hingga Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan “United Nations Convention Against Corruption, 2003.
Namun pertanyaan mendasar selama ini yang mengemuka adalah, apakah dengan peraturan yang telah ada, telah cukup untuk memberantas praktik korupsi di negara ini? Ataukah terdapat permasalah lain yang perlu dijadikan fokus dalam upaya pemberantasan korupsi?. Tulisan ini mencoba untuk memberikan perspektif yang berbeda, terutama memberikan alternatif analisis terhadap pandangan yang selama ini hanya meletakkan persoalan moralitas sebagai akar utama munculnya korupsi dalam kehidupan kita.
Persoalan utama dari korupsi, adalah moralitas individu bangsa kita. Demikian maxim (ujar-ujar) yang sering kita dengarkan dimana-mana. Ungkapan tersebut terasa sangat keliru, meski terdapat kebenaran yang terkandung di dalamnya. Masyarakat tidak boleh serta merta melihat segi moral sebagai aspek tunggal dari praktek korupsi di Indonesia.
Moralitas seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan dan pergaulan sosialnya. Tinggi rendahnya moralitas yang terbangun dalam diri seseorang, tergantung seberapa besar dia menyerap nilai (pervade value) yang diproduksi oleh lingkungannya.
Selama 32 tahun orde baru berkuasa, moralitas masyarakat direduksi oleh kepentingan politik dominan ketika itu. Negara melalui pemerintah telah secara sengaja membangun stigma dan perilaku yang menyimpang (abuse of power), dengan melegalkan praktek korupsi dikalangan pejabat-pejabat pemerintahan.(diolah dari berbagai sumber)
(msd)