Nestapa Korban Luka Tragedi Kanjuruhan: Hilang Ingatan dan Trauma Berat
loading...
A
A
A
MALANG - Selama 43 hari pasca tragedi Kanjuruhan , Dian Puspita Putri Adriyanti (21) masih terlihat lemas dan ada perubahan drastis dari dirinya. Ia merupakan satu dari ratusan korban luka berat tragedi Kanjuruhan yang sempat menjalani perawatan di Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Malang.
Kondisinya secara fisik memang masih belum membaik, kaki kanannya masih terbalut gips karena patah tulang kering yang dideritanya. Sementara ingatannya juga masih belum sepenuhnya pulih, entah karena adanya cedera di kepala atau karena hal lain. Bahkan ketika diajak berkomunikasi acap kali tak sesuai.
"Untuk kepalanya katanya tidak ada cedera apapun, MRI-nya baik-baik gitu, hanya di kaki kanannya tulang kering yang patah itu," kata Etik Karyati Ngesti Rahayu, ditemui di rumahnya di Jalan Plaosan Timur Gang 7, Jumat malam (11/11/2022).
Baca juga: Pelaku Pembunuhan Dokter Muda Universitas Brawijaya Malang Divonis Seumur Hidup
Etik mengakui anaknya memang baru mengingat masa sekolahnya, padahal saat ini ia telah bekerja di sebuah pabrik liquid vape di daerah Kecamatan Karanglo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Tapi ia tak mengetahui penyebab hilang ingatan itu, sebab sosok anak pertama dari tiga bersaudara ini memang kerap tertutup.
"Saya nggak tahu ini karena memang anaknya yang nggak mau ngomong dan mengingatnya atau karena ada kendala. Tapi memang ingatan belum normal, ingatnya masih sekolah, padahal sudah bekerja, masih belum penuh ingatannya," paparnya.
Kondisi kakinya juga masih terbalut gips pasca operasi. Sang anak baru kontrol sekali di RSSA Malang dan kembali lagi kontrol pada 18 November 2022 ini. Rencananya bila hasil perawatan lukanya bagus gips itu akan dilepas enam pekan pasca operasi di rumah sakit milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur tersebut.
"Baru kontrol sekali, ini kembali tanggal 18 bulan ini, kontrol untuk kaki, yang kepalanya nggak apa-apa kata dokter, MRI-nya kata juga bagus. Lepas gips katanya enam minggu pasca operasi, kalau copot pen 6 - 7 bulan," tuturnya.
Perempuan berusia 40 tahun ini juga mengeluhkan anaknya yang menjadi korban tragedi Kanjuruhan masih kerap tidak bisa tidur. Sang anak masih terlihat trauma dan kerap kali tak nyambung jika diajak bicara. Etik masih ingat betul bagaimana ia melihat sang anak koma selama 10 hari di RSSA Malang dan berada di ruang ICU selama 14 hari.
Alhasil kondisi psikologis Etik pun juga terguncang, apalagi selama sebulan lebih merawat Etik, ia sendiri yang harus wira-wiri mengobati anaknya dikarenakan sang suami tengah bekerja di luar kota. Sayang sang ia dan anak sama sekali belum mendapat layanan konseling psikolog.
"Kelihatan masih trauma sekali anak saya, cuma dia nggak mau cerita mungkin karena takut membebani keluarganya. Sebenarnya saya juga trauma, tapi ya gimana lagi siapa yang mau ngobati anak saya, makanya saya nggak pernah dengar atau lihat berita itu (tragedi Kanjuruhan), masih takut," jelasnya.
"Psikolog sampai sekarang belum ada yang datang ke rumah, kemarin sempat dijanjikan dari polisi, dari dinas kesehatan, katanya besok, minggu depan, tapi sampai sekarang sejak keluar rumah sakit tanggal 23 Oktober itu nggak pernah datang ke rumah," imbuhnya.
Kini fokus Etik bagaimana sang anak bisa sembuh 100 persen. Bahkan ia rela harus wara-wiri ke sana kemari untuk mencari pengobatan bagi anaknya, dan kehilangan pendapatan jualan bubur ayam di depan rumahnya.
"Selama anak saya sakit ini nggak jualan, mau jualan juga repot ke sana ke sini, ngerawat anak. Ya mau gimana lagi, sekarang fokus ke anak dulu. Kalau dulu jualan bubur nerima online dan di sini," tukasnya
Lihat Juga: Demo Peringatan 2 Tahun Tragedi Kanjuruhan Memanas, Massa Bakar Ban Bekas di DPRD Malang
Kondisinya secara fisik memang masih belum membaik, kaki kanannya masih terbalut gips karena patah tulang kering yang dideritanya. Sementara ingatannya juga masih belum sepenuhnya pulih, entah karena adanya cedera di kepala atau karena hal lain. Bahkan ketika diajak berkomunikasi acap kali tak sesuai.
"Untuk kepalanya katanya tidak ada cedera apapun, MRI-nya baik-baik gitu, hanya di kaki kanannya tulang kering yang patah itu," kata Etik Karyati Ngesti Rahayu, ditemui di rumahnya di Jalan Plaosan Timur Gang 7, Jumat malam (11/11/2022).
Baca juga: Pelaku Pembunuhan Dokter Muda Universitas Brawijaya Malang Divonis Seumur Hidup
Etik mengakui anaknya memang baru mengingat masa sekolahnya, padahal saat ini ia telah bekerja di sebuah pabrik liquid vape di daerah Kecamatan Karanglo, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Tapi ia tak mengetahui penyebab hilang ingatan itu, sebab sosok anak pertama dari tiga bersaudara ini memang kerap tertutup.
"Saya nggak tahu ini karena memang anaknya yang nggak mau ngomong dan mengingatnya atau karena ada kendala. Tapi memang ingatan belum normal, ingatnya masih sekolah, padahal sudah bekerja, masih belum penuh ingatannya," paparnya.
Kondisi kakinya juga masih terbalut gips pasca operasi. Sang anak baru kontrol sekali di RSSA Malang dan kembali lagi kontrol pada 18 November 2022 ini. Rencananya bila hasil perawatan lukanya bagus gips itu akan dilepas enam pekan pasca operasi di rumah sakit milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur tersebut.
"Baru kontrol sekali, ini kembali tanggal 18 bulan ini, kontrol untuk kaki, yang kepalanya nggak apa-apa kata dokter, MRI-nya kata juga bagus. Lepas gips katanya enam minggu pasca operasi, kalau copot pen 6 - 7 bulan," tuturnya.
Perempuan berusia 40 tahun ini juga mengeluhkan anaknya yang menjadi korban tragedi Kanjuruhan masih kerap tidak bisa tidur. Sang anak masih terlihat trauma dan kerap kali tak nyambung jika diajak bicara. Etik masih ingat betul bagaimana ia melihat sang anak koma selama 10 hari di RSSA Malang dan berada di ruang ICU selama 14 hari.
Alhasil kondisi psikologis Etik pun juga terguncang, apalagi selama sebulan lebih merawat Etik, ia sendiri yang harus wira-wiri mengobati anaknya dikarenakan sang suami tengah bekerja di luar kota. Sayang sang ia dan anak sama sekali belum mendapat layanan konseling psikolog.
"Kelihatan masih trauma sekali anak saya, cuma dia nggak mau cerita mungkin karena takut membebani keluarganya. Sebenarnya saya juga trauma, tapi ya gimana lagi siapa yang mau ngobati anak saya, makanya saya nggak pernah dengar atau lihat berita itu (tragedi Kanjuruhan), masih takut," jelasnya.
"Psikolog sampai sekarang belum ada yang datang ke rumah, kemarin sempat dijanjikan dari polisi, dari dinas kesehatan, katanya besok, minggu depan, tapi sampai sekarang sejak keluar rumah sakit tanggal 23 Oktober itu nggak pernah datang ke rumah," imbuhnya.
Kini fokus Etik bagaimana sang anak bisa sembuh 100 persen. Bahkan ia rela harus wara-wiri ke sana kemari untuk mencari pengobatan bagi anaknya, dan kehilangan pendapatan jualan bubur ayam di depan rumahnya.
"Selama anak saya sakit ini nggak jualan, mau jualan juga repot ke sana ke sini, ngerawat anak. Ya mau gimana lagi, sekarang fokus ke anak dulu. Kalau dulu jualan bubur nerima online dan di sini," tukasnya
Lihat Juga: Demo Peringatan 2 Tahun Tragedi Kanjuruhan Memanas, Massa Bakar Ban Bekas di DPRD Malang
(msd)