Kisah Engku Puteri Raja Hamidah, Penjaga Regalia Kerajaan Melayu
loading...
A
A
A
Setelah Belanda, dan Inggris kalah perang, ia baru tinggal di Pulau Penyengat setelah menikah dengan Sultan Mahmud. Engku Hamidah yang lahir pada tahun 1774 itu, merupakan pewaris Pulau Penyengat. Sebab, pulau ini menjadi emas kawin atau mahar yang diberikan Sultan Mahmud Riayat Syah III kepadanya pada tahun 1803.
Di tangan Engku Hamidah, pembangunan Pulau Penyengat semakin pesat dan maju setelah suaminya berhasil mengalahkan Belanda. Sementara Sultan Mahmud Riayat Syah meninggalkan Pulau Penyengat setelah berhasil mengalahkan Belanda.
Taktik Sultan Mahmud, yakni menggeser medan perang dari Pulau Penyengat ke Daik setelah mengetahui Belanda, akan menyerang kembali Kerajaan Riau-Lingga-Pahang. Sultan Mahmud pun berhasil mengalahkan Belanda saat perang di Perairan Daik.
Abdul Malik berpendapat, Engku Hamidah merupakan tokoh pluralisme. Melalui perjuangannya, dia berhasil menyatukan warga dari berbagai etnis seperti Melayu, Bugis, Tiongkok dan Minangkabau.
Strategi menyatukan warga dengan memberi ruang kepada mereka untuk beraktivitas baik dalam aspek sosial, ekonomi, budaya dan agama. Pernikahan Tan Tek Seng, pemimpin Kapitan Tionghoa pada saat itu, merupakan cerminan kehidupan pluralisme di Kerajaan Riau-Lingga-Pahang.
Tan Tek Seng beserta mempelainya menggunakan adat China saat menikah di Tanjungpinang, kemudian memakai pakaian adat melayu saat menggelar pesta di Pulau Penyengat.
Sejarawan lainnya, Raja Malik, yang masih keturunan Kerajaan Riau-Lingga-Pahang berpendapat Engku Hamidah layak menyandang tokoh emansipasi perempuan. Perempuan di kala itu tidak banyak yang mengambil peran seperti Engku Hamidah.
Peran Engku Hamidah di kerajaan seakan-akan melegitimasi bahwa perempuan melayu juga dapat berkontribusi di bidang politik, sosial, budaya pertahanan dan keamanan. Perempuan melayu tidak pasif, melainkan berani bersikap dan mengambil keputusan, meski berhadapan dengan risiko yang berat.
Di tangan Engku Hamidah, pembangunan Pulau Penyengat semakin pesat dan maju setelah suaminya berhasil mengalahkan Belanda. Sementara Sultan Mahmud Riayat Syah meninggalkan Pulau Penyengat setelah berhasil mengalahkan Belanda.
Taktik Sultan Mahmud, yakni menggeser medan perang dari Pulau Penyengat ke Daik setelah mengetahui Belanda, akan menyerang kembali Kerajaan Riau-Lingga-Pahang. Sultan Mahmud pun berhasil mengalahkan Belanda saat perang di Perairan Daik.
Abdul Malik berpendapat, Engku Hamidah merupakan tokoh pluralisme. Melalui perjuangannya, dia berhasil menyatukan warga dari berbagai etnis seperti Melayu, Bugis, Tiongkok dan Minangkabau.
Strategi menyatukan warga dengan memberi ruang kepada mereka untuk beraktivitas baik dalam aspek sosial, ekonomi, budaya dan agama. Pernikahan Tan Tek Seng, pemimpin Kapitan Tionghoa pada saat itu, merupakan cerminan kehidupan pluralisme di Kerajaan Riau-Lingga-Pahang.
Tan Tek Seng beserta mempelainya menggunakan adat China saat menikah di Tanjungpinang, kemudian memakai pakaian adat melayu saat menggelar pesta di Pulau Penyengat.
Sejarawan lainnya, Raja Malik, yang masih keturunan Kerajaan Riau-Lingga-Pahang berpendapat Engku Hamidah layak menyandang tokoh emansipasi perempuan. Perempuan di kala itu tidak banyak yang mengambil peran seperti Engku Hamidah.
Peran Engku Hamidah di kerajaan seakan-akan melegitimasi bahwa perempuan melayu juga dapat berkontribusi di bidang politik, sosial, budaya pertahanan dan keamanan. Perempuan melayu tidak pasif, melainkan berani bersikap dan mengambil keputusan, meski berhadapan dengan risiko yang berat.