Kisah Pangeran Diponegoro Perangi Belanda demi Kembalikan Hukum Islam

Jum'at, 14 Oktober 2022 - 08:02 WIB
loading...
Kisah Pangeran Diponegoro...
Pangeran Diponegoro menyebut perangi melawan Belanda adalah jihad karena demi mengembalikan hukum Islam. Foto: Dok/SINDOnews
A A A
GUBERNUR Hindia Belanda, Thomas Stamford Bingley Raffles membubarkan kekuatan militer Keraton Jogjakarta, hal itu sebagai upaya pelemahan keraton karena dianggap membahayakan stabilitas keamanan daerah.

Hal itu tertuang dalam salah satu isi perjanjian yang dibuat pada 1 Agustus 1812. Dikisahkan Peter Carey dalam bukunya yang berjudul "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1854". Perjanjian yang dibuat dengan inggris membuat Keraton Jogjakarta, harus membubarkan pasukan militernya yang berkekuatan 8.000-9.000 personel.

Setelah bala tentara itu dibubarkan, pada Agustus 1812 Raffles mencoba mengirim bekas pasukan militer tersebut ke Kalimantan Timur, untuk bekerja di perkebunan-perkebunan milik Alexander Hare. Tetapi kebanyakan dari para mantan anggota militer Keraton Jogjakarta ini menolak, dan memilih tetap tinggal di ibu kota kesultanan.

Pemberlakuan perjanjian yang memberatkan penduduk lokal kian membuat terjepit. Pada perjanjian di pasal delapan disebutkan semua orang asing dan orang Jawa yang lahir di luar wilayah kerajaan, akan diperlakukan menurut hukum pemerintah kolonial.



Pihak penguasa keraton Jawa tidak puas dengan pembatasan-pembatasan pada wilayah kewenangan hukum mereka. Petani Jawa harus berjuang melawan suatu sistem hukum lain yang asing.

Sebenarnya klausul ini dirancang untuk maksud baik, yakni melindungi etnis Tionghoa. Namun ternyata membuahkan banyak masalah. Setelah Februari 1814, ketika pengadilan residen dibentuk, semua proses pengadilan atau ligitasi yang melibatkan orang Tionghoa, warga asing, kaum pendatang, dan orang-orang lain yang lahir di luar teritorial keraton Jawa selatan-tengah diadili di bawah hukum pemerintah Eropa.

Tak ketinggalan komunitas-komunitas agama, menyesalkan bahwa pengadilan agama atau surambi tidak lagi menjadi satu-satunya lembaga pengadilan untuk menyelesaikan kasus-kasus kriminal.

Pangeran Diponegoro dengan pengetahuan hukum Islam Jawa yang kuat, menyebut penguasaan bangsa Eropa di Jawa menjadikan kemalangan besar bagi orang Jawa, sebab rakyat dijauhkan dari hukum ilahi yang disampaikan oleh nabi, dan dipaksa tunduk pada hukum Eropa.

Kekecewaan Pangeran Diponegoro kian besar setelah tak diperkenankan menegakkan hukum pidana menurut Al-Qur'an, keyakinan yang dianutnya. Apalagi banyak hukum-hukum Eropa yang diterapkan justru bertentangan dengan landasan hukum agama Islam dan hukum Jawa, yang sebelumnya diterapkan.

Baca juga: Taktik Perang Pangeran Diponegoro yang Ditakuti Belanda, Kerahkan Perampok dan Bandit Desa


Kewenangan hukum Islam Jawa dalam menangani kasus-kasus pidana, menjadi tema penting selama Perang Jawa. Tuntutan-tuntutan Diponegoro yang dilayangkan semasa perang untuk diakui sebagai pengatur agama, dengan kompetensi khusus atas isu-isu pidana mendapat sambutan luas.

Di awal Perang Jawa, Diponegoro berupaya untuk menghancurkan total sekalian Keraton Jogjakarta dan membangun keraton baru, yang belum tercemar di tempat lain. Kerinduan akan datangnya regenerasi moral di bawah panji-panji Islam, dan restorasi martabat kesultanan akan menjadi tema-tema penting di tahun-tahun menjelang Perang Jawa, dan menjelaskan kenapa begitu banyak warga Keraton Jogjakarta, akhirnya berpihak ke Pangeran Diponegoro pada tahun 1825.

Penyerangan di Tegalrejo memulai perang Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun. Diponegoro memimpin masyarakat Jawa, dari kalangan petani hingga golongan priyayi yang menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang, dengan semangat "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati"; "sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati".

Sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Bahkan Diponegoro juga berhasil memobilisasi para bandit profesional yang sebelumnya ditakuti oleh penduduk pedesaan, meskipun hal ini menjadi kontroversi tersendiri.

Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubuwana VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.


Bagi Diponegoro dan para pengikutinya, perang ini merupakan perang jihad melawan Belanda dan orang Jawa murtad. Sebagai seorang muslim yang saleh, Diponegoro merasa tidak senang terhadap religiusitas yang kendur di istana Yogyakarta akibat pengaruh masuknya Belanda, disamping kebijakan-kebijakan pro-Belanda yang dikeluarkan istana. Infiltrasi pihak Belanda di istana telah membuat Keraton Yogyakarta seperti rumah bordil.

Dalam laporannya, Letnan Jean Nicolaas de Thierry menggambarkan Pangeran Diponegoro mengenakan busana bergaya Arab dan serban yang seluruhnya berwarna putih. Busana tersebut juga dikenakan oleh pasukan Diponegoro dan dianggap lebih penting dibandingkan busana adat Jawa meskipun perang telah berakhir.

Laporan Paulus Daniel Portier, seorang indo, menyebutkan bahwa para tawanan perang Belanda memperoleh ancaman nyawa jika tidak bersedia masuk Islam.

Sumber: SINDOnews/berbagai sumber
(nic)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2206 seconds (0.1#10.140)