Thomas Stamford Raffles dan Sejarah Berdirinya Singapura

Senin, 21 Maret 2016 - 05:05 WIB
Thomas Stamford Raffles...
Thomas Stamford Raffles dan Sejarah Berdirinya Singapura
A A A
THOMAS STAMFORD RAFFLES merupakan seorang pejabat kolonial Inggris, pendiri Singapura. Pria yang lahir pada 1781 ini memulai karirnya sebagai juru tulis di East India Company (EIC), London.

Ketekunan dan kecakapannya dalam bekerja membuat karirnya cepat menanjak. Pada 1805, dia dikirim ke Penang, Malaya, dan pada 1811, dipercaya memimpin ekspedisi Kerajaan Inggris ke Pulau Jawa.

Dia diangkat menjadi Letnan Gubernur Jenderal untuk wilayah Jawa dan Daerah Seberang mulai 1811 hingga 1816. Dalam menjalankan pemerintahannya, Raffles banyak membuat kebijakan kontroversial.

Salah satu kebijakannya yang sangat fenomenal adalah melakukan reformasi kepemilikan tanah dan meringankan sistem perpajakan rakyat. Keputusan Raffles yang radikal ini sangat merugikan EIC.

Raffles lupa, EIC sebagai perusahaan dagang serupa Kompeni dibentuk untuk menguruk keuntungan seluasnya dari koloni. Alhasil, Raffles dievaluasi dan diminta kembali ke Inggris, pada 1816.

Kepulangan Raffles ke Inggris ternyata tidak berlangsung lama. Dia berhasil menyakinkan petinggi EIC tentang kebenaran kebijakan politik yang diambilnya untuk Pulau Jawa dan Daerah Seberang.

Raffles bahkan mendapat gelar Sir di depan namanya sebagai penghargaan atas jerih payahnya dalam menulis History of Java, serta minatnya yang besar terhadap bahasa dan adat istiadat Indonesia.

Dua tahun kemudian, Raffles diminta kembali ke Hindia Belanda. Kali ini tujuannya bukan Jawa, melainkan Bengkulu. Dia tiba di Bengkulu pada Maret 1818, sebagai Gubernur Pos Dagang Britania.

Bengkulu merupakan koloni Inggris sejak abad ke-17, di bawah Perusahaan India Timur Inggris atau EIC. Di Bengkulu, Raffles membawa instruksi EIC agar tidak mencampuri politik dengan Belanda.

Bersama seorang rekannya ahli botanika Inggris Joseph Arnold, Raffles menemukan tanaman bunga raksasa yang dikenal dengan bungai bangkai. Tanaman ini kemudian diberi nama Rafflesia Arnoldi.

Kekayaan alam Bengkulu rupanya tidak terlalu menarik minat Raffles. Pada 1819, dia mengusulkan kepada Pemerintah Inggris untuk membeli daerah Singapura dari Sultan Johor sebagai pelabuhan.

Raffles sadar bahwa yang dibutuhkan Inggris di masa depan adalah kota pelabuhan dan pusat dagang di Timur jauh. Singapura dinilai sebagai daerah yang sangat cocok untuk dijadikan tempat itu.

Singapura diharapkan mampu menjadi pengganti Melaka yang sudah diserahkan Inggris kepada Belanda secara resmi pada 21 September 1818, sesuai Konvensi London 1814 dan Kesepakatan Wina 1815.

Seperti diungkap sebelumnya, tujuan didirikannya EIC adalah sama dengan Kongsi Dagang Belanda Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) yang bertujuan mengeruk seluruh kekayaan dari koloni.

Kedatangan bangsa Inggris ke Timur juga tidak jauh berbeda dengan kedatangan bangsa Portugis dan Belanda yang ingin menguasai pusat perdagangan rempah-rempah dunia yang berada di Selat Melaka.

Dari Penang, Inggris mengatur siasat untuk menyusun kekuatan perangnya menguasai Selat Melaka. Rencana Inggris terbantu dengan terjadinya Revolusi Prancis yang menyeret Belanda, pada 1779.

Saat Belanda diduduki Prancis, Raja Belanda Pangeran Willem V melarikan diri dan bersembunyi di Kota Kew, Inggris. Dari tempat persembunyiannya, Willem membuat perjanjian dengan Inggris.

Perjanjian itu berisi penyerahan kekuasaan pangkalan dagang Belanda yang ada di Asia, terutama Melaka, kepada Inggris. Maka pada 1795, Inggris menduduki Melaka dan pangkalan dagang Belanda.

Saat perang Eropa berakhir yang ditandai dengan perjanjian damai di Wina 1815, usai tumbangnya Napoleon, Prancis harus dikelilingi negara-negara kuat. Di antara negara kuat itu adalah Belanda.

Untuk mengembalikan kekuatan Belanda yang telah hancur oleh perang Eropa, maka negeri-negeri jajahan Belanda yang telah dikuasai Inggris di Timur Jauh, sejak 1975 harus segera dikembalikan.

Sementara itu, Kerajaan Inggris dan Belanda juga terikat oleh Konvensi London 1814 yang isinya menetapkan bahwa Inggris harus menyerahkan kembali semua pangkalan dagang itu kepada Belanda.

Pada akhir 1815 dan awal 1816, Inggris pun menyerahkan Pulau Jawa, Maluku, Melaka, dan Kepulauan Riau, Kemaharajaan Melayu yang berada di bawah pengaruh Inggris dari 1795-1815 kepada Belanda.

Meski demikian, Raffles tampak tidak rela menyerahkan begitu saja Melaka kepada Belanda. Pada 1818, Raffles mendapat kabar dalam Kerajaan Riau-Lingga sedang terjadi perselisihan takhta.

Inggris memakai kesempatan itu untuk campur tangan. Raffles menyusun siasatnya dengan melantik Tengku Husein menjadi Sultan Singapura, Johor, dan daerah taklukannya, pada 6 Februari 1819.

Sedangkan Tumenggung Abdul Rahman tetap menjadi Datuk Tumenggung. Namun perannya menjadi sebagai Dipertuan Muda atau orang kedua. Sejak itulah Kemaharajaan Melayu memiliki dua orang sultan.

Sultan Abdul rahman Muazam Syah I di Lingga, dan Sultan Husein Syah di Singapura. Melalui siasat itu, bendera Inggris Union Jack akhirnya bisa dikibarkan dan pembangunan Singapura dimulai.

Hanya dalam tempo lima bulan, sejak pulau itu dibangun Inggris, penduduk Singapura berkembang pesat menjadi 5.000 jiwa dari yang sebelumnya hanya 150 jiwa. Dan pada 1820 menjadi 10.000 jiwa.

Keberhasilan Raffles membangun Singapura, menimbulkan protes dari pihak Belanda yang menganggap Inggris telah melanggar Kesepakatan Damai Wina 1815 dan Konvensi London 1814 yang sebelumnya.

Menyikapi protes Belanda itu, Pemerintah Inggris di London dan India Timur tampak tutup mata melihat Kolonel William Farquhar sebagai Residen Kompeni Inggris terus melanjutkan pembangunan.

Setetalh berlangsung cukup lama dan berlarut-larut, akhirnya kedua bangsa bajak laut ini maju ke meja perundingan dan menghasilkan kesepakatan pada 17 Maret 1824 yang terkenal Traktat London.

Dalam Traktat London disebutkan Belanda mengakui Singapura sebagai milik Inggris, dan untuk mencegah kembali terjadinya konflik di masa depan, Inggris dan Belanda mengakui daerah khusus.

Daerah khusus yang dimaksud dipisahkan oleh Selat Melaka. Kawasan yang berada di sebelah barat dan selatan yang meliputi Riau dan sekitarnya dikuasai oleh Belanda. Begitupun sebaliknya.

Inggris menguasai wilayah di timur dan utara Selat Melaka dan Tanah Semenanjung. Kekuasaan Inggris ini sempat berpolemik, karena berbenturan dengan Perjanjian Wina dan Konvensi London.

Sebagai jalan keluar, maka Melaka dipertukarkan dengan Bengkulu yang pada masa itu dikuasai oleh Inggris. Akhirnya, Inggris menyerahkan Bengkulu dan Belanda memulangkan Melaka kepada Inggris.

Pada 2 Agustus 1824, ditandatangani penyerahan Singapura dan pulau-pulau disekitarnya antara Crawford dan Sultan Husein Syah, serta Tumenggegung Abdul Rahman sebagai hasil Traktat London.

Kepada Sultan Husein, Inggris memberikan dana kompensasi 33.200 ringgit dan 26.000 ringgit untuk Tumenggung Abdul Rahman. Inggris juga memberikan gaji tahunan kepada sultan dan tumenggung.

Enam tahun setelah dibangun, Singapura telah berkembang menjadi pelabuhan dan pusat perdagangan terbesar di Timjur Jauh dengan omzet sebesar 2.60.440 pound pertahun, melebihi Melaka.

Saat ini, Singapura telah menempati posisi empat besar pelabuhan teramai di dunia, mengalahkan Melaka. Sampai di sini ulasan Cerita Pagi tentang Thomas Stamford Raffles dan sejarah Singapura. Semoga bermanfaat.

Sumber Tulisan
*Ahmad Dahlan, Sejarah Melayu, KPG, Cetakan Kedua, Juli 2015.
*Telly Sumbu, Merry E Kalalo, Engelien R Palandeng, Drs Johny Lumolos, Kamus Umum Politik dan Hukum, Jala, Cetakan Pertama, Januari 2002.
*Bernard H M Vlekke, Nusantara, Sejarah Indonesia, KPG bekerjasama dengan Freedom Institute, Cetakan Ketiga, Agustus 2008.
*MC Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press, Cetakan Kedelapan, Maret 2005.
*Drs S Suwardi, MA Effendi, Drs M Daud Kodir, Drs Amir Luthfi, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Riau, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Dokumentasi Sejarah Nasional, Cetakan II, 1984.
*Rusli Amran, Sumatra Barat hingga Plakat Panjang, Sinar Harapan, Cetakan Pertama, Jakarta 1981.
(san)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0823 seconds (0.1#10.140)