Taktik Perang Pangeran Diponegoro yang Ditakuti Belanda, Kerahkan Perampok dan Bandit Desa
loading...
A
A
A
SURABAYA - Pangeran Diponegoro dan pasukannya melakukan perlawanan sengit terhadap Belanda. Selain mengerahkan masyarakat dan petani, Diponegoro konon mengerahkan para perampok dan bandit profesional.
Dikisahkan dalam buku Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 tulisan Peter Carey, gaya berperang Diponegoro ini kerap kali memaksimalkan kekuatan lokal pedesaan.
Tugas utama mereka adalah mencegah kedatangan bala bantuan Belanda. Mereka diperintahkan untuk menebangi pohon-pohon dan ditaruh melintang di jalan, membakar jembatan-jembatan kayu, dan memblokade jalan dengan menggali lubang-lubang jebakan yang di dalamnya telah menunggu bambu-bambu runcing.
Sementara itu, Pangeran Diponegoro juga berusaha melumpuhkan jalur komunikasi Belanda dan memutuskan perbekalan musuh.
Di sisi lain, untuk mengamankan jalur komunikasi dan suplai jalur pasukannya, Pangeran Diponegoro menunjuk Mangkudiningrat I, putra pamannya yang ditunjuk sebagai kapten kapal penyeberangan di Kali Progo.
Para bandit profesional, yang konon dahulu sebelum perang ditakuti oleh warga desa, juga turut dihadirkan menambah kekuatan pasukan di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.
Para bandit ini ditugaskan mengamankan jalur-jalur komunikasi dan ikut ambil bagian dalam pasukan, sehingga hubungan Pangeran Diponegoro dengan elemen yang tidak bersih ini langsung menimbulkan kontroversi.
Konon pasukan Pangeran Diponegoro sangat mahir melakukan penghadangan dan penyergapan. Taktik yang pasukan Diponegoro gemari adalah bersembunyi di rerumputan tinggi di sisi jalan yang akan dilewati musuh.
Lalu, ketika musuh lewat langsung menembak dalam formasi setengah lingkaran, yakni prajurit yang bersembunyi dalam posisi tiarap menembakkan bedil mereka langsung ke arah musuh, yang disergap dari depan dan kedua sayap.
Tembok batu mengitari desa-desa yang dulunya dibangun mencegah gerombolan perampok yang berniat menjarah, sekarang dimanfaatkan dengan hasil sangat baik, seolah menjadi tempat berbenteng, seperti bekas Keraton Sunan Amangkurat I.
Menyusul keberhasilan aksi-aksi penghadangan itu, penduduk desa-desa yang berdekatan tertarik ikut bergabung dalam perang. Dengan menggunakan peralatan petani mereka mengganggu gerakan mundur pasukan gerak cepat Belanda, yang sering sudah terkepung.
Maka alasan pendirian benteng-benteng Belanda sebagian merupakan jawaban atas tantangan situasi ini.
Konon beberapa sumber dan catatan sejarah menyebutkan pasukan Pangeran Diponegoro dipersenjatai dengan senjata api, yang diperintahkan dibeli. Beberapa persenjataan dari Belanda, berhasil dirampas, termasuk meriam, juga dimanfaatkan.
Ini berarti teknik-teknik artileri Eropa yang dipelajari dengan seksama, saat mengepung Yogya seorang pangeran komandan tentara Diponegoro pernah mencatat, bahwa meriam Belanda itu selalu ditembakkan terlalu tinggi karena pasukan artilerinya menggunakan terlalu banyak bubuk mesiu.
Dikisahkan dalam buku Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 tulisan Peter Carey, gaya berperang Diponegoro ini kerap kali memaksimalkan kekuatan lokal pedesaan.
Tugas utama mereka adalah mencegah kedatangan bala bantuan Belanda. Mereka diperintahkan untuk menebangi pohon-pohon dan ditaruh melintang di jalan, membakar jembatan-jembatan kayu, dan memblokade jalan dengan menggali lubang-lubang jebakan yang di dalamnya telah menunggu bambu-bambu runcing.
Sementara itu, Pangeran Diponegoro juga berusaha melumpuhkan jalur komunikasi Belanda dan memutuskan perbekalan musuh.
Di sisi lain, untuk mengamankan jalur komunikasi dan suplai jalur pasukannya, Pangeran Diponegoro menunjuk Mangkudiningrat I, putra pamannya yang ditunjuk sebagai kapten kapal penyeberangan di Kali Progo.
Para bandit profesional, yang konon dahulu sebelum perang ditakuti oleh warga desa, juga turut dihadirkan menambah kekuatan pasukan di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.
Para bandit ini ditugaskan mengamankan jalur-jalur komunikasi dan ikut ambil bagian dalam pasukan, sehingga hubungan Pangeran Diponegoro dengan elemen yang tidak bersih ini langsung menimbulkan kontroversi.
Konon pasukan Pangeran Diponegoro sangat mahir melakukan penghadangan dan penyergapan. Taktik yang pasukan Diponegoro gemari adalah bersembunyi di rerumputan tinggi di sisi jalan yang akan dilewati musuh.
Lalu, ketika musuh lewat langsung menembak dalam formasi setengah lingkaran, yakni prajurit yang bersembunyi dalam posisi tiarap menembakkan bedil mereka langsung ke arah musuh, yang disergap dari depan dan kedua sayap.
Tembok batu mengitari desa-desa yang dulunya dibangun mencegah gerombolan perampok yang berniat menjarah, sekarang dimanfaatkan dengan hasil sangat baik, seolah menjadi tempat berbenteng, seperti bekas Keraton Sunan Amangkurat I.
Menyusul keberhasilan aksi-aksi penghadangan itu, penduduk desa-desa yang berdekatan tertarik ikut bergabung dalam perang. Dengan menggunakan peralatan petani mereka mengganggu gerakan mundur pasukan gerak cepat Belanda, yang sering sudah terkepung.
Maka alasan pendirian benteng-benteng Belanda sebagian merupakan jawaban atas tantangan situasi ini.
Konon beberapa sumber dan catatan sejarah menyebutkan pasukan Pangeran Diponegoro dipersenjatai dengan senjata api, yang diperintahkan dibeli. Beberapa persenjataan dari Belanda, berhasil dirampas, termasuk meriam, juga dimanfaatkan.
Ini berarti teknik-teknik artileri Eropa yang dipelajari dengan seksama, saat mengepung Yogya seorang pangeran komandan tentara Diponegoro pernah mencatat, bahwa meriam Belanda itu selalu ditembakkan terlalu tinggi karena pasukan artilerinya menggunakan terlalu banyak bubuk mesiu.
(san)