Kebingungan Nenek Buta Huruf Jalani Persidangan Lawan Mafia Tanah
loading...
A
A
A
SEMARANG - Masih ingat dengan Mbah Sumiyatun, nenek buta huruf asal Balerejo, Kecamatan Dempet, Kabupaten Demak Jawa Tengah? Ya, nenek renta yang melawan mafia tanah karena sawahnya diserobot dengan iming-iming bantuan ternak.
Dengan baju batik dan kerudung biru, perempuan yang akrab disapa Mbah Tun itu tampak menyimak jalan persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Semarang, Kamis 2 Juli. Raut mukanya tak terlihat sempurna karena tertutup masker. Hanya sorot dua matanya yang kadang kosong, berusaha mencerna arti bahasa-bahasa hukum. (Baca juga: Babak Baru Mbah Tun, Nenek Buta Huruf Lawan Mafia Tanah )
Dia didampingi anaknya Hartoyo, yang tak kalah bingungnya. Keseharian sebagai petani di desa, membuat mereka sangat asing dengan ruang sidang. Tiga hakim Gugum Surya Gumilah, Christian Edni Putra, dan Erna Dwi Safitri, di bagian depan dengan pakaian toga serbahitam, kian membuat mereka tak berani berkata-kata.
"Iki enggo mangan anak putu (sawah ini untuk makan anak dan cucu)," singkat Mbah Tun sembari berharap tanahnya segera kembali. (Baca juga: Tunggu Ibu di ICU RS, Warga Tempel Sleman Positif COVID-19 )
Dalam persidangan itu, Mbah Tun juga didampingi tim kuasa hukum yang diketuai Sukarman. Tjm advokasi Peduli Mbah Tun terdiri dari BKBH FH Unisbank, Unita Bantuan Hukum DPC PERADI RBA, dan LBH Demak Raya. Mereka mengajukan gugatan terhadap Badan Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Demak ke PTUN Semarang.
"Ini memasuki pembuktian secara tertulis dan menghadirkan saksi ahli yaitu Dr. Juneidi, SH.MH yang merupakan Ketua Program Studi Magister Hukum USM Semarang. Kita berharap ahli membuat terang peralihan hak atas tanah milik mbah Sumiyatun yang berawal dari penipuan," jelas Sukarman.
Sementara saksi ahli dalam keterangan di muka persidangan menuturkan, putusan Mahkaman Agung (MA) tahun 2015 harus dijadikan dasar pertimbangan oleh pejabat tata usaha negara. Proses lelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) hingga permohonan eksekusi oleh pemenang lelang ke pengadilan negeri harusnya diabaikan oleh BPN.
"Putusan MA harus dihormati secara hukum karena sifat putusan itu untuk memberikan kepastian hukum atas kesalahan penerapan perundang-undangan. Kalau boleh disimpulkan penerbitan sertifikat oleh pemenang lelang cacat formil dan meteriil," lugas dia.
Setelah agenda persidangan pembuktian secara tertulis dan menghadirkan saksi ahli dari penggugat, sidang akan digelar kembali pada Kamis 9 Juli 2020. Agendanya adalah menghadirkan saksi dari tergugat yaitu BPN Kabupaten Demak.
Sekadar mengingatkan, sawah seluas 8.250 meter persegi milik Sumiyatun yang berstatus sertifikat hak milik (SHM) nomor 11 beralamat di Desa Balerejo, Kecamatan Dempet, Demak, mendadak beralih tangan. Bahkan, kabar terbaru sawah tersebut akan dieksekusi oleh Pengadilan Negeri Demak.
Janda empat anak ini pun berusaha mencari keadilan dengan mendatangi Biro Konsultasi Bantuan Hukum (BKBH) FH Unisbank Semarang. Ditemani anak sulungnya Hartoyo, Mbah Sumiyatun menceritakan kronologi penyerobotan tanahnya.
Peristiwa nahas itu bermula ketika dia didatangi tiga orang yang salah satunya adalah tetangga bernama Mustofa. Tamu tidak diundang tersebut juga menolak untuk masuk ke rumah. Sambil berdiri di depan pintu, mereka meminta Sumiyatun dan almarhum suaminya untuk cap jempol.
"Mustofa datang ke rumah untuk meminjam sertifikat tanah dengan alasan akan membantu supaya saya bisa mendapatkan bantuan pakan ternak," kata Sumiyatun sembari berusai air mata, Selasa 11 Februari 2020.
"Saya enggak tahu pasti apa maksud mereka. Sebagai orang kampung yang tidak berpendidikan ya manut saja disuruh apa. Kalau tahu bakal begini (kehilangan sawah) tentu saya menolak," lugasnya dalam bahasa Jawa.
Tanpa curiga, Sumiyatun dan almarhum suaminya melakukan cap jempol di lembar kertas kosong. Belakangan baru diketahui jika cap jempol tersebut mengakibatkan sertifikat tanahnya sudah berbalik nama atas nama Mustofa.
Dengan baju batik dan kerudung biru, perempuan yang akrab disapa Mbah Tun itu tampak menyimak jalan persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Semarang, Kamis 2 Juli. Raut mukanya tak terlihat sempurna karena tertutup masker. Hanya sorot dua matanya yang kadang kosong, berusaha mencerna arti bahasa-bahasa hukum. (Baca juga: Babak Baru Mbah Tun, Nenek Buta Huruf Lawan Mafia Tanah )
Dia didampingi anaknya Hartoyo, yang tak kalah bingungnya. Keseharian sebagai petani di desa, membuat mereka sangat asing dengan ruang sidang. Tiga hakim Gugum Surya Gumilah, Christian Edni Putra, dan Erna Dwi Safitri, di bagian depan dengan pakaian toga serbahitam, kian membuat mereka tak berani berkata-kata.
"Iki enggo mangan anak putu (sawah ini untuk makan anak dan cucu)," singkat Mbah Tun sembari berharap tanahnya segera kembali. (Baca juga: Tunggu Ibu di ICU RS, Warga Tempel Sleman Positif COVID-19 )
Dalam persidangan itu, Mbah Tun juga didampingi tim kuasa hukum yang diketuai Sukarman. Tjm advokasi Peduli Mbah Tun terdiri dari BKBH FH Unisbank, Unita Bantuan Hukum DPC PERADI RBA, dan LBH Demak Raya. Mereka mengajukan gugatan terhadap Badan Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Demak ke PTUN Semarang.
"Ini memasuki pembuktian secara tertulis dan menghadirkan saksi ahli yaitu Dr. Juneidi, SH.MH yang merupakan Ketua Program Studi Magister Hukum USM Semarang. Kita berharap ahli membuat terang peralihan hak atas tanah milik mbah Sumiyatun yang berawal dari penipuan," jelas Sukarman.
Sementara saksi ahli dalam keterangan di muka persidangan menuturkan, putusan Mahkaman Agung (MA) tahun 2015 harus dijadikan dasar pertimbangan oleh pejabat tata usaha negara. Proses lelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) hingga permohonan eksekusi oleh pemenang lelang ke pengadilan negeri harusnya diabaikan oleh BPN.
"Putusan MA harus dihormati secara hukum karena sifat putusan itu untuk memberikan kepastian hukum atas kesalahan penerapan perundang-undangan. Kalau boleh disimpulkan penerbitan sertifikat oleh pemenang lelang cacat formil dan meteriil," lugas dia.
Setelah agenda persidangan pembuktian secara tertulis dan menghadirkan saksi ahli dari penggugat, sidang akan digelar kembali pada Kamis 9 Juli 2020. Agendanya adalah menghadirkan saksi dari tergugat yaitu BPN Kabupaten Demak.
Sekadar mengingatkan, sawah seluas 8.250 meter persegi milik Sumiyatun yang berstatus sertifikat hak milik (SHM) nomor 11 beralamat di Desa Balerejo, Kecamatan Dempet, Demak, mendadak beralih tangan. Bahkan, kabar terbaru sawah tersebut akan dieksekusi oleh Pengadilan Negeri Demak.
Janda empat anak ini pun berusaha mencari keadilan dengan mendatangi Biro Konsultasi Bantuan Hukum (BKBH) FH Unisbank Semarang. Ditemani anak sulungnya Hartoyo, Mbah Sumiyatun menceritakan kronologi penyerobotan tanahnya.
Peristiwa nahas itu bermula ketika dia didatangi tiga orang yang salah satunya adalah tetangga bernama Mustofa. Tamu tidak diundang tersebut juga menolak untuk masuk ke rumah. Sambil berdiri di depan pintu, mereka meminta Sumiyatun dan almarhum suaminya untuk cap jempol.
"Mustofa datang ke rumah untuk meminjam sertifikat tanah dengan alasan akan membantu supaya saya bisa mendapatkan bantuan pakan ternak," kata Sumiyatun sembari berusai air mata, Selasa 11 Februari 2020.
"Saya enggak tahu pasti apa maksud mereka. Sebagai orang kampung yang tidak berpendidikan ya manut saja disuruh apa. Kalau tahu bakal begini (kehilangan sawah) tentu saya menolak," lugasnya dalam bahasa Jawa.
Tanpa curiga, Sumiyatun dan almarhum suaminya melakukan cap jempol di lembar kertas kosong. Belakangan baru diketahui jika cap jempol tersebut mengakibatkan sertifikat tanahnya sudah berbalik nama atas nama Mustofa.
(mpw)