Faktor Ekonomi Dominasi Anak di Makassar Tidak Sekolah
loading...
A
A
A
MAKASSAR - Ribuan anak di Makassar ditemukan tidak mengenyam pendidikan. Problematika kemiskinan mendominasi alasan anak-anak itu sehingga tak bisa mendapatkan kesempatan belajar secara formal.
Berdasarkan data yang dihimpun Dinas Pendidikan Kota Makassar , tercatat ada sekitar 1.770 anak tidak sekolah (ATS). Data itu diperoleh dari hasil penelusuran tim Laskar Pelangi di sejumlah lorong wisata.
"1.770 lebih itu yang didata sama laskar pelangi, yang didata itu anak putus sekolah dan anak tidak sekolah," ungkap Kepala Dinas Pendidikan, Muhyiddin.
Muhyiddin tak menampik faktor ekonomi mendominasi alasan anak putus sekolah . Bahkan, ada yang memang sejak awal tidak bersekolah sama sekali.
"Rata-rata (penyebabnya) faktor ekonomi yang banyak. Ada yang bantu orang tua mencari nafkah, jadi bukan anak itu tidak mau sekolah tapi dia bantu orang tuanya cari nafkah," tutur dia.
Saat ini, data-data tersebut sementara diolah dan diklasifikasikan berdasarkan usia. Dari situ, pihaknya akan menentukan apakah anak tersebut akan dikembalikan ke sekolah atau didorong untuk mengikuti program pendidikan pada jalur non formal atau kejar paket.
"Sementara kami klasifikasikan usianya. Kalau putus sekolah dan masih usia sekolah, kami akan kembalikan ke sekolah. Kalau memang tidak sekolah, kami bantu untuk kejar paket. Kami petakan dulu berdasarkan usianya," jelasnya.
Dia menegaskan, seluruh warga di Kota Makassar harus mengenyam pendidikan. Paling sedikit harus menjalani pendidikan 10 tahun dari tingkat PAUD/TK hingga ke Sekolah Menengah Pertama (SMP).
"Setiap lorong nanti akan kami buat ruang belajar PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) khusus untuk anak tidak sekolah. Nanti tetap ada ijazahnya, kami ikutkan ujian paket A untuk SD dan paket B untuk jenjang SMP, yang jelas semua anak harus sekolah," tandasnya.
Terpisah, Anggota Komisi D DPRD Kota Makassar , Yeni Rahman berujar bahwa dalam penanganan anak tidak sekolah, Dinas Sosial harus turut berpartisipasi.
Dinas Sosial harus meninjau kembali data anak-anak itu apakah keluarganya tercatat sebagai penerima manfaat dari program keluarga harapan atau PKH.
Sebab menurut Yeni, tidak ada alasan bagi keluarga penerima manfaat PKH untuk tidak menyekolahkan anaknya. Pasalnya, bantuan itu juga ditujukan untuk mengakomodasi akses agar anak-anak mengenyam pendidikan formal.
"Harus diketahui dulu alasannya kenapa dia tidak sekolah. Kalau masalah ekonomi, harus kembali lagi melihat anak-anak yang putus sekolah itu apakah keluarganya dapat PKH atau tidak. Karena mereka yang dapat PKH itu adalah mereka yang punya anak usia sekolah," sebut Yeni.
"Jangan sampai orang tua si anak terdaftar PKH, tapi dia pikir bantuan itu untuk konsumtif. Padahal PKH itu juga untuk sekolah," imbuh Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Jika anak yang didata bukan termasuk dalam keluarga penerima manfaat PKH, sambung Yeni, maka Dinsos bertugas untuk memprioritaskan dia agar tercatat dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial atau DTKS, untuk kemudian didorong menjadi penerima manfaat PKH.
"Kalau dapat PKH, tidak ada alasan apapun untuk tidak menyekolahkan anaknya. Kalau untuk kehidupan sehari-hari, silakan cari penghasilan, tapi anaknya wajib disekolahkan," tegas Yeni.
Di sisi lain, Yeni juga menyatakan jika persepsi dan paradigma masyarakat terkait pentingnya pendidikan juga harus diubah. Persepsi bahwa pendidikan untuk mencari kerja, harus digeser bahwa pendidikan bertujuan untuk keberlangsungan hidup yang lebih baik.
"Karena orang yang bekerja tapi punya pendidikan, akan berbeda dengan orang yang juga bekerja namun tidak punya latar belakang pendidikan. Bisa saja sama-sama punya usaha, tapi manajemen usahanya pasti berbeda," tandas Yeni.
Sementara itu, Kepala Dinas Sosial Kota Makassar, Aulia Arsyad mengatakan bahwa setiap kali melakukan penjaringan terhadap anak jalanan (anjal), gelandang dan pengemis (gepeng), pihaknya selalu berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan.
Apalagi, data dari Bidang Rehabilitasi Sosial Dinsos mencatat, anak jalanan cukup mendominasi penjaringan. Hingga akhir Agustus 2022, dari 255 yang terjaring, sebanyak 210 di antaranya adalah usia anak.
"Apabila dari hasil pendataan Dinsos ditemukan anak putus sekolah langsung kami koordinasikan dengan Disdik. Termasuk data anak jalanan kami teruskan ke Disdik baik yang masih sekolah maupun yang putus sekolah," jelasnya.
Berdasarkan data yang dihimpun Dinas Pendidikan Kota Makassar , tercatat ada sekitar 1.770 anak tidak sekolah (ATS). Data itu diperoleh dari hasil penelusuran tim Laskar Pelangi di sejumlah lorong wisata.
"1.770 lebih itu yang didata sama laskar pelangi, yang didata itu anak putus sekolah dan anak tidak sekolah," ungkap Kepala Dinas Pendidikan, Muhyiddin.
Muhyiddin tak menampik faktor ekonomi mendominasi alasan anak putus sekolah . Bahkan, ada yang memang sejak awal tidak bersekolah sama sekali.
"Rata-rata (penyebabnya) faktor ekonomi yang banyak. Ada yang bantu orang tua mencari nafkah, jadi bukan anak itu tidak mau sekolah tapi dia bantu orang tuanya cari nafkah," tutur dia.
Saat ini, data-data tersebut sementara diolah dan diklasifikasikan berdasarkan usia. Dari situ, pihaknya akan menentukan apakah anak tersebut akan dikembalikan ke sekolah atau didorong untuk mengikuti program pendidikan pada jalur non formal atau kejar paket.
"Sementara kami klasifikasikan usianya. Kalau putus sekolah dan masih usia sekolah, kami akan kembalikan ke sekolah. Kalau memang tidak sekolah, kami bantu untuk kejar paket. Kami petakan dulu berdasarkan usianya," jelasnya.
Dia menegaskan, seluruh warga di Kota Makassar harus mengenyam pendidikan. Paling sedikit harus menjalani pendidikan 10 tahun dari tingkat PAUD/TK hingga ke Sekolah Menengah Pertama (SMP).
"Setiap lorong nanti akan kami buat ruang belajar PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) khusus untuk anak tidak sekolah. Nanti tetap ada ijazahnya, kami ikutkan ujian paket A untuk SD dan paket B untuk jenjang SMP, yang jelas semua anak harus sekolah," tandasnya.
Terpisah, Anggota Komisi D DPRD Kota Makassar , Yeni Rahman berujar bahwa dalam penanganan anak tidak sekolah, Dinas Sosial harus turut berpartisipasi.
Dinas Sosial harus meninjau kembali data anak-anak itu apakah keluarganya tercatat sebagai penerima manfaat dari program keluarga harapan atau PKH.
Sebab menurut Yeni, tidak ada alasan bagi keluarga penerima manfaat PKH untuk tidak menyekolahkan anaknya. Pasalnya, bantuan itu juga ditujukan untuk mengakomodasi akses agar anak-anak mengenyam pendidikan formal.
"Harus diketahui dulu alasannya kenapa dia tidak sekolah. Kalau masalah ekonomi, harus kembali lagi melihat anak-anak yang putus sekolah itu apakah keluarganya dapat PKH atau tidak. Karena mereka yang dapat PKH itu adalah mereka yang punya anak usia sekolah," sebut Yeni.
"Jangan sampai orang tua si anak terdaftar PKH, tapi dia pikir bantuan itu untuk konsumtif. Padahal PKH itu juga untuk sekolah," imbuh Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Jika anak yang didata bukan termasuk dalam keluarga penerima manfaat PKH, sambung Yeni, maka Dinsos bertugas untuk memprioritaskan dia agar tercatat dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial atau DTKS, untuk kemudian didorong menjadi penerima manfaat PKH.
"Kalau dapat PKH, tidak ada alasan apapun untuk tidak menyekolahkan anaknya. Kalau untuk kehidupan sehari-hari, silakan cari penghasilan, tapi anaknya wajib disekolahkan," tegas Yeni.
Di sisi lain, Yeni juga menyatakan jika persepsi dan paradigma masyarakat terkait pentingnya pendidikan juga harus diubah. Persepsi bahwa pendidikan untuk mencari kerja, harus digeser bahwa pendidikan bertujuan untuk keberlangsungan hidup yang lebih baik.
"Karena orang yang bekerja tapi punya pendidikan, akan berbeda dengan orang yang juga bekerja namun tidak punya latar belakang pendidikan. Bisa saja sama-sama punya usaha, tapi manajemen usahanya pasti berbeda," tandas Yeni.
Sementara itu, Kepala Dinas Sosial Kota Makassar, Aulia Arsyad mengatakan bahwa setiap kali melakukan penjaringan terhadap anak jalanan (anjal), gelandang dan pengemis (gepeng), pihaknya selalu berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan.
Apalagi, data dari Bidang Rehabilitasi Sosial Dinsos mencatat, anak jalanan cukup mendominasi penjaringan. Hingga akhir Agustus 2022, dari 255 yang terjaring, sebanyak 210 di antaranya adalah usia anak.
"Apabila dari hasil pendataan Dinsos ditemukan anak putus sekolah langsung kami koordinasikan dengan Disdik. Termasuk data anak jalanan kami teruskan ke Disdik baik yang masih sekolah maupun yang putus sekolah," jelasnya.
(agn)