Legenda Prabu Watugunung, Simbol Wuku dan Horoskop Tradisional Masyarakat Jawa
loading...
A
A
A
Ketika itu juga turunlah Ida Hyang Padmayoni, bertanya kepada para putri itu, apa sebabnya mereka bersedih. Sang Dewi menghormat sambil menjawab; "Ya, yang terhormat batara, hambamu ini ditinggal oleh suami bertapa di lereng Gunung Sumeru, sejak hamba baru mulai hamil hingga sekarang. Sampai kelahiran putra hamba ini belum juga beliau datang (kembali), itulah sebabnya hambamu ini bersedih hati," kata sang dewi.
Itulah ungkapan kesedihan kedua dewi tersebut kepada Ida Hyang Padmayoni yang disebut sebagai Dewa Brahma. Mendengar cerita kedua putri tersebut Dewa Brahman sangat bahagia dan mendoakan supaya bayi itu panjang umur terkenal di dunia serta diberikan anugerah yang hebat tidak terbunuh oleh para dewa, danawa, detya, manusia tak terbunuh pada malam hari maupun pada siang hari, tidak mati dibawah maupun di atas, tidak terbunuh oleh senjata. Kecuali Dewa Wisnu.
Di waktu yang sama pun Dewa Brahman memberi bayi tersebut nama I Watugunung. "Dan karena bayimu lahir di atas batu, aku anugrahi nama I Watugunung."
Usai itu Dewa Brahma kembali ke Kahyangan yang disebut Brahma Loka. Setelah itu sang dewi keduanya ke kraton dengan memangku seorang putra. Tersebutlah bayi itu mengalami pertumbuhan yang amat cepat, sampai-sampai ibunya merasa kewalahan meladeni bayinya untuk memberi makan karena bayinya makan amat kuat. Melihat kejadiaan itu, kedua sang Dewi sangat heran.
Sering satu kali masak atau satu periuk dihabiskan dalam sekali makan tanpa ada sisanya. Hal tersebut akhirnya berlangsung terus menerus hingga suatu hari ibunya sedang memasak di dapur, datanglah sang Watugunung mendekati ibunya seraya minta nasi untuk dimakan.
"Anakku bersabarlah menunggu sementara ini nasinya belum masak," kata sanng ibu.
Mendengar kata sang ibu, Watugunung tidak menghiraukan dan mlahan mendesak supaya cepat-cepat memberikan nasi karena perutnya sudah lapar. Karena tidak tahan ketika itu pula sang Watugunung mengambil dengan sendiri tanpa bantuan ibunya, dan langsung nasi yang sedang dimasak itu disantapnya sampai habis tidak menghiraukan sudah matang atau belum.
Melihat ketidaksopanan putranya, ibunya menjadi sangat marah dan langsung mengambil sodo (siut) dan memukul putranya tepat di kepalanya sampai berlumuran darah, sang Watugunung menangis terisak-isak menahan luka yang diderita. Akibat dari hal itu, Watugunung meninggalkan kraton karena saking krodha dengan marahnya menuju gunung Emalaya.
Diceritakan dalaam perjalanan, Watugunung berbuat seenaknya. Ketika lapar merampok makanan rakyat dan langsung dimakannya. Meliahat kejadian itu, masyarakat di lereng Gunung Emalaya merasa sangat heran melihat perilaku anak kecil itu yang serba berani, memaksa makanan dari penduduk sekitar.
Kejadian itu terus terjadi samapi mengganggu kesejahteraan dan keamanan penduduk. Karena penduduk merasa kewalahan akhirnya masalahnya dilaporkan kepada raja Giriswara. Mendengar laporan itu raja merasa terkejut, dan naik darah seketika itu juga memerintahkan rakyatnya untuk menghabisi sang Watugunung.
Itulah ungkapan kesedihan kedua dewi tersebut kepada Ida Hyang Padmayoni yang disebut sebagai Dewa Brahma. Mendengar cerita kedua putri tersebut Dewa Brahman sangat bahagia dan mendoakan supaya bayi itu panjang umur terkenal di dunia serta diberikan anugerah yang hebat tidak terbunuh oleh para dewa, danawa, detya, manusia tak terbunuh pada malam hari maupun pada siang hari, tidak mati dibawah maupun di atas, tidak terbunuh oleh senjata. Kecuali Dewa Wisnu.
Di waktu yang sama pun Dewa Brahman memberi bayi tersebut nama I Watugunung. "Dan karena bayimu lahir di atas batu, aku anugrahi nama I Watugunung."
Usai itu Dewa Brahma kembali ke Kahyangan yang disebut Brahma Loka. Setelah itu sang dewi keduanya ke kraton dengan memangku seorang putra. Tersebutlah bayi itu mengalami pertumbuhan yang amat cepat, sampai-sampai ibunya merasa kewalahan meladeni bayinya untuk memberi makan karena bayinya makan amat kuat. Melihat kejadiaan itu, kedua sang Dewi sangat heran.
Sering satu kali masak atau satu periuk dihabiskan dalam sekali makan tanpa ada sisanya. Hal tersebut akhirnya berlangsung terus menerus hingga suatu hari ibunya sedang memasak di dapur, datanglah sang Watugunung mendekati ibunya seraya minta nasi untuk dimakan.
"Anakku bersabarlah menunggu sementara ini nasinya belum masak," kata sanng ibu.
Mendengar kata sang ibu, Watugunung tidak menghiraukan dan mlahan mendesak supaya cepat-cepat memberikan nasi karena perutnya sudah lapar. Karena tidak tahan ketika itu pula sang Watugunung mengambil dengan sendiri tanpa bantuan ibunya, dan langsung nasi yang sedang dimasak itu disantapnya sampai habis tidak menghiraukan sudah matang atau belum.
Melihat ketidaksopanan putranya, ibunya menjadi sangat marah dan langsung mengambil sodo (siut) dan memukul putranya tepat di kepalanya sampai berlumuran darah, sang Watugunung menangis terisak-isak menahan luka yang diderita. Akibat dari hal itu, Watugunung meninggalkan kraton karena saking krodha dengan marahnya menuju gunung Emalaya.
Diceritakan dalaam perjalanan, Watugunung berbuat seenaknya. Ketika lapar merampok makanan rakyat dan langsung dimakannya. Meliahat kejadian itu, masyarakat di lereng Gunung Emalaya merasa sangat heran melihat perilaku anak kecil itu yang serba berani, memaksa makanan dari penduduk sekitar.
Kejadian itu terus terjadi samapi mengganggu kesejahteraan dan keamanan penduduk. Karena penduduk merasa kewalahan akhirnya masalahnya dilaporkan kepada raja Giriswara. Mendengar laporan itu raja merasa terkejut, dan naik darah seketika itu juga memerintahkan rakyatnya untuk menghabisi sang Watugunung.