Legenda Prabu Watugunung, Simbol Wuku dan Horoskop Tradisional Masyarakat Jawa

Sabtu, 13 Agustus 2022 - 05:40 WIB
loading...
Legenda Prabu Watugunung, Simbol Wuku dan Horoskop Tradisional Masyarakat Jawa
Legenda Prabu Watugunung sebagai simbol wuku dan horoskop masyarakat Jawa.Foto/Babad.id
A A A
Prabu Watugunung adalah seorang raja di Gilingwesi. Prabu Watugunung merupakan seorang putera raja Prabu Palindriya. Sewaktu dia masih dalam kandungan, ibunya bernama Dewi Sinta meninggalkan istana karena dimadu dengan saudara sendiri.

Dalam perjalanan di tengah rimba, Dewi Sinta melahirkan anak laki-laki dan diberi nama Raden Wudug. Suatu kali waktu Raden Wudug masih kanak-kanak dimarahi ibunya dan kepalanya terluka dipukul menggunakan dengan centong. Karena itu Raden Wudug meninggalkan ibunya dan berganti nama Radite.

Mengutip budayanusantara.web.id, karena kesaktianya Radite berhasil menyadi raja di Gilingwesi. Dia kemudian mendapat gelar Prabu Watugunung dan berpermaisuri dengan seorang puteri yang sangat dicintainya. Sang permaisuri tidak lain adalah ibunya sendiri.

Rahasia itu akhirnya diketahui permaisuri setelah mengetahui cacat di kepala Prabu Watugunung. Prabu Watugunung pun menerangkan apa penyebabnya. Untuk menghindarkan kekejian itu Dewi Sinta meminta Prabu Watugunung memilih seorang bidadari untuk djadikan madunya.

Baca juga: Tragedi Perang Bubat dan Gagalnya Pernikahan Raja Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka

Prabu Watugunung meluluskan permintaan itu dan ia menuju ke Suralaya (kerajaan Dewa-Dewa) guna mencari bidadari untuk jadi permaisurinya itu. Maka terjadilah perang dan Prabu Watugunung binasa dalam peperangan itu. Memang inilah yang diharap oleh Dewi Sinta.

Sementara pada desamengwi.badungkab.go.id diceritakan bahwa Watugunung merupakan anak raja Kundadwipa yang bernama Dang Hyang Kulagiri dan ibunya bernama Dewi Sintakasih.

Kisah cerita watu gunung berawal dari Sang Raja Dang Hyang Kulagiri berkata kepada kedua istrinya, Dewi Sintakasih dan Dewi Sanjiwartia, bahwa dirinya akan pergi ke Gunung sumeru untuk menjalankan tapa.

Maka dari itu, dia berpesan kepada kedua istrinya menjaga diri dan merestui kepergianya. Setelah cukup lama pergi Dewi Sintakasih sudah hamil tua dan akan segera melahirkan. Akhirnnya Dewi Sintakasih dan Dewi Sanjiwartia memutusakan untuk mencari suaminya ke gunung Sumeru.

Setelah lama berjalan maka tibalah mereka ke lereng Gunung Sumeru. Tak lama kemudian perut Dewi Sintakasih sakit. Di atas batu yang datar dan lebar, keduanya melepaskan lelahnya. Tak lama kemudian Dewi Sintakasih melahirkan bayi laki-laki dan pecahlah batu tersebut karena tertimpa badan si bayi. Melihat kejadian itu Dewi Sintakasih bersama Dewi Sanjiwartia sangat sedih.

Ketika itu juga turunlah Ida Hyang Padmayoni, bertanya kepada para putri itu, apa sebabnya mereka bersedih. Sang Dewi menghormat sambil menjawab; "Ya, yang terhormat batara, hambamu ini ditinggal oleh suami bertapa di lereng Gunung Sumeru, sejak hamba baru mulai hamil hingga sekarang. Sampai kelahiran putra hamba ini belum juga beliau datang (kembali), itulah sebabnya hambamu ini bersedih hati," kata sang dewi.

Itulah ungkapan kesedihan kedua dewi tersebut kepada Ida Hyang Padmayoni yang disebut sebagai Dewa Brahma. Mendengar cerita kedua putri tersebut Dewa Brahman sangat bahagia dan mendoakan supaya bayi itu panjang umur terkenal di dunia serta diberikan anugerah yang hebat tidak terbunuh oleh para dewa, danawa, detya, manusia tak terbunuh pada malam hari maupun pada siang hari, tidak mati dibawah maupun di atas, tidak terbunuh oleh senjata. Kecuali Dewa Wisnu.

Di waktu yang sama pun Dewa Brahman memberi bayi tersebut nama I Watugunung. "Dan karena bayimu lahir di atas batu, aku anugrahi nama I Watugunung."

Usai itu Dewa Brahma kembali ke Kahyangan yang disebut Brahma Loka. Setelah itu sang dewi keduanya ke kraton dengan memangku seorang putra. Tersebutlah bayi itu mengalami pertumbuhan yang amat cepat, sampai-sampai ibunya merasa kewalahan meladeni bayinya untuk memberi makan karena bayinya makan amat kuat. Melihat kejadiaan itu, kedua sang Dewi sangat heran.

Sering satu kali masak atau satu periuk dihabiskan dalam sekali makan tanpa ada sisanya. Hal tersebut akhirnya berlangsung terus menerus hingga suatu hari ibunya sedang memasak di dapur, datanglah sang Watugunung mendekati ibunya seraya minta nasi untuk dimakan.

"Anakku bersabarlah menunggu sementara ini nasinya belum masak," kata sanng ibu.

Mendengar kata sang ibu, Watugunung tidak menghiraukan dan mlahan mendesak supaya cepat-cepat memberikan nasi karena perutnya sudah lapar. Karena tidak tahan ketika itu pula sang Watugunung mengambil dengan sendiri tanpa bantuan ibunya, dan langsung nasi yang sedang dimasak itu disantapnya sampai habis tidak menghiraukan sudah matang atau belum.

Melihat ketidaksopanan putranya, ibunya menjadi sangat marah dan langsung mengambil sodo (siut) dan memukul putranya tepat di kepalanya sampai berlumuran darah, sang Watugunung menangis terisak-isak menahan luka yang diderita. Akibat dari hal itu, Watugunung meninggalkan kraton karena saking krodha dengan marahnya menuju gunung Emalaya.

Diceritakan dalaam perjalanan, Watugunung berbuat seenaknya. Ketika lapar merampok makanan rakyat dan langsung dimakannya. Meliahat kejadian itu, masyarakat di lereng Gunung Emalaya merasa sangat heran melihat perilaku anak kecil itu yang serba berani, memaksa makanan dari penduduk sekitar.

Kejadian itu terus terjadi samapi mengganggu kesejahteraan dan keamanan penduduk. Karena penduduk merasa kewalahan akhirnya masalahnya dilaporkan kepada raja Giriswara. Mendengar laporan itu raja merasa terkejut, dan naik darah seketika itu juga memerintahkan rakyatnya untuk menghabisi sang Watugunung.

Mendapat perintah dari sang raja, seluruh lapisan kekuatan daerah itu menyerang sang Watugunung dengan merebutnya dan memukul dengan bermacam-macam senjata. Namun sayang seluruh serangan dan seluruh senjata penyerang tidak ada yang mempan. Watugunung makin mengada ada.

Dia terus mengobrak-abrik dan menyerangnya, menghancurkan kelompok penyerang yang hebat itu. Sehingga pasukan penduduk Emalaya lari terbirit-birit untuk menyelamatkan jiwanya dari kepungan Watugunung. Raja kemudian bertambah emosi mendengar kejadian itu.

Akhirnya sang raja memutuskan untuk maju ke medan perang. Terjadilah perang tanding antara raja Giriswara dengan Watugunung, yang sama-sama hebat dan sakti dalam peperangan. Setelah berlangsung 7 hari, Raja Giriswara gugur dikalahkan Watugunung, sehingga raja Giriswara tunduk dan menghormat kepada sang Watugunung.

Watugunung melanjutkan serangan mengarah ke kerajaan Pasutranu yang rajanya bernama Prabu Kuladewa. Karena serangan yang dilakukan Watugunung rakyat Kuladewa tidak tinggal diam, maka terjadilah pertempuran yang tidak kurang dahsyatnya dengan pertempuran di kerajaan Girisrawa. Rakyat Kuladewa kewalahan menghadapi serangan Watugunung. Hingga akhirnya mereka lari tunggang langgang menyelamatkan jiwanya masing-masing.

Raja Kuladewa pun dapat dilenyapkan Watugunung. Setelah itu, maka selanjutnya menyerang raja Talu, raja Mrabuana, raja Wariksaya, raja Pariwisaya, raja Julung, raja Sunsang dan yang lainnya dengan mudah dapat ditundukkan. Daru 27 kerajaan semuanya dengan mudah dikalahkan.

Wuku
Watugunung juga nama seorang wuku yang berarti perhitungan hari bulan. Wuku merupakan istilah penanggalan masyarakat Jawa yang berumur tujuh hari dengan siklus 30 pekan.

Pernahkah menjumpai seseorang dengan weton sama namun memiliki watak dan kepribadian yang berbeda?

Dalam ilmu titen masyarakat Jawa, sesorang memiliki weton yang sama namun berbeda pada sifat dan kepribadiannya, bisa jadi ia memiliki perhitungan wuku yang berbeda.

Namun, satu pekan atau satu minnggu yang satu dengan minggu-minggu berikutnya memiliki wuku yang berbeda. Perhitungan wuku sangat berguna untuk perhitungan “hari baik” dan “hari buruk” seseorang.

Perhitungan wuku juga sangat bermanfaat untuk perhitungan weton, serta Pawukon, horoskop tradisional masyarakat Jawa. Perhitungan Wuku merupakan bagian dari Pranata Mangsa, yang masuk dalam ilmu Pawukon, Horoskop tradisional masyarakat jawa, yaitu perhitungan tentang macam-macam nama hari, bulan juga perhitungan tahun sesuai dengan ilmu astronomi dan astrologi.(diolah dari berbagai sumber)
(msd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0944 seconds (0.1#10.140)