Memprihatinkan! 163 Ribu Anak di Sulsel Tidak Sekolah
loading...
A
A
A
MAKASSAR - Jumlah anak tidak sekolah (ATS) di Provinsi Sulawesi Selatan rupanya masih cukup tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 menunjukkan bahwa jumlah ATS pada usia 7-18 tahun di Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 163.940 orang.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Sulawesi Selatan, Andi Darmawan Bintang, berujar selama ini penanganan ATS berjalan lambat dan sulit mencapai target yang diharapkan.
Hal itu disebabkan masalah pendidikan yang selama ini hanya ditangani oleh satu atau dua sektor, tanpa melibatkan pemangku kepentingan lainnya dan tanpa kolaborasi yang baik. Sehingga, kata Darmawan, hal itulah yang mendasari inovasi Penanganan Anak Tidak Sekolah Berbasis Aksi Kolaborasi atau PASTI BERAKSI.
"Inovasi ini hadir sebagai salah satu solusi sehingga para pemangku kepentingan bisa bersatu menyusun rencana aksi hingga implementasi di lapangan dalam upaya mengembalikan anak tidak sekolah untuk kembali bersekolah baik di sekolah formal maupun non formal serta mencegah anak beresiko putus sekolah agar tidak putus sekolah," bebernya.
Dia melanjutkan, inovasi PASTI BERAKSI menyediakan sistem pendataan berbasis data by name by address. Sehingga penanganan ATS dapat lebih efektif melalui intervensi yang tepat dan sasaran penerima manfaat yang lebih akurat.
"Kolaborasi dilakukan dari hulu ke hilir secara tuntas melalui pemanfaatan data yang akurat diharapkan mampu mengatasi permasalahan ATS di Sulawesi Selatan," jelasnya.
Berdasarkan hasil rekonfirmasi data, terdapat 980 anak yang akan kembali bersekolah dari 12 kabupaten/kota, yakni Bone, Takalar, Makassar, Gowa, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Luwu, Tana Toraja, Wajo, Sidrap, dan Pangkep.
Pada tahap pertama ini, sebanyak 480 anak yang akan kembali bersekolah dan menerima paket bantuan perlengkapan sekolah dari Forum Corporate Social Responsibility (CSR).
Untuk mendukung percepatan penanganan Anak Tidak Sekolah (ATS), lanjut Darmawan, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan juga telah menerbitkan Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan nomor 71 tahun 2020 tentang Rencana Aksi Percepatan Percepatan Penanganan Anak Tidak Sekolah (PPATS).
Kebijakan tersebut menjadi dasar aksi kolaborasi antar lintas sektor dan pemangku kepentingan baik di tingkat provinsi hingga ke kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Selatan.
Sementara, itu Kepala Kantor Perwakilan UNICEF Wilayah Sulawesi dan Maluku, Henky Widjaja menambahkan, pihaknya sudah memulai pilot project ini selama dua tahun di dua kabupaten, yaitu Takalar dan Bone. Pada proses piloting itu, pihaknya memberi atensi terkait pengembalian anak ke sekolah serta sinkronisasinya dengan program daerah masing-masing.
"Kami perkuat pada sistem pendataan, bagaimana cara mendapat data anak yang putus sekolah by name by address. Dari data itu bisa diketahui siapa anaknya, tinggal di mana, dan kenapa mereka putus sekolah. Supaya nanti solusi atau bantuan yang diberikan pemerintah atau pihak lain itu sesuai dengan kebutuhan," jelas Henky.
Setelah proses piloting selesai, pihaknya melakukan asistensi ke pemerintah provinsi untuk bersama-sama merumuskan strategi dan kebijakan untuk perluasan program ke daerah lain. "Jadi proses replikasi dari model 24 kabupaten kota diserahkan ke provinsi dan provinsi yang lakukan replikasi. Anggarannya 100 persen dari pemerintah daerah," ungkapnya.
Sejauh ini, Henky menilai progres program sudah cukup bagus. Masing-masing daerah sudah mulai mengembangkan sistem informasi pembangunan berbasis masyarakat.
"Ada database yang sudah mulai dikumpulkan dari setiap daerah dan ada kompilasinya di tingkat provinsi. Targetnya, tahun depan 24 kabupaten kota di Sulsel sudah punya sistem yang sama untuk penanganan anak putus sekolah," pungkasnya.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Sulawesi Selatan, Andi Darmawan Bintang, berujar selama ini penanganan ATS berjalan lambat dan sulit mencapai target yang diharapkan.
Hal itu disebabkan masalah pendidikan yang selama ini hanya ditangani oleh satu atau dua sektor, tanpa melibatkan pemangku kepentingan lainnya dan tanpa kolaborasi yang baik. Sehingga, kata Darmawan, hal itulah yang mendasari inovasi Penanganan Anak Tidak Sekolah Berbasis Aksi Kolaborasi atau PASTI BERAKSI.
"Inovasi ini hadir sebagai salah satu solusi sehingga para pemangku kepentingan bisa bersatu menyusun rencana aksi hingga implementasi di lapangan dalam upaya mengembalikan anak tidak sekolah untuk kembali bersekolah baik di sekolah formal maupun non formal serta mencegah anak beresiko putus sekolah agar tidak putus sekolah," bebernya.
Dia melanjutkan, inovasi PASTI BERAKSI menyediakan sistem pendataan berbasis data by name by address. Sehingga penanganan ATS dapat lebih efektif melalui intervensi yang tepat dan sasaran penerima manfaat yang lebih akurat.
"Kolaborasi dilakukan dari hulu ke hilir secara tuntas melalui pemanfaatan data yang akurat diharapkan mampu mengatasi permasalahan ATS di Sulawesi Selatan," jelasnya.
Berdasarkan hasil rekonfirmasi data, terdapat 980 anak yang akan kembali bersekolah dari 12 kabupaten/kota, yakni Bone, Takalar, Makassar, Gowa, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Luwu, Tana Toraja, Wajo, Sidrap, dan Pangkep.
Pada tahap pertama ini, sebanyak 480 anak yang akan kembali bersekolah dan menerima paket bantuan perlengkapan sekolah dari Forum Corporate Social Responsibility (CSR).
Untuk mendukung percepatan penanganan Anak Tidak Sekolah (ATS), lanjut Darmawan, Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan juga telah menerbitkan Peraturan Gubernur Sulawesi Selatan nomor 71 tahun 2020 tentang Rencana Aksi Percepatan Percepatan Penanganan Anak Tidak Sekolah (PPATS).
Kebijakan tersebut menjadi dasar aksi kolaborasi antar lintas sektor dan pemangku kepentingan baik di tingkat provinsi hingga ke kabupaten/kota yang ada di Sulawesi Selatan.
Sementara, itu Kepala Kantor Perwakilan UNICEF Wilayah Sulawesi dan Maluku, Henky Widjaja menambahkan, pihaknya sudah memulai pilot project ini selama dua tahun di dua kabupaten, yaitu Takalar dan Bone. Pada proses piloting itu, pihaknya memberi atensi terkait pengembalian anak ke sekolah serta sinkronisasinya dengan program daerah masing-masing.
"Kami perkuat pada sistem pendataan, bagaimana cara mendapat data anak yang putus sekolah by name by address. Dari data itu bisa diketahui siapa anaknya, tinggal di mana, dan kenapa mereka putus sekolah. Supaya nanti solusi atau bantuan yang diberikan pemerintah atau pihak lain itu sesuai dengan kebutuhan," jelas Henky.
Setelah proses piloting selesai, pihaknya melakukan asistensi ke pemerintah provinsi untuk bersama-sama merumuskan strategi dan kebijakan untuk perluasan program ke daerah lain. "Jadi proses replikasi dari model 24 kabupaten kota diserahkan ke provinsi dan provinsi yang lakukan replikasi. Anggarannya 100 persen dari pemerintah daerah," ungkapnya.
Baca Juga
Sejauh ini, Henky menilai progres program sudah cukup bagus. Masing-masing daerah sudah mulai mengembangkan sistem informasi pembangunan berbasis masyarakat.
"Ada database yang sudah mulai dikumpulkan dari setiap daerah dan ada kompilasinya di tingkat provinsi. Targetnya, tahun depan 24 kabupaten kota di Sulsel sudah punya sistem yang sama untuk penanganan anak putus sekolah," pungkasnya.
(tri)