Datuk Badiuzzaman, Raja Sunggal yang Diasingkan Belanda ke Cianjur
loading...
A
A
A
Datuk Badiuzzaman Surbakti lahir pada tahun 1845 di Sunggal, Kecamatan Medan Sunggal. Ia merupakan putera Raja Sunggal pada masa itu, yakni Datuk Abdullah Ahmad Sri Indera Pahlawan Surbakti, dengan seorang perempuan yang bernama Tengku Kemala Inasun Bahorok.
Datuk Badiuzzaman memperistri seorang perempuan bernama Ajang Olong Besar Hamparan Perak. Dari hasil perkawinan tersebut lahirlah lima putra dan dua putri.
Putra putri tersebut antara lain, Datuk Muhammad Mahir Surbakti, Datuk Muhammad Lazim Surbakti, Datuk Muhammad Darus Surbakti, Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti, Datuk Muhammad Alif, Amah/Olong Br. Surbakti, dan Aja Ngah Haji Surbakti.
Karena memiliki rasa keingintahuannya yang sangat besar, semasa hidupnya Datuk Badiuzzaman belajar kepada siapa saja dan ke mana saja demi menempuh ilmu yang dia ingin pelajari.
Saat menuntut ilmu, Datuk Badiuzzaman belajar Bahasa Melayu pada guru kerajaan di Sunggal. Kemudian mendalami ilmu agama Islam di berbagai tempat, seperti di daerah Sunggal, Aceh dan lainnya.
Datuk Badiuzzaman juga menguasai Bahasa Arab dan Ilmu Tauhid, serta hukum syariat Islam. Salah satu gurunya adalah Syekh Maulana Muchtar penasihat spiritual kerajaan Sunggal zaman Datuk Abdullah Ahmad Sri Indera Pahlawan Surbaki.
Selain itu, sebagai putra seorang penguasa tanah Sunggal sangat tekun mempelajari adat istiadat Karo/Melayu di daerah Sunggal, Jejabi, Kinangkung, dan Desa Gajah di bawah bimbingan tokoh-tokoh adat Melayu dan Karo yang sebagian merupakan keturunan dari Ator Surbakti dan Adir Surbakti.
Lebih dari 23 tahun lamanya, Datuk Badiuzzaman melakukan perjuangan melawan Belanda yang merebut tanah perkebunan rakyat Sunggal untuk dijadikan perkebunan tembakau.
Ketika berumur 26 tahun, Datuk Badiuzzaman bersama-sama dengan pejuang lainnya berhasil mempersatukan masyarakat Sunggal, masyarakat Gayo dan Aceh, untuk melawan Belanda.
Mirisnya, ia juga harus berhadapan dengan suku bangsa sendiri, yakni Deli dan Langkat yang memihak kepada Belanda. Baca: Kisah Pangeran Diponegoro Sebelum Ditangkap, Sempat Guyon Santai dengan Jenderal De Kock.
Datuk Badiuzzaman memperistri seorang perempuan bernama Ajang Olong Besar Hamparan Perak. Dari hasil perkawinan tersebut lahirlah lima putra dan dua putri.
Putra putri tersebut antara lain, Datuk Muhammad Mahir Surbakti, Datuk Muhammad Lazim Surbakti, Datuk Muhammad Darus Surbakti, Datuk Alang Muhammad Bahar Surbakti, Datuk Muhammad Alif, Amah/Olong Br. Surbakti, dan Aja Ngah Haji Surbakti.
Karena memiliki rasa keingintahuannya yang sangat besar, semasa hidupnya Datuk Badiuzzaman belajar kepada siapa saja dan ke mana saja demi menempuh ilmu yang dia ingin pelajari.
Saat menuntut ilmu, Datuk Badiuzzaman belajar Bahasa Melayu pada guru kerajaan di Sunggal. Kemudian mendalami ilmu agama Islam di berbagai tempat, seperti di daerah Sunggal, Aceh dan lainnya.
Datuk Badiuzzaman juga menguasai Bahasa Arab dan Ilmu Tauhid, serta hukum syariat Islam. Salah satu gurunya adalah Syekh Maulana Muchtar penasihat spiritual kerajaan Sunggal zaman Datuk Abdullah Ahmad Sri Indera Pahlawan Surbaki.
Selain itu, sebagai putra seorang penguasa tanah Sunggal sangat tekun mempelajari adat istiadat Karo/Melayu di daerah Sunggal, Jejabi, Kinangkung, dan Desa Gajah di bawah bimbingan tokoh-tokoh adat Melayu dan Karo yang sebagian merupakan keturunan dari Ator Surbakti dan Adir Surbakti.
Lebih dari 23 tahun lamanya, Datuk Badiuzzaman melakukan perjuangan melawan Belanda yang merebut tanah perkebunan rakyat Sunggal untuk dijadikan perkebunan tembakau.
Ketika berumur 26 tahun, Datuk Badiuzzaman bersama-sama dengan pejuang lainnya berhasil mempersatukan masyarakat Sunggal, masyarakat Gayo dan Aceh, untuk melawan Belanda.
Mirisnya, ia juga harus berhadapan dengan suku bangsa sendiri, yakni Deli dan Langkat yang memihak kepada Belanda. Baca: Kisah Pangeran Diponegoro Sebelum Ditangkap, Sempat Guyon Santai dengan Jenderal De Kock.