IPDN Gandeng Yenny Wahid Tangkal Radikalisme di Kampus
loading...
A
A
A
Sementara Yenny Wahid menyampaikan perbedaan terkait radikalisme dan intoleransi. Menurutnya definisi intoleransi dan radikalisme itu harus jelas.
Intoleransi adalah sikap dan tindakan yang bertujuan menghambat atau menentang hak-hak kewarganegaraan yang dijamin konstitusi. Intoleransi ini bisa terjadi terhadap orang yang berbeda agama, maupun satu agama. Sedangkan radikalisme adalah partisipasi atau kesediaan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa yang melibatkan kekerasan atas nama agama, etnis maupun politik.
Dia menyebut, radikalisme tidak hanya berkaitan dengan agama apalagi dengan satu agama tertentu. “Radikalisme bisa dilakukan oleh siapa saja, dari agama apa saja, dari kelompok politik mana saja, asal dia bersedia untuk berpartisipasi dengan menggunakan kekerasan dalam mewujudkan agenda-agendanya,” ujarnya.
Yenny Wahid juga mengapresiasi tindakan yang dilakukan Rektor IPDN dengan segera melakukan penyisiran ketika ditengarai ada unsur-unsur yang berusaha masuk ke IPDN.
“IPDN adalah tonggaknya Indonesia, ke depannya nanti praja IPDN yang akan menjalankan negara kita. Jadi harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya,” tuturnya.
Hal senada disampaikan Mayndra yang mengatakan radikalisme adalah pikiran atau gagasan untuk mengganti ideologi yang sudah berdaulat. Sehingga untuk menghindarinya harus berfsama-sama sepakat bahwa Pancasila sebagai satu-satunya falsafah yang harus dijunjung tinggi.
Sofyan Sauri menambahkan bahwa seorang radikalis dan intoleran belum tentu menjadi teroris. "Tapi teroris sudah pasti orang yang radikal dan intoleran, jadi kita harus hati-hati apabila sudah mulai merasakan intoleran,” tandasnya.
Intoleransi adalah sikap dan tindakan yang bertujuan menghambat atau menentang hak-hak kewarganegaraan yang dijamin konstitusi. Intoleransi ini bisa terjadi terhadap orang yang berbeda agama, maupun satu agama. Sedangkan radikalisme adalah partisipasi atau kesediaan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa yang melibatkan kekerasan atas nama agama, etnis maupun politik.
Dia menyebut, radikalisme tidak hanya berkaitan dengan agama apalagi dengan satu agama tertentu. “Radikalisme bisa dilakukan oleh siapa saja, dari agama apa saja, dari kelompok politik mana saja, asal dia bersedia untuk berpartisipasi dengan menggunakan kekerasan dalam mewujudkan agenda-agendanya,” ujarnya.
Yenny Wahid juga mengapresiasi tindakan yang dilakukan Rektor IPDN dengan segera melakukan penyisiran ketika ditengarai ada unsur-unsur yang berusaha masuk ke IPDN.
“IPDN adalah tonggaknya Indonesia, ke depannya nanti praja IPDN yang akan menjalankan negara kita. Jadi harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya,” tuturnya.
Hal senada disampaikan Mayndra yang mengatakan radikalisme adalah pikiran atau gagasan untuk mengganti ideologi yang sudah berdaulat. Sehingga untuk menghindarinya harus berfsama-sama sepakat bahwa Pancasila sebagai satu-satunya falsafah yang harus dijunjung tinggi.
Sofyan Sauri menambahkan bahwa seorang radikalis dan intoleran belum tentu menjadi teroris. "Tapi teroris sudah pasti orang yang radikal dan intoleran, jadi kita harus hati-hati apabila sudah mulai merasakan intoleran,” tandasnya.
(shf)