IPDN Gandeng Yenny Wahid Tangkal Radikalisme di Kampus
loading...
A
A
A
SUMEDANG - Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) menggelar stadium general (kuliah umum) tentang mengatasi radikalisme dengan peserta para praja dan seluruh civitas akademika di Kampus Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Rabu (22/6/2022). Kegiatan ini untuk mengantisipasi dan mengatasi gerakan radikalisme dan intoleran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Acara ini diikuti secara luring oleh seluruh praja IPDN Kampus Jatinangor dan secara daring oleh seluruh praja, mahasiswa pasca sarjana, keprofesian dan civitas akademika yang berada di IPDN kampus daerah.
IPDN mengundang Direktur The Wahid Foundation Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid, Plh Kasubdit Kontranaratif Ditcegah Densus 88 AKBP Mayndra Eka Wardhana, tenaga ahli pencegahan radikalisme, ekstremisme dan terorisme Mabes Polri Islah Bahrawi dan pengamat terorisme Sofyan Sauri.
Rektor IPDN, Hadi Prabowo mengatakan, acara ini dilaksanakan untuk memproteksi diri praja agar praja tahu apa perbedaan radikalisme dan intoleransi serta bagaimana upaya-upaya mengantisipasinya.
“Ketidaktahuan para praja kepada beberapa tokoh yang disinyalir menganut paham-paham tertentu, menjadi instropeksi kami khususnya bagian yang mengendalikan mahasiswa/praja untuk lebih berhati-hati. Saya pastikan sekali lagi bahwa IPDN steril dari paham-paham radikalisme. Semoga setelah ini, praja tahu mana yang benar-benar harus dijauhi dan mana yang harus dibela,” ujarnya.
Hadi menegaskan IPDN adalah pendidikan kepamongprajaan yang dilandasi oleh jiwa Pancasila, cinta NKRI dan mengedepankan nilai-nilai kebangsaaan serta mampu menghadapi radikalisme dan selalu menjaga kerukunan.
Jadi IPDN dipastikan tidak mengikuti atau mengajarkan aliran atau paham yang radikal.
“Di IPDN tidak benar ada pengajian yang beraliran Wahabi atau paham-paham menyimpang lainnya, kalau sudah lulus jadi ASN itu bukan tanggung jawab IPDN lagi karena mereka akan menghadapi kompleksitas dan tekanan kehidupan yang berlainan,” ujarnya.
Sementara Yenny Wahid menyampaikan perbedaan terkait radikalisme dan intoleransi. Menurutnya definisi intoleransi dan radikalisme itu harus jelas.
Intoleransi adalah sikap dan tindakan yang bertujuan menghambat atau menentang hak-hak kewarganegaraan yang dijamin konstitusi. Intoleransi ini bisa terjadi terhadap orang yang berbeda agama, maupun satu agama. Sedangkan radikalisme adalah partisipasi atau kesediaan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa yang melibatkan kekerasan atas nama agama, etnis maupun politik.
Dia menyebut, radikalisme tidak hanya berkaitan dengan agama apalagi dengan satu agama tertentu. “Radikalisme bisa dilakukan oleh siapa saja, dari agama apa saja, dari kelompok politik mana saja, asal dia bersedia untuk berpartisipasi dengan menggunakan kekerasan dalam mewujudkan agenda-agendanya,” ujarnya.
Yenny Wahid juga mengapresiasi tindakan yang dilakukan Rektor IPDN dengan segera melakukan penyisiran ketika ditengarai ada unsur-unsur yang berusaha masuk ke IPDN.
“IPDN adalah tonggaknya Indonesia, ke depannya nanti praja IPDN yang akan menjalankan negara kita. Jadi harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya,” tuturnya.
Hal senada disampaikan Mayndra yang mengatakan radikalisme adalah pikiran atau gagasan untuk mengganti ideologi yang sudah berdaulat. Sehingga untuk menghindarinya harus berfsama-sama sepakat bahwa Pancasila sebagai satu-satunya falsafah yang harus dijunjung tinggi.
Sofyan Sauri menambahkan bahwa seorang radikalis dan intoleran belum tentu menjadi teroris. "Tapi teroris sudah pasti orang yang radikal dan intoleran, jadi kita harus hati-hati apabila sudah mulai merasakan intoleran,” tandasnya.
Acara ini diikuti secara luring oleh seluruh praja IPDN Kampus Jatinangor dan secara daring oleh seluruh praja, mahasiswa pasca sarjana, keprofesian dan civitas akademika yang berada di IPDN kampus daerah.
IPDN mengundang Direktur The Wahid Foundation Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid, Plh Kasubdit Kontranaratif Ditcegah Densus 88 AKBP Mayndra Eka Wardhana, tenaga ahli pencegahan radikalisme, ekstremisme dan terorisme Mabes Polri Islah Bahrawi dan pengamat terorisme Sofyan Sauri.
Rektor IPDN, Hadi Prabowo mengatakan, acara ini dilaksanakan untuk memproteksi diri praja agar praja tahu apa perbedaan radikalisme dan intoleransi serta bagaimana upaya-upaya mengantisipasinya.
“Ketidaktahuan para praja kepada beberapa tokoh yang disinyalir menganut paham-paham tertentu, menjadi instropeksi kami khususnya bagian yang mengendalikan mahasiswa/praja untuk lebih berhati-hati. Saya pastikan sekali lagi bahwa IPDN steril dari paham-paham radikalisme. Semoga setelah ini, praja tahu mana yang benar-benar harus dijauhi dan mana yang harus dibela,” ujarnya.
Hadi menegaskan IPDN adalah pendidikan kepamongprajaan yang dilandasi oleh jiwa Pancasila, cinta NKRI dan mengedepankan nilai-nilai kebangsaaan serta mampu menghadapi radikalisme dan selalu menjaga kerukunan.
Baca Juga
Jadi IPDN dipastikan tidak mengikuti atau mengajarkan aliran atau paham yang radikal.
“Di IPDN tidak benar ada pengajian yang beraliran Wahabi atau paham-paham menyimpang lainnya, kalau sudah lulus jadi ASN itu bukan tanggung jawab IPDN lagi karena mereka akan menghadapi kompleksitas dan tekanan kehidupan yang berlainan,” ujarnya.
Sementara Yenny Wahid menyampaikan perbedaan terkait radikalisme dan intoleransi. Menurutnya definisi intoleransi dan radikalisme itu harus jelas.
Intoleransi adalah sikap dan tindakan yang bertujuan menghambat atau menentang hak-hak kewarganegaraan yang dijamin konstitusi. Intoleransi ini bisa terjadi terhadap orang yang berbeda agama, maupun satu agama. Sedangkan radikalisme adalah partisipasi atau kesediaan berpartisipasi dalam peristiwa-peristiwa yang melibatkan kekerasan atas nama agama, etnis maupun politik.
Dia menyebut, radikalisme tidak hanya berkaitan dengan agama apalagi dengan satu agama tertentu. “Radikalisme bisa dilakukan oleh siapa saja, dari agama apa saja, dari kelompok politik mana saja, asal dia bersedia untuk berpartisipasi dengan menggunakan kekerasan dalam mewujudkan agenda-agendanya,” ujarnya.
Yenny Wahid juga mengapresiasi tindakan yang dilakukan Rektor IPDN dengan segera melakukan penyisiran ketika ditengarai ada unsur-unsur yang berusaha masuk ke IPDN.
“IPDN adalah tonggaknya Indonesia, ke depannya nanti praja IPDN yang akan menjalankan negara kita. Jadi harus dipersiapkan dengan sebaik-baiknya,” tuturnya.
Hal senada disampaikan Mayndra yang mengatakan radikalisme adalah pikiran atau gagasan untuk mengganti ideologi yang sudah berdaulat. Sehingga untuk menghindarinya harus berfsama-sama sepakat bahwa Pancasila sebagai satu-satunya falsafah yang harus dijunjung tinggi.
Sofyan Sauri menambahkan bahwa seorang radikalis dan intoleran belum tentu menjadi teroris. "Tapi teroris sudah pasti orang yang radikal dan intoleran, jadi kita harus hati-hati apabila sudah mulai merasakan intoleran,” tandasnya.
(shf)