P2TP2A Sulsel Atensi Penanganan Kasus Asusila Anak di Parepare
loading...
A
A
A
PAREPARE - Kasus pemerkosaan terhadap remaja 14 tahun di Kota Parepare, Sulsel, mengundang perhatian dari berbagai pihak. Terutama dari aktivitis perempuan dan anak serta Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Sulsel. Semuanya siap mendorong agar kasus asusila anak ini bisa segera dituntaskan.
Kepala UPT P2TP2A Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3AP2KB) Sulsel, Meisy Sari Bunga Papayungan, membenarkan pihaknya memberikan atensi terhadap penanganan kasus tersebut. Pihaknya akan berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait, termasuk menghubungi keluarga korban.
Meisy menyampaikan pihaknya tidak menutup kemungkinan untuk melakukan pendampingan bila advokasi kasus itu diserahkan P2TP2A Sulsel. Selain melayani sistem rujukan berdasarkan inisiatif daerah, pihaknya memang bisa melakukan inisiatif ketika mendapat informasi terkait kekerasan terhadap anak dan perempuan melalui media.
"Kami sangat terbuka untuk menerima rujukan. Karena bisa saja korban membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut, pengobatan hingga pendampingan untuk sikologis korban. Kalaupun kami yang harus proaktif, layanan kami siap," kata Meisy, Rabu (24/6/2020).
Kasus asusila anak di Parepare yang kini bergulir memang terbilang miris. Korbannya yang masih berusia remaja diketahui mengalami pemerkosaan beruntun. Terdapat dua laporan atas kasus berbeda yang masuk ke penegak hukum, dimana dalam kasus pertama dilakukan satu orang dan kasus kedua dilakukan tujuh orang.
Kasus asusila anak itu sendiri terjadi pada bulan Ramadhan lalu. Penanganan perkara ini baru heboh dan menjadi perbincangan setelah ibu korban mengaku tidak mendapat keadilan saat sidang pertama bergulir di pengadilan negeri setempat.
Meisy menyampaikan terkait pendampingan terhadap korban yang cenderung merasa dipojokkan, mestinya memang menjadi perhatian. Mindset penegak hukum idealnya dibangun untuk melakukan advokasi terhadap korban yang merupakan anak di bawah umur.
Pendampingan terhadap korban, kata Meisy lagi, bukan cuma di awal saja, tapi semua hal termasuk setiap kali ada tindakan yang akan dilakukan. Terutama tindakan saat hendak mengambil keputusan. "Itu agar korban tak merasa sendiri, sehingga dibutuhkan pendampingan yang intens," urainya.
Aktivis perempuan yang juga Manager Program MAMPU, Lusi Palulungan, berpendapat idealnya penanganan kasus kekerasan terhadap anak ataupun perempuan mesti mengedepankan perspektif terhadap korban. "Apapun latar belakang kehidupan korban, harusnya tidak dikaitkan dengan kasus yang tengah dihadapi korban," ujarnya.
Lusi juga menekankan pendampingan terhadap korban mestinya dilakukan sejak awal kasus bergulir hingga adanya kepastian hukum bagi para pelaku. Menyoal korban, kata Lusi, baiknya dilakukan konseling dan pihaknya menyarankan agar kasus tersebur dirujuk ke provinsi. "Kami akan koordinasikan ini ke P2TP2A provinsi," katanya.
Lusi juga menegaskan, terkait kekerasan seksual terhadap anak, undang-undang perlindungan anak pun harus dikenakan pada korban. "Ancaman hukumannya belasan tahun. Terlebih perkosaan, penanganan hukumnya harus sesuai dengan undang-undang perlindungan anak. Dan kita berharap P2TP2A Provinsi bisa mendampingi korban pada persidangan berikutnya," tegasnya.
Kepala UPT P2TP2A Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3AP2KB) Sulsel, Meisy Sari Bunga Papayungan, membenarkan pihaknya memberikan atensi terhadap penanganan kasus tersebut. Pihaknya akan berkoordinasi dengan berbagai pihak terkait, termasuk menghubungi keluarga korban.
Meisy menyampaikan pihaknya tidak menutup kemungkinan untuk melakukan pendampingan bila advokasi kasus itu diserahkan P2TP2A Sulsel. Selain melayani sistem rujukan berdasarkan inisiatif daerah, pihaknya memang bisa melakukan inisiatif ketika mendapat informasi terkait kekerasan terhadap anak dan perempuan melalui media.
"Kami sangat terbuka untuk menerima rujukan. Karena bisa saja korban membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut, pengobatan hingga pendampingan untuk sikologis korban. Kalaupun kami yang harus proaktif, layanan kami siap," kata Meisy, Rabu (24/6/2020).
Kasus asusila anak di Parepare yang kini bergulir memang terbilang miris. Korbannya yang masih berusia remaja diketahui mengalami pemerkosaan beruntun. Terdapat dua laporan atas kasus berbeda yang masuk ke penegak hukum, dimana dalam kasus pertama dilakukan satu orang dan kasus kedua dilakukan tujuh orang.
Kasus asusila anak itu sendiri terjadi pada bulan Ramadhan lalu. Penanganan perkara ini baru heboh dan menjadi perbincangan setelah ibu korban mengaku tidak mendapat keadilan saat sidang pertama bergulir di pengadilan negeri setempat.
Meisy menyampaikan terkait pendampingan terhadap korban yang cenderung merasa dipojokkan, mestinya memang menjadi perhatian. Mindset penegak hukum idealnya dibangun untuk melakukan advokasi terhadap korban yang merupakan anak di bawah umur.
Pendampingan terhadap korban, kata Meisy lagi, bukan cuma di awal saja, tapi semua hal termasuk setiap kali ada tindakan yang akan dilakukan. Terutama tindakan saat hendak mengambil keputusan. "Itu agar korban tak merasa sendiri, sehingga dibutuhkan pendampingan yang intens," urainya.
Aktivis perempuan yang juga Manager Program MAMPU, Lusi Palulungan, berpendapat idealnya penanganan kasus kekerasan terhadap anak ataupun perempuan mesti mengedepankan perspektif terhadap korban. "Apapun latar belakang kehidupan korban, harusnya tidak dikaitkan dengan kasus yang tengah dihadapi korban," ujarnya.
Lusi juga menekankan pendampingan terhadap korban mestinya dilakukan sejak awal kasus bergulir hingga adanya kepastian hukum bagi para pelaku. Menyoal korban, kata Lusi, baiknya dilakukan konseling dan pihaknya menyarankan agar kasus tersebur dirujuk ke provinsi. "Kami akan koordinasikan ini ke P2TP2A provinsi," katanya.
Lusi juga menegaskan, terkait kekerasan seksual terhadap anak, undang-undang perlindungan anak pun harus dikenakan pada korban. "Ancaman hukumannya belasan tahun. Terlebih perkosaan, penanganan hukumnya harus sesuai dengan undang-undang perlindungan anak. Dan kita berharap P2TP2A Provinsi bisa mendampingi korban pada persidangan berikutnya," tegasnya.
(tri)