Hari-hari Terakhir Bung Karno Sebelum Wafat: Aku Ingin agar Ditembak Saja!
loading...
A
A
A
BLITAR - Pada Selasa 21 Juni 2022 ini merupakan haul atau peringatan hari meninggalnya Proklamator RI Soekarno atau Bung Karno Ke-52. Sebelum wafat pada 21 Juni 1970, Bung Karno menjalani hari-hari sepi di Wisma Yaso dengan kondisi kesehatan semakin buruk karena penyakit gangguan fungsi ginjalnya bertambah parah.
Fungsi ginjal Bung Karno tak lagi bekerja maksimal. Bahkan ginjal kirinya sudah cukup lama tidak berfungsi, dan fungsi ginjal kanannya terus menurun. Pada akhir tahun 1966, sebelum berhenti sebagai menteri dan dokter pribadi Presiden, dokter Soeharto menjenguk Bung Karno di Wisma Yaso. Kesehatan Bung Karno diperiksa.
Kepada Kolonel CPM Maulwi Saelan, dokter Soeharto mengatakan kesehatan sang proklamator sangat menurun. Produksi kristal dan batu tercatat lebih banyak dan tekanan darah yang biasanya rendah, cenderung meningkat.
Selain masalah fungsi ginjal, juga muncul gejala komplikasi penyakit lain. “Diperkirakan ginjal kanan berfungsi hanya 25-50 persen,” kata dokter Soeharto seperti ditulis Maulwi Saelan dalam buku “Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa, Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66”.
Bung Karno sudah cukup lama mengidap penyakit gangguan fungsi ginjal. Pada tahun 1964, Bung Karno pernah menjalani operasi ginjal di Wina.
Batu atau kristal ginjal divakum, yang mana terkumpul sebotol kecil penuh. Saat itu diketahui satu ginjal Bung Karno ternyata sudah kehilangan fungsi. Selain itu juga ditemukan penyumbatan dalam ureter kiri.
Pihak medis kedokteran Wina menyarankan segera dilakukan operasi transplantasi ginjal kiri, karena fungsi ginjal kanan juga sudah mulai memperlihatkan gejala yang sama.
Pendapat Prof Dr K Fellinger dari Fakultas Kedoteran Universitas Wina diperkuat oleh tim dokter ahli Rumania yang dipimpin Prof Dr A Asian.
Tim dokter ahli RRC yang dipimpin Prof Dr Wu Chieh Ping juga memperkuat untuk segera dilakukan transplantasi. Namun Bung Karno menyatakan belum siap.
“Nanti saja, ik moet mijn taak afronden. Saya harus menyelesaikan tugas saya,” kata Bung Karno. Tugas yang dimaksud adalah mengembalikan kerukunan antarpartai dan golongan, serta mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan RI.
Bung Karno tak jadi melakukan transplantasi ginjal dan kembali melaksanakan tugasnya sebagai kepala negara.
Pengaruh dari fungsi ginjal yang tak maksimal, wajah Bung Karno dari hari ke hari terlihat bengkak. Untuk meredam penyakitnya, Bung Karno rutin mengonsumsi 14 jenis obat telan dalam sehari, dan enam jenis obat suntik, termasuk vitamin.
Saat bertemu Bung Karno di akhir tahun 1966 itu, dokter Soeharto menyarankan mantan Presiden pertama RI itu untuk dirawat di rumah sakit.
“Apakah tidak lebih baik dirawat di rumah sakit saja?,” kata dokter Soeharto. Jawab Bung Karno, “Ik heb niets te willen, dat moeten de behandelendt doktoren maar uitmaken. Saya tidak boleh keinginan apa-apa, seharusnya dokter-dokter yang menangani yang memutuskan”.
Bung Karno tetap berada di Wisma Yaso menjalani hari-harinya dengan menahan rasa sakit dan sepi. Kepada dokter Soeharto, Bung Karno sempat mengeluh dirinya merasa kesepian.
Kepada Hartini, istrinya yang keempat, Bung Karno menyatakan kesedihannya yang mendalam sembari meneteskan air mata. “Ik wou maar dat ik de schot krijgt. Aku ingin agar aku ditembak saja,” kata Bung Karno kepada Hartini seperti dikutip dari “Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa, Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66”.
Pada 16 Juni 1970, Bung Karno akhirnya dilarikan ke rumah sakit pusat angkatan darat karena kondisi kesehatannya semakin parah.
Peter Kasenda dalam buku Hari-hari Terakhir Soekarno (2012) menyebut, Bung Karno ditempatkan dalam sepetak kamar dengan penjagaan berlapis di lorong rumah sakit. Kondisi kesehatan Bung Karno semakin memburuk.
Pada Sabtu, 20 Juni 1970 pukul 20.30 WIB, kesadaran Bung Karno menurun dan Minggu dini hari, sang Proklamator RI itu mengalami koma.
Dokter Mahar Mardjono langsung menghubungi putra-putra Bung Karno, sekaligus meminta untuk segera datang. Pada Minggu 21 Juni 1970, pukul 06.30 Wib terlihat Guntur Soekarno Putra, Megawati Soekarno Putri, Rachmawati Soekarno Putri, Sukmawati Soekarno Putri dan Guruh Soekarno Putra.
Mereka menunggu perkembangan kabar ayah mereka dengan wajah tegang. Tepat pukul 07.00 WIB, dokter Mahar Mardjono membuka pintu ruang perawatan, dan anak-anak Bung Karno langsung menyerbu masuk.
Berondongan pertanyaan hanya dijawab dokter Mahar dengan gelengan kepala. Pukul tujuh lewat sedikit, perawat mulai melepas selang makanan dan alat bantu pernapasan Bung Karno.
Anak-anak Bung Karno mengucap takbir. Megawati membisikkan kalimat syahadat ke telinga Bung Karno dan Bung Karno mencoba mengikuti. “Allah,” kata Bung Karno lirih seiring napasnya yang terakhir seperti dikutip dari buku “Soekarno Poenja Tjerita, Yang Unik dan Tak Terungkap dari Sejarah Soekarno”.
Tangis sontak pecah. Tepat pukul 07.07 WIB, Bung Karno wafat. Sang Proklamator RI itu kemudian dimakamkan di Blitar, Jawa Timur. Berakhir sudah tugasnya sebagai Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Fungsi ginjal Bung Karno tak lagi bekerja maksimal. Bahkan ginjal kirinya sudah cukup lama tidak berfungsi, dan fungsi ginjal kanannya terus menurun. Pada akhir tahun 1966, sebelum berhenti sebagai menteri dan dokter pribadi Presiden, dokter Soeharto menjenguk Bung Karno di Wisma Yaso. Kesehatan Bung Karno diperiksa.
Kepada Kolonel CPM Maulwi Saelan, dokter Soeharto mengatakan kesehatan sang proklamator sangat menurun. Produksi kristal dan batu tercatat lebih banyak dan tekanan darah yang biasanya rendah, cenderung meningkat.
Selain masalah fungsi ginjal, juga muncul gejala komplikasi penyakit lain. “Diperkirakan ginjal kanan berfungsi hanya 25-50 persen,” kata dokter Soeharto seperti ditulis Maulwi Saelan dalam buku “Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa, Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66”.
Bung Karno sudah cukup lama mengidap penyakit gangguan fungsi ginjal. Pada tahun 1964, Bung Karno pernah menjalani operasi ginjal di Wina.
Batu atau kristal ginjal divakum, yang mana terkumpul sebotol kecil penuh. Saat itu diketahui satu ginjal Bung Karno ternyata sudah kehilangan fungsi. Selain itu juga ditemukan penyumbatan dalam ureter kiri.
Pihak medis kedokteran Wina menyarankan segera dilakukan operasi transplantasi ginjal kiri, karena fungsi ginjal kanan juga sudah mulai memperlihatkan gejala yang sama.
Pendapat Prof Dr K Fellinger dari Fakultas Kedoteran Universitas Wina diperkuat oleh tim dokter ahli Rumania yang dipimpin Prof Dr A Asian.
Tim dokter ahli RRC yang dipimpin Prof Dr Wu Chieh Ping juga memperkuat untuk segera dilakukan transplantasi. Namun Bung Karno menyatakan belum siap.
“Nanti saja, ik moet mijn taak afronden. Saya harus menyelesaikan tugas saya,” kata Bung Karno. Tugas yang dimaksud adalah mengembalikan kerukunan antarpartai dan golongan, serta mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan RI.
Bung Karno tak jadi melakukan transplantasi ginjal dan kembali melaksanakan tugasnya sebagai kepala negara.
Pengaruh dari fungsi ginjal yang tak maksimal, wajah Bung Karno dari hari ke hari terlihat bengkak. Untuk meredam penyakitnya, Bung Karno rutin mengonsumsi 14 jenis obat telan dalam sehari, dan enam jenis obat suntik, termasuk vitamin.
Saat bertemu Bung Karno di akhir tahun 1966 itu, dokter Soeharto menyarankan mantan Presiden pertama RI itu untuk dirawat di rumah sakit.
“Apakah tidak lebih baik dirawat di rumah sakit saja?,” kata dokter Soeharto. Jawab Bung Karno, “Ik heb niets te willen, dat moeten de behandelendt doktoren maar uitmaken. Saya tidak boleh keinginan apa-apa, seharusnya dokter-dokter yang menangani yang memutuskan”.
Bung Karno tetap berada di Wisma Yaso menjalani hari-harinya dengan menahan rasa sakit dan sepi. Kepada dokter Soeharto, Bung Karno sempat mengeluh dirinya merasa kesepian.
Kepada Hartini, istrinya yang keempat, Bung Karno menyatakan kesedihannya yang mendalam sembari meneteskan air mata. “Ik wou maar dat ik de schot krijgt. Aku ingin agar aku ditembak saja,” kata Bung Karno kepada Hartini seperti dikutip dari “Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa, Dari Revolusi 45 Sampai Kudeta 66”.
Pada 16 Juni 1970, Bung Karno akhirnya dilarikan ke rumah sakit pusat angkatan darat karena kondisi kesehatannya semakin parah.
Peter Kasenda dalam buku Hari-hari Terakhir Soekarno (2012) menyebut, Bung Karno ditempatkan dalam sepetak kamar dengan penjagaan berlapis di lorong rumah sakit. Kondisi kesehatan Bung Karno semakin memburuk.
Pada Sabtu, 20 Juni 1970 pukul 20.30 WIB, kesadaran Bung Karno menurun dan Minggu dini hari, sang Proklamator RI itu mengalami koma.
Dokter Mahar Mardjono langsung menghubungi putra-putra Bung Karno, sekaligus meminta untuk segera datang. Pada Minggu 21 Juni 1970, pukul 06.30 Wib terlihat Guntur Soekarno Putra, Megawati Soekarno Putri, Rachmawati Soekarno Putri, Sukmawati Soekarno Putri dan Guruh Soekarno Putra.
Mereka menunggu perkembangan kabar ayah mereka dengan wajah tegang. Tepat pukul 07.00 WIB, dokter Mahar Mardjono membuka pintu ruang perawatan, dan anak-anak Bung Karno langsung menyerbu masuk.
Berondongan pertanyaan hanya dijawab dokter Mahar dengan gelengan kepala. Pukul tujuh lewat sedikit, perawat mulai melepas selang makanan dan alat bantu pernapasan Bung Karno.
Anak-anak Bung Karno mengucap takbir. Megawati membisikkan kalimat syahadat ke telinga Bung Karno dan Bung Karno mencoba mengikuti. “Allah,” kata Bung Karno lirih seiring napasnya yang terakhir seperti dikutip dari buku “Soekarno Poenja Tjerita, Yang Unik dan Tak Terungkap dari Sejarah Soekarno”.
Tangis sontak pecah. Tepat pukul 07.07 WIB, Bung Karno wafat. Sang Proklamator RI itu kemudian dimakamkan di Blitar, Jawa Timur. Berakhir sudah tugasnya sebagai Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
(shf)