Panasnya Persaingan Dagang di Jalur Strategis Picu Kerajaan Chola Serang Sriwijaya
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kerajaan Sriwijaya berdiri pada abad ke-7. Berdasarkan informasi yang tertera dalam Prasasti Kota Kapur, disebutkan bahwa pendiri sekaligus raja pertama Sriwijaya adalah Dapunta Hyang Sri Jayanasa.
Awalnya, Raja Dapunta Hyang Sri Jayanasa menguasai Sumatera bagian selatan, Bangka dan Belitung, dan Lampung. Kemudian, dengan mengerahkan 20.000 tentara, Sri Jayanasa berhasil menguasai Palembang, Jambi, dan Bengkulu.
Karena letaknya yang strategis, Palembang dijadikan sebagai pusat kerajaan dengan istana raja berada di muara Sungai Musi. Setelah semakin kuat, Sri Jayanasa melancarkan ekspedisi militer menyerang dan menguasai Jawa.
Seiring kuatnya armada laut dan penguasaan jalur ekonomi, Sriwijaya mulai melakukan ekspansi keluar pulau-pulau nusantara hingga menguasai Semenanjung Malaya sampai Filipin. Puncak kejayaan Kerajaan Sriwijaya terjadi pada masa pemerintahan Raja Balaputradewa (856 M).
Pada masa pemerintahan raja dari keturunan Dinasti Syilendra di Jawa Tengah ini, kehidupan rakyat di kerajaan ini sangat makmur. Hal ini karena kerajaan mendapatkan banyak pemasukan dari pajak kapal-kapal dagang yang melintasi Selat Malaka.
Kejayaan Sriwijaya terukir secara simbolik dengan sebuah gerbang istana yang megah. Gerbang kokoh ini terbuat dari perhiasan benda mewah yang disebut Vidhyadara Torana. Para tamu kerajaan yang masuk lewat pintu ini akan merasakan kejayaan yang dicapai Sriwijaya.
Selain membangun kekuatan militer, Sriwijaya juga membangun hubungan diplomatik yang baik dengan kerajaan Chola di India. Misalnya, pada tahun 1006, saat Chola diperintah oleh Rajaraja, raja Maravijayattungavarman dari Sriwijaya membangun Vihara Chudamani di Nagapattinam.
Sayangnya, hubungan baik tidak berlangsung langgeng. Ternyata, Chola juga teropsesi untuk menjadi kerajaan yang menguasa jalur perdagangan yang sudah sekian lama dinikmati Sriwijaya. Hubungan itu semakin runyam saat Rajendra naik tahta menggantikan ayahnya. Rajendra mulai invasinya ke Asia Tenggara terutama daerah-daerah strategis yang dilintasi jalur perdagangan.
Menurut beberapa sumber, ambisi Chola untuk menghabisi Sriwijaya juga dipicu konflik antara kerajaan Khmer dan kerajaan Tambralinga. Raja Khmer, Suryavarman I meminta dukungan Rajendra dalam konfliknya dengan Tambralinga.
Awalnya, Raja Dapunta Hyang Sri Jayanasa menguasai Sumatera bagian selatan, Bangka dan Belitung, dan Lampung. Kemudian, dengan mengerahkan 20.000 tentara, Sri Jayanasa berhasil menguasai Palembang, Jambi, dan Bengkulu.
Karena letaknya yang strategis, Palembang dijadikan sebagai pusat kerajaan dengan istana raja berada di muara Sungai Musi. Setelah semakin kuat, Sri Jayanasa melancarkan ekspedisi militer menyerang dan menguasai Jawa.
Seiring kuatnya armada laut dan penguasaan jalur ekonomi, Sriwijaya mulai melakukan ekspansi keluar pulau-pulau nusantara hingga menguasai Semenanjung Malaya sampai Filipin. Puncak kejayaan Kerajaan Sriwijaya terjadi pada masa pemerintahan Raja Balaputradewa (856 M).
Pada masa pemerintahan raja dari keturunan Dinasti Syilendra di Jawa Tengah ini, kehidupan rakyat di kerajaan ini sangat makmur. Hal ini karena kerajaan mendapatkan banyak pemasukan dari pajak kapal-kapal dagang yang melintasi Selat Malaka.
Kejayaan Sriwijaya terukir secara simbolik dengan sebuah gerbang istana yang megah. Gerbang kokoh ini terbuat dari perhiasan benda mewah yang disebut Vidhyadara Torana. Para tamu kerajaan yang masuk lewat pintu ini akan merasakan kejayaan yang dicapai Sriwijaya.
Selain membangun kekuatan militer, Sriwijaya juga membangun hubungan diplomatik yang baik dengan kerajaan Chola di India. Misalnya, pada tahun 1006, saat Chola diperintah oleh Rajaraja, raja Maravijayattungavarman dari Sriwijaya membangun Vihara Chudamani di Nagapattinam.
Sayangnya, hubungan baik tidak berlangsung langgeng. Ternyata, Chola juga teropsesi untuk menjadi kerajaan yang menguasa jalur perdagangan yang sudah sekian lama dinikmati Sriwijaya. Hubungan itu semakin runyam saat Rajendra naik tahta menggantikan ayahnya. Rajendra mulai invasinya ke Asia Tenggara terutama daerah-daerah strategis yang dilintasi jalur perdagangan.
Menurut beberapa sumber, ambisi Chola untuk menghabisi Sriwijaya juga dipicu konflik antara kerajaan Khmer dan kerajaan Tambralinga. Raja Khmer, Suryavarman I meminta dukungan Rajendra dalam konfliknya dengan Tambralinga.